Cacat Klaim Penguat Sistem Imun

Saya pernah menulis tentang suplemen dari ekstrak echinacea dan pernyataan uji klinisnya. Saat ini sudah seharusnya saya meralat sebagian tulisan tersebut, mengingat produk S Stimuno (kenapa tidak ada di arsip data BPOM, ya?) yang saya sebut memang sudah lolos uji klinis dan dinyatakan sebagai fitofarmaka, dan bukan terbuat dari echinacea.

Namun kini timbul tanda tanya lain ketika saya menemukan produk tersebut di toko swalayan kecil berlokasi dekat rumah. Seingat saya, produk S Stimuno ini diiklankan di televisi sebagai 'suplemen penguat sistim (ya, pakai 'i') imun'. Sedangkan pada kemasannya Stimuno menyatakan diri sebagai immunomodulator.

Lalu di mana masalahnya? Masalah terbesar adalah adanya 'kesenjangan' istilah. Jadi begini…

Immunomodulator bukanlah suplemen

Immunomodulator tergolong obat, pemicu reaksi sistem kekebalan tubuh yang beraksi secara spesifik (misalnya vaksin), dan non-spesifik. Dari penggolongan ini jelas bahwa produk S Stimuno tergolong non-spesifik, karena 'tujuan'nya tidak tentu. Tidak seperti vaksin, yang memicu pembentukan kekebalan terhadap virus atau bakteri tertentu.

Dari klaimnya sebagai immunomodulator (= obat golongan tertentu), sudah jelas bahwa Stimuno bukanlah suplemen. Selain itu, inkonsistensi lainnya ada pada pernyataannya sebagai fitofarmaka, sebagai 'hasil' pengujian ekstrak tumbuhan yang lolos uji klinis.

Fitofarmaka. Obat dari tumbuhan. Obat! Lho kok diiklankan sebagai suplemen?

Modulator tidak selalu berarti enhancer

Immunomodulator berfungsi untuk menormalkan kembali sistem kekebalan, ketika -pada saat dan keadaan tertentu- tubuh tidak berhasil menormalkan sistem kekebalannya sendiri. Sedangkan immune enhancer tentunya bersifat enhancing; meningkatkan (elevating).

Immunomodulator dapat bertindak untuk memperkuat (immunostimulator) atau menekan (immunosuppressive) reaksi sistem kekebalan tubuh. Sebentar, jangan menjawab dengan "Sudah jelas, kan? Pasti yang diinginkan ya immunostimulator, dong! Gimana, sih!".

Lho, klaim kan harus jelas. Batasannya harus pasti. Indikasi penggunaan jangan malah membuat penggunanya mengira-ngira dan menarik simpulan sendiri. Yang mana, dong? Kan ngga bisa dua-duanya sekaligus. Lagipula mana anda tahu mana peran yang dibutuhkan tiap orang?

Jika memang bisa berfungsi sebagai keduanya, pada keadaan bagaimana ia bersifat pemicu dan kapan ia bersifat sebagai penekan? Apakah terhadap flu dan selesma dapat bertindak sebagai pemicu sistem kekebalan, sedangkan terhadap alergi dapat berlaku sebagai penekan reaksi sistem kekebalan?

Peningkatan kekebalan tubuh belum tentu kabar baik

Alergi adalah contoh nyata 'kabar buruk' reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh. Ketika suatu benda asing (makanan juga termasuk benda asing, lho) dikenali sebagai musuh berbahaya yang harus dilawan seketika juga. Seluruh pasukan disiagakan dan reaksinya mirip histeria massa yang paranoid (ups, berlebihankah?).

Ada saat-saat di mana reaksi kekebalan tubuh justru dihambat karena efeknya yang sangat mengganggu. Misalnya gatal-gatal, bengkak, atau timbul ruam ketika terpapar sesuatu (dingin, debu, makanan laut). Untuk meredakannya, dapat menggunakan (obat) antihistamin. Sedangkan histamin sendiri adalah senyawa yang dilepas oleh sistem kekebalan tubuh dalam rangka 'perang' terhadap antigen.

Batuk-pilek bukan alasan mengonsumsi

Sistem kekebalan tubuh berkembang sesuai usia. Jika banyak orangtua yang mengeluh balitanya seringkali sakit, bolak-balik batuk-pilek, demam, inilah jawabannya: sistem kekebalan tubuh anak sedang belajar.

