Asisten, Pengobat Hati dan Punggung

Kali ini tugas bercerita tentang asisten, yang dioper oleh mbak Yanti. Maaf ya, mbak, lama buanget baru disetor nih 🙂

Di rumah besar

Sewaktu aku masih kecil, keluarga kami punya dua asisten. Tak selalu dua, terkadang satu. Entah kenapa begitu, aku tak pernah bertanya. Yang pasti, asisten selalu menginap di rumah. Ada kamar khusus yang disediakan bagi mereka.

Hanya 1 pengalaman paling membekas dengan adanya kehadiran asisten di rumah: aku pernah ditempeleng oleh salah satu mbak itu. Entah kenapa, aku tak begitu ingat. Dasar bocah, ketimbang mengadu ke ibu aku malah diam. Takut.

Tak banyak yang kuingat, karena menjelang akhir tahun 1990 kami pindah ke rumah mungil ini. Rumah di utara Jakarta itu disita oleh bank karena ayah tak mampu membayar hutang yang ditinggalkan oleh rekan usaha yang menipunya.

Di rumah mungil

Si mbak yang ikut pindah bersama kami pun tak lama minta izin untuk berhenti bekerja. Mungkin dirasanya kami tak akan mampu membayarnya. Setelah kepergiannya, tugas si mbak kebanyakan dikerjakan ibu dan nenek. Aku bagian bantu-bantu saja, karena sejak SMP aku lebih sering pergi pagi pulang sore. Apalagi ketika kuliah, minggat ke Bandung 🙂

Lama kami tidak memiliki asisten. Tahun 2001, ketika ibu melahirkan adikku si bungsu, barulah dirasakan kembali butuhnya kehadiran asisten. Tugas utamanya adalah momong si bungsu, sisanya bisa dikompromikan dengan ibu dan nenek (aku masih di Bandung).

Adik paman, asisten kedua

Adik paman ipar menawarkan diri untuk menjadi asisten. Hati tenang, karena si mbak masih terhitung keluarga. Perut juga senang, karena masakannya enak hehehe… Sayang, si mbak tidak lama tinggal. Entah dengan alasan apa, beliau pamit ke kampung. Sayangnya pula, beberapa perlengkapan rumah tangga ikut dibawa 🙁

Mbak mungil, asisten ketiga

Setelah si mbak pergi, ibu mencari asisten baru. Lalu didapat dari kenalan yang masih keluarga jauh. Si mbak ini sempat dikagumi oleh suamiku. Bukan apa-apa, "Perkasa banget! Si ndut (panggilan adikku bungsu) segede gitu bisa dia gendong, padahal badan dia sendiri kecil!", katanya.

Si mbak ya nggendongnya sampai badannya sendiri miring gitu. Wuah, ibuku saja enggan menggendong si ndut 23 kg (sekarang sudah 29 kg di umurnya yang 5,5 tahun). "Udah bisa jalan sendiri ini", kata ibu 🙂

Suamiku pernah menggendong si bungsu yang ketiduran dari jalan Dago sampai ke kostku. Sampai di kamar, dua-duanya tidur deh. Yang satu karena memang ngantuk, yang satu lagi kecapekan. Eh itu sih karena jalan Dago Timur emang medannya gila-gilaan ya, yang? :mrgreen:

Karena diiming-imingi gaji besar oleh tetangga yang akan pindah rumah, si mbak perkasa ini pamit berhenti. Ya sudahlah, risiko ditanggung sendiri, yang ternyata iming-iming itu tak terbukti (kasihan si mbak). Momong si bungsu jadi bagian nenek, karena ibu bekerja (di rumah).

Mbak besar, asisten terkini

Ibu mencari lagi asisten pengganti. Seorang tetangga merekomendasikan mantan (tadinya, lalu pindah) tetangga (hihi… kaya MLM gini). Mulanya ibu tak enak, menantu tetangga dipekerjakan di rumah. Tapi si mbak meyakinkan kalau itu tidak masalah, karena memang dia yang ingin. Ternyata si mbak sudah pernah menjadi asisten di belahan RW yang lain 🙂

Aih, ternyata mbak satu ini lebih perkasa! Cucian segambreng dan setrikaan segunung kala seluruh penghuni rumah berkumpul (ibu, suaminya, aku, adikku tengah, adikku bungsu, suamiku, dan anakku) mampu diselesaikan sebelum jam 11. Padahal si mbak datang jam 07.30. Ckk ckk ckk…