Ibarat komputer baru, data yang tersimpan masih minim untuk dapat digunakan secara optimal sepanjang hidup. Butuh banyak masukan. Dan cara belajar sistem kekebalan selain dengan vaksin, ya dengan terpapar pada antigen (stimulating antibody generation; pemicu pembentukan antibodi).

Ada banyak macam virus penyebab common cold (= selesma), di antaranya adalah Rhinovirus yang menyumbang setengahnya. Tidak aneh jika kita beberapa kali pilek dalam setahun. Mereka bisa bergiliran. Bahkan belum tentu kita sudah pernah 'merasakan' kedatangan mereka semua, walau sudah pernah pilek 50 kali.

Pertanyaan dan harapan

Harapan berlebihan terhadap suplemen? Ya, suplemen memang tidak dapat mengobati atau digunakan sebagai terapi. Posisinya sebagai suplemen menjadikannya hanya sebagai 'pembantu': membantu menjaga kondisi tubuh, membantu memelihara kesehatan, dll.

Ya. Tapi kan immunomodulator itu obat, bukan suplemen? Gimana sih ini. Yang salah itu klaim fitofarmaka, klaim immunomodulator, atau klaim suplemen? Apa tiga-tiganya sekaligus? Atau semuanya betul dan saya memang ngawur?

Bukan, bukan saya tidak percaya pada pengobatan herbal. Sungguh, saya bingung menghadapi klaim bertumpuk-tumpuk ini. Mbok ya'o, produsen jangan suka bikin bingung konsumen!

Asli saya ndak ngerti. Mohon ajari. Adakah anda yang bersedia membantu saya? Pak/bu dokter, farmasis, siapa saja.

Tulisan tentang 'suplemen' imunomodulator ini sudah diangkat oleh Parentsguide edisi Januari 2007. Bravo, PG ๐Ÿ™‚

20 Comments

  1. Eep

    April 18, 2007 at 6:26 am

    pertamaaa… ? ๐Ÿ™‚
    kalau menurut saya, saya setuju, suplemen tidak bisa dijadikan obat. tetapi, asupan nutrisi dari suplemen bisa saja membuat tubuh kita mampu membangun sistem kekebalan sendiri, akibatnya dapat mengusir penyakit. jadi tidak langsung gitu.
    kalau obat, mungkin langsung beraksi ke penyakitnya, alias membasmi “hamanya”, dibantu juga oleh tubuh. makanya biasanya dokter selain memberikan obat, juga ada yang suka memberikan vitamin, maksudnya supaya obat bekerja membasmi penyakit, lalu tubuh juga karena ada asupan vitamin kekebalan tubuhnya meningkat..

    kalau saya mengenai pengobatan herbal.., wah percaya banget, karena sudah beberapa kali tertolong dengan herbal.

    sayangnya.., di indonesia memang sering tidak jelas, produsen sering membuat iklan-iklan yang kurang mendidik. baik itu produsen suplemen atau obat yang terbuat dari herbal. malah ada suplement yang overklaim bisa mengobati berbagai jenis penyakit. mbuh ah ga ngerti.., saya bukan orang farmasi soalnya…

    1. Lita

      April 18, 2007 at 7:04 am

      Menurut aku, mas, pengobatan herbal itu lebih sulit daripada kedokteran medis.
      Gini. Kan kandungan dalam obat-obatan di kedokteran medis itu bisa didefinisikan isinya dengan jelas, detil. Senyawa A, berapa persen, B sekian persen, dan seterusnya. Indikasi untuk setiap senyawa juga spesifik.

      Sedangkan dalam pengobatan herbal, tumbuhan yang digunakan bisa jadi memang betul-betul manjur, tapi hingga sekarang baru sedikit yang diketahui tentang bagian mana, senyawa apa, dan takaran persisnya seberapa yang dapat mengobati suatu penyakit untuk mendapatkan efek pas seperti yang diinginkan.

      Kesulitan lainnya adalah penggunaan seluruh tanaman, bunganya saja, akarnya saja, kombinasi beberapa di antaranya, atau bagaimanapun, hasilnya belum tentu sama. Belum lagi harus tahu apa yang harus diekstrak dan cara mengekstraknya. Pengobatan dari Cina -sependek yang saya tahu- menggunakan bahan baku yang dikeringkan. Kalau ingin difabrikasi, ditingkatkan volume produksinya (ala pikiran matre teknik kimia, nih), lebih baik dikemas dengan lebih ringkas dan diambil bahan aktifnya saja ketimbang seluruh jasad.

      Nah, untuk tahu bahan aktifnya saja sulit, mengambilnya lebih sulit lagi, dan mempertahankan agar fungsinya tepat seperti sebelum diekstrak lebih rumit daripada sulit. Makanya, perkembangan ‘dasar ilmiah’ bagi pengobatan herbal lebih lambat. Ya karena tingkat kesulitannya yang berlapis-lapis itu, penelitiannya bisa makan waktu lama sekali.

      Yang bikin runyam, orang sering menyepelekan. Karena pakai bahan tumbuhan, lalu jadi ceroboh. Tidak tepat dosis, beranggapan bahwa alami selalu aman. Padahal sebaliknya. Sudah gitu, dasar pemikiran ceroboh ini dipromosikan besar-besaran pula, sebagai ‘perlawanan’ atas medis kedokteran moderen. Seolah medis kedokteran anti pada kekayaan intelektual tabib masa lalu (yang bisa jadi punya landasan ilmiah yang kuat), dan pengobatan herbal anti pada medis kedokteran HANYA karena menggunakan obat -yang sebagian besarnya- berbahan kimia sintetik.

      Padahal, saya lihat, tidak ada pertentangan antara keduanya. Walaupun kalau kedua pengobatan dijalankan sekaligus oleh orang yang sama dan tidak memberitahukan kepada masing-masing pihak, dapat terjadi efek interaksi antara obat herbal dan obat ‘biasa’. Dan jika efek samping terjadi, hampir selalu yang disalahkan adalah medis kedokteran moderen dan obatnya. Padahal ya tidak begitu. Orangnya yang salah, karena tidak bilang. Bagaimana peresepan obat bisa memperhitungkan keberadaan pihak lain kalau diberitahu saja tidak.

      Weh, malah jadi ndobos. Gimana pemikiran saya ini, cak Moki? Apa ada yang bener? Soalnya kalau menyimak arsip di NCCAM, kesan terhadap penjelasan umum yang saya tangkap kok ya begitu.

  2. Eep

    April 18, 2007 at 7:43 am

    ini hanya pengalaman saya saja, pengobatan herbal yang saya lakukan adalah kombinasi:
    – meminum obat yang berasal dari herbal, dengan terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter
    – meminum suplement yang herbal juga, juga dikonsultasikan dengan dokter
    – memakan makanan-makanan herbal juga, ๐Ÿ™‚ sayur mayur, buah-buahan, dll

    memang lebih rumit membuat obat dari bahan herbal, tetapi itu bukan hal yang tidak mungkin. saya pernah baca di Business Week bahwa sekarang ada trend juga industri farmasi mengarah ke bioteknologi (betul ga ya istilahnya). tar saya obrak-abrik lagi lemari buku saya, hehehe

    saya setuju, alami belum tentu aman, ini salah kaprah sebagian orang. kalau memang aman.. makan aja tuh bunga kecubung.. weh dijamin teler.. padahal kita tahu, kecubung itu tumbuhan dan alami. jadi ini kembali ke sikap orangnya lagi. kadang demi bombastisnya marketing.., timbulah kesalahan-kesalahan ini. dianggapnya pengobatan medis kedokteran modern itu berbahaya atau tidak bagus, padahal keduanya bisa seiring sejalan.

    kalau mengenai kesembuhan.., saya punya pendapat sendiri, kadang tidak perlu obat, kalau mau sembuh. banyak orang yang sembuh bukan karena obat, tetapi karena orang tersebut yakin akan kesembuhannya. efek placebo mau tidak mau, diakui atau tidak.. ya itu ada. berapa kali saya kena flu sembuh hanya dengan istirahat, mendengarkan musik yang menyenangkan, membuat hati gembira, dan saya percaya, esok hari juga sembuh.. dan betul.. flu hilang.. tidak lantas minum obat flu.

    ada kawan saya, karena sudah cocok dengan satu dokter.. ketika dokter langganan dia libur praktek.. dia coba ke dokter lain, tidak sembuh tuh penyakitnya. begitu dia ke dokter langganannya lagi, eh sembuh. padahal, obatnya sama persis yang diberikan oleh kedua dokter tersebut, hehehehe

    ada banyak hal yang tidak selalu bisa dijelaskan secara logis dan ilmiah. cuma kalau saya sih sangat percaya, keyakinan seseorang sangat besar proporsinya dalam proses penyembuhan, tentu dibantu dengan proses medis yang benar..

    weleh kok malah melebar kemana-mana.. hehehehe

  3. adi wirasta

    April 18, 2007 at 8:26 am

    “Ibarat komputer baru, data yang tersimpan masih minim untuk dapat digunakan secara optimal sepanjang hidup.”
    hmmm… kalo komputernya cuma buat dijadiin router PC, ya ga perlu banyak menyimpan data, instal linux, seting dikit dah optimal sepanjang masa PC tsb.
    just joking.

    Gila lu Lit.. Lu lulusan kedokteran ITB yah ??

    1. Lita

      April 18, 2007 at 9:18 am

      Hihihi… ya masalahe kan tubuh kita gak sekedar jadi router, tapi jadi server yang harus bisa diandalkan plus -sebisa mungkin- kebal virus dan bakteri ๐Ÿ˜‰

      Kedokteran ITB? Andaikan ada jurusan itu, ya. Paling banter ya farmasi atau… apa tuh ya, yang jadi sub-jurusan elektro. Biomedik, gituh. Gak ngerti. Hehe..
      Tapi… kalo mengenang masa lalu, dulu aku sama sekali gak kepengen masuk Fakultas Kedokteran. Kebayang hafalannya segambreng.
      Eh sekarang kok ya tertarik ke masalah medis hehe…
      *entah naluri darimana, mungkin ‘titipan’ mendiang bapak. yang konon -kata ibu- pengen aku masuk FK hihi…*

  4. Ule

    April 18, 2007 at 11:51 am

    belajar dr mana aja yah, ga perlu kedokteran untuk tahu ttg hal ini. apalagi klo hal yang penting, KESEHATAN!! bener gak eL? ๐Ÿ˜€

  5. ira

    April 18, 2007 at 3:05 pm

    HIV kan masalah kekebalan tubuh ya…?
    bisa gak suplemen itu dikasih buat penderita HIV

  6. Lita

    April 18, 2007 at 11:35 pm

    Eep
    Nah, setuju banget, tuh. Memang tidak semua kondisi sakit perlu pengobatan. Kalau dengan lebih banyak istirahat, banyak minum, atau ‘wait and see’ saja bisa pulih dan sembuh sendiri, kenapa mengharuskan diri minum obat.
    Yang paling sering kejadian adalah kita terinfeksi virus, yang sifatnya self-limiting disease. Yang juga berarti, setelah selang waktu tertentu, kita bisa sembuh sendiri tanpa harus diberi perawatan apapun ๐Ÿ™‚
    Ah, biar yakin, katanya mah. Sugesti. Bahwa kita sudah berusaha.(berusaha minum obat, maksudnya hihi…)
    Ya itulah plasebo. Hehehe…

    Ule
    Belajar emang bisa di mana aja dan dari siapa aja. Hanya kita harus memilih ‘guru ajar’ yang tepat.
    Misalnya, tidak belajar tentang kesehatan dari pembuat produk kesehatan hehehe…
    *netralitasnya amat sangat sering bisa diragukan*

    Lagipula pengetahuan praktis emang penting banget. Ngga layak kalau kita pasrah hanya diberitahu oleh dokter, itupun pas lagi sakit. Yeuh… :p

    Ira
    Di kontra indikasinya memang tidak ada (maksudnya tidak disebutkan bahwa penderita kelainan sistem imun tidak boleh mengonsumsinya), tapi di indikasinya juga tidak ada. Hanya infeksi oleh virus yang lain.
    Cari dengan kata kunci immunomodulator ngga nemu keterangannya, pake suplemen apalagi.
    Entahlah.