Keperkasaan si mbak ini dirasakan penghuni rumah yang terharu kehilangan ketika sewaktu-waktu beliau izin mudik sebentar untuk menjenguk kedua anaknya di Tegal sana. Mulai sakit punggung sampai jari lecet, ada saja keluhan orang rumah. Terutama ibu-ibu ini, karena para lelaki terima beres aja 🙂

Si mbak ini tidak hanya hebat dalam bekerja, tapi juga dalam hal makan dan bersuara 🙂 Tubuhnya memang besar. Makannya banyak, suami dan bibiku sampai kagum melihatnya. Suaranya juga keras, dan kalau bicara ceplas ceplos. Dasar itu memang bawaan, tak ada yang sakit hati padanya. Bahkan Daud yang kagetan pun tak pernah protes pada suara kerasnya (padahal mbah putrinya cuma bersin atau batuk saja Daud nangis karena kaget).

Seisi rumah ini ‘cinta’ sama si mbak. Terutama karena si mbak tak pernah mengeluh tentang pekerjaan, walau kalau curhat soal ‘urusan rumah’nya bisa terdengar sepanjang ia bekerja. Berbarengan dengan curhat pegawai ibu yang lain hihihi…

Sudah hampir 4 tahun si mbak membantu kami. Pekerjaannya selalu beres di akhir hari. Kalau pun ada ‘sisa-sisa’ sedikit, ya dikerjakan saja oleh aku dan ibu tanpa protes. Gimana mau protes, sengsara karena si mbak mudik seminggu aja tak terlupakan :mrgreen:
Semoga betah bersama kami ya, mbak Sani 🙂

Tugas bercerita ini selanjutnya kuoper ke mbak Dini ya!

23 Comments

  1. Eep

    August 3, 2006 at 7:06 am

    horeeee pertamaaaaaa….. 😛

  2. Eep

    August 3, 2006 at 7:10 am

    hmmmm…, wah saya dapat pelajaran baru.., bagaimana caranya menghormati & menghargai pembantu, yaitu dengan menyebutnya sebagai asisten.
    tks Bu Daud..

  3. yanti

    August 3, 2006 at 10:48 am

    heheh gapapa telat juga, tapi sekarang jadi tau kisahmu dgn asisten 😀

  4. nYam

    August 3, 2006 at 11:30 am

    kapan ya di rumah terakhir ada asisten? kayanya tujuh tahun lalu deh. ibuku yakin banget fungsi asisten bisa diambil alih ama anak-anaknya he he he…..

    berhubung aku di luar kota selalu, tiap kali mudik, kena jatah kerjaan paling banyak. naseeb naseeb

  5. siwoer

    August 3, 2006 at 8:30 pm

    sori mak.. terpaksa komen di sinih! padahal yg tak baca yang breastfeeding.. cuman karena admin kantorku kebangetan kalo nyensor.. jadinya kata2 gitu ada kata2 breast aja udah gak bisa dibuka!

    Ini asli mak! gara2 cyber filter nya gak bisa milah mana parno mana yang ndak 😀

    yo wis apik2 wae to mak?! met malam jumat ya mak 😛

  6. wawan

    August 3, 2006 at 8:44 pm

    Ass wr wb

    Seorang yang tinggal bersama kita, tentu akan menjadi saudara. Mungkin bisa kita petik sejarah bagaimana Rasulullah mempunyai asisten yang tidak pernah disuruh….
    Apakah kita mampu berbuat seperti itu ???
    Sekilas tentu kita akan berfikir seperti jaman perbudakan… ya atau tidak ?

  7. Lita

    August 3, 2006 at 10:27 pm

    Eep
    Saya diajari mbak Yanti kok, om 🙂

    Siwoer
    Ya, jadi sebenernya mau komentar apa toh, nak? 😆

    Wawan
    Sekilas, mungkin. Jadi gedung-gedung bertingkat tempat para perusahaan itu bernaung isinya budak? We’re talking about paid worker kan?

  8. Irma Citarayani

    August 4, 2006 at 9:21 am

    Wah rumah kecilku juga selalu dilengkapi oleh kehadiran asisten. Dari 4 asisten yang pernah ada dirumah, asisten yang paling lama adalah mba iyem. Mba iyem itu jadi asisten dirumahku selama +/- 20 tahun. Mba iyem berhenti jadi asisten dirumahku karena beliau harus menemani suaminya di kampung. Masa kerja yang lama bikin mba iyem udah kaya keluarga aja. Sampe-sampe kalau kami harus berantem, ya kita berantem aza hehe..dah cuex banget deh.

    Ditinggal mba iyem bener-bener kerasa deh. Ga ada lagi yang nyerewetin orang rumah, dan pastinya ga ada lagi yang jagain rumah dgn sepenuh hati. Tapi meskipun mba iyem dah ga dirumah lagi, tapi kalau hari pasaran dikampungnya tiba mba iyem masih suka telpon ke rumah sekedar bertanya tentang keadaan kami semua.

    Wah jadi kangen sama mba iyem deh 🙂 Emang asisten itu pengobat hati dan punggung ya lit!! Ups sorry neh jadi panjang nulis 😛

  9. kenji

    August 4, 2006 at 3:40 pm

    hihihihi

    kadang kita memang lupa jasa orang karena posisinya 😀

  10. simb-ah

    August 4, 2006 at 5:58 pm

    wah, baru pertama mampir lihat lihat dulu yo, matur nuwun

  11. Lita

    August 4, 2006 at 7:12 pm

    Simbah
    Kan kemaren udah, mbah 🙂
    Kemarin salah masukin URL, jadi simbah dikenali sebagai pendatang baru lagi (beda dengan yang sudah dimoderasi).
    Monggo monggo…

  12. galih

    August 5, 2006 at 5:51 am

    Mulai kecil hingga saat ini, bundaku tidak pernah punya asisten, semua tugas rumah dikerjakan sendirian, padahal ngurusi anak senakal aku, hebaat.. hehehe…

  13. Aswad

    August 5, 2006 at 4:55 pm

    “Asisten” hmmm…good term.

  14. ULE

    August 31, 2006 at 7:59 am

    Assalamu’alaykum wr. wb.
    eL how r U? kangen berat deh… long time no see…
    About asisten?
    hmmm.. di rumahku dulu pernah ada asisten… tapi dah lama banget.. waktu adik kembarku lahir, bahkan ada 2 orang asisten sekaligus, plus adik ayahku juga.
    Karena ortuku keduanya kerja, jadinya beliau bertiga yang ngasuh aku & kedua adikku ketika masih kecil-kecil.. aku & adikku selisih usia 3 tahun..
    Sekarang setelah kami bertiga udah pada gede, ga ada asisten satupun dirumah, tanteku-pun sudah pulang ke Garut ke rumah nenekku sejak menikah.
    Praktis semua kerjaan rumah dibagi tiga antara aku dan kedua adik kembarku.
    Karena kami bertiga perempuan, gak terlalu susah ngebagi kerjaan. Biasanya setiap pagi aku yang nyiapin sarapan untuk seisi rumah… (akhirnya aku belajar masak juga eL!!! :))
    Klo kedua adikku bagian beresin rumah, dari mulai nyapu, ngepel & nyiram tanaman.
    Bagian cuci baju?
    biasanya kami bertiga yang nyuci.. ga ada kesepakatan sih siapa yang harus nyuci.. hanya biasanya kesadaran sendiri… siapa yang punya waktu & ngliat cucian numpuk yah harus nyuci…
    kadang2 ibuku juga masih bantuin..
    Klo nyetrika sih MUTLAK jadi bagian aku deh…
    Sekarang aja setrikaan masih numpuk..
    hehe…
    Btw, eL… sejak kapan yah tatapanmu jadi sedemikian lembut begitu? hehe..

    Luv U much…

  15. biat

    September 3, 2006 at 7:40 am

    he…he…,lho kok aku tak disebut-sebut ya…gpp deh…yg penting semua berjalan dengan baik…, cari dong topik yang bersemangat lebih ngilmiah…pake rumus matematik kalo perlu, biar otak kanan dan kiri berfungsi…pasti lebih seru…

  16. Lita

    September 8, 2006 at 1:21 pm

    Ule
    Tatapan lembut? Hmm… singa juga sayang sama anak lho :mrgreen:
    Karena udah nikah dan punya anak kali ye…
    Sini, ajari aku masak ala papapmu. Kangen aku sama kue bikinan beliau hehehe…

    Biat
    Mas, dikau kan kakandaku, bukan asisten keluarga. Ya ndak masuk bahasan tho, kangmas :mrgreen:

    Oh ya sodara-sodara, perkenalkan. Mas Biat ini kakak saya tersayang yang mengasuh saya sejak bayi sampai SD dan tetap mengawasi sampai sekarang hehehehe…

  17. edratna

    January 2, 2007 at 9:17 am

    Memang betul,asisten diperlukan apalagi jika kedua suami isteri bekerja diluar rumah.
    Pengalaman mempunyai berbagai asisten sejak kecil, sampai berumah tangga sendiri bermacam-macam, tapi yang penting adalah mereka manusia biasa yang butuh perhatian.