    Cuma… inget ada produk kolostrum, yang mengklaim bisa ‘segalanya’, mencantumkan kontra indikasi terhadap pengidap kelainan sistem imun. Apa saja, tidak hanya HIV/AIDS.
    Ada hubungannya ngga, ya, dengan klaim produk ini yang agak ngga jelas? Hmmm…

  7. dewi, Aim for English - Manggarai

    April 19, 2007 at 8:50 am

    Aku belum baca komplit tulisan yg ini Lit, mumet bin njelimet… Masih pagi nih hehe…
    Biasanya aku pake prinsip: Jangan sembarangan masukin apa-apa ke mulut/badan. Mo itu obat, jamu, suplemen, vitamin (kecuali kalo emang ada kondisi khusus yg udah didiagnosa butuh barang2 itu), termasuk juga gak ngemil sembarangan. Cukuplah makan nasi lauk pauk dan sayur mayur tiga kali sehari dan buah sesering mungkin. daripada makan sekenanya terus ngandelin supplemen or asupan lain kalo badan berasa gak fit. Ya gak?

  8. danu

    April 19, 2007 at 5:18 pm

    apakah klaimnya itu di-iklannya bu? coba aja dilaporin ke p3i alias persatuan perusahaan periklanan indonesia, kirim aja ke http://www.pppi.or.id/kasus.php… mudah2an ada tanggapanya. dan, kalo termasuk pelanggaran kan sekarang ada undang2 perlindungan konsumen ya… *soal herbal, saya sekeluarga juga mengkonsumsinya. tp yg susah emang masalah dosisnya. kita kan gak mungkin mengira2. alhamdulillah ada pakar2 yg mau berkecimpung di herbal ini.*

  9. Lita

    April 19, 2007 at 9:24 pm

    Dewi
    Hihihi… Bacanya sambil minum teh anget, mbak. Jadi pengganti nonton gosipan ๐Ÿ˜€
    Ya, kapan benar-benar perlu saja. Sayangnya, sebagian kita punya prinsip “keinginan dapat menjadi kebutuhan”.
    Biarpun sakit kepalanya hanya ringan dan bisa dirawat dengan tidur, kalau belum minum obat ya ngga sreg.
    Biarpun kalau didiamkan juga selesma sembuh sendiri, kalau belum minum obat ya ngga afdol.
    Ya gitu lah :p

    Ngemil… aku suka. Apalagi kalo ada pisang, jeruk, pepaya, apel, alpukat, semangka, mangga, wah… semangat banget deh ngemilnya ๐Ÿ˜€
    Sip. Penuhi dulu kebutuhan yang prinsip. Baru kekurangannya (kalau ada) diatasi.
    Perbaikan pola makan, istirahat, dan olahraga seringkali adalah solusi yang terbaik.
    *wuih.. teorinya mak…*

    Danu
    Terimakasih, pak Danu.
    Untuk kasus yang dulu itu (saya sampai lupa yang mana hehehe…), saya cari-cari di website-nya kok ngga nemu form itu. Ya sudah, yang penting sekarang sudah tahu.
    Sudah saya kirim aduannya baru saja. Semoga mendapat tanggapan yang layak ๐Ÿ™‚

    Ya betul. Untuk urusan pengobatan herbal (atau alternatif lain), yang sulit adalah penentuan dosisnya.
    Karena sebagian orang -yang sebetulnya tidak betul-betul ahli tapi merasa menguasai- tampaknya tidak bermasalah dengan dosis. “Ambil sejumput anu, beberapa ruas anu, rebus, minum airnya…” Lha ukuran tangan orang kan beda-beda. Dosis kok kira-kira. Saya paling lemah soal kirologi, terutama di bidang masak-memasak hihihi…

    Kadang juga bingung, kalau urusan pengobatan tradisional seolah siapapun bisa. Tetangga ngasih resep anu untuk hepatitis, lainnya ngasih resep anu untuk batu ginjal, dsb. Dan kalau dirunut, sumbernya adalah ‘katanya’ atau ‘pernah denger si anu (walah, orang lain lagi) bilang gitu’. Wah…

  10. Indah

    April 21, 2007 at 2:42 pm

    @ Lita 4 Dewi:
    Duh cemilannya jeng… tinggal nambahin kuah es shanghai ๐Ÿ™‚
    Mo beli