    Dengan prinsip itu, anak2ku menghargai mbaknya, dan si mbak sudah dianggap keluarga sendiri, kalau sakit diantar ke dokter, punya kamar sendiri plus TV sendiri (supaya nggak berebutan nonton, karena kadang selera berbeda).

    Asisten dirumahku rata2 bekerja dalam jangka panjang, ada yang sampai menikah (anaknya jadi anak asuh keluargaku), ada yang pintar sampai bisa diajari mengetik pake komputer dan membantu suami menulis paper (tentu dia mendapat uang tambahan). Belakangan dia minta diajari menyopir…padahal cewek, jadilah dia asisten serba bisa dan tangguh. Jadi tugas dia sekarang memang asiten, dia mengajari pembantu yang baru datang, bertanggung jawab terhadap menu masakan (plus mengatur program diet suami), mengantar kami2 sampai keluar kota karena cara menyetirnya sudah ahli, mengetikkan paper dan tugas kuliah….hebat ya. Saya tak tahu, apa jadinya keluarga ku jika ditinggal si mbak asisten yang satu ini, karena dia sudah 12 tahun ikut keluarga kami.

    Kalau saya dinas keluar kota atau keluar negeri, yang dipikirkan pertama kali adalah membeli oleh2 untuk anak2 dan para asisten dirumah.

  18. renee, bundanya aila

    January 3, 2007 at 1:04 pm

    asisten oh asisten…
    baru pertama kali mempekerjakan PRT, udah dibohongin.
    janji balik lagi pasca lebaran, diingkari (pake acara nggantung dulu dgn janji2x manis bakal balik tapi …hari lagi pula! 🙁 )
    padahal…dusta!!! yg satu gak balik krn dipaksa nikah oleh ortunya (baru 18 thn… 🙁 ), yg lain diam2x kerja sama adiknya teman sekantor! >:(
    akhirnya repot cari ganti.
    yg sekarang gak seterampil yg dulu, tapi masih lebih menolong lah ketimbang gak ada sama sekali 😉

  19. Lita

    January 3, 2007 at 11:08 pm

    Edratna
    Whaow… asisten bu Ratna kampiun banget! Saya kalah tuh, belum bisa nyetir mobil 😀
    Iya, oleh-oleh utama adalah untuk anak dan asisten di rumah. Setuju banget, bu 🙂

    Renee
    Awww… pengalaman gak enak dengan asisten 🙁
    Sebenernya kalo ada apa-apa, paling enak dibicarakan langsung ya. Masalah utamanya (kata ibu) adalah para asisten ini biasanya SEGAN untuk ngomong. Bahkan untuk yang tiap hari becandaan cela-celaan sama orang rumah pun ternyata bisa juga diem-diem gak ngomong kalau gak setuju. Untung cepet ketauan.

    Mungkin karena masih ada sisa ‘ketakutan feodal’? Kadang kami yang rikuh kalau asisten berlaku terlalu ‘merendah’. Gimanaaaaa gitu.
    Lha kok aku malah nambahi curhat toh ini.

  20. dian ibung

    May 14, 2007 at 10:04 am

    Lita…apa kabar ? daku yg duduk di sebelahmu tgl 11/05 kmrn 🙂
    Cerita tentang mba memang never ending deh…..
    Oya, klu mo ngirim ke majalah (aku baca di homepage ini) kirim2 aja…cuma itu satu2nya cara kok Lita…

    Regards

  21. dian ibung

    May 14, 2007 at 10:06 am

    LIta…aku tadi uda comment, masuk ga ya ?

  22. Nopi

    June 25, 2007 at 11:46 am

    Aduh kok asistennya berani nempeleng sih mba, walah jadi inget 3 anaku di rumah mudah mudahan ga ada kejadian seperti itu …ihiks.
    Dari mulai menikah 4 tahun lalu entah sudah berapa kali ganti asisten, pusing juga ngurusin asisten ini. Mudah mudahan 5 tahun lagi aku dah ga perlu asisten dech kalo bisa dikerjain seisi rumah mendingan dikerjain sendiri aja kali ya.

    (salam kenal mba lita tulisannya bagus sekali)

  23. dian ibung

    July 29, 2007 at 10:49 pm

    Lita….. apa akabr ? kok ga apdet ? lagi ngerjain apa sekarang ? udah adakah tulisanmu di majalah ?

Leave a Reply to kenji Cancel

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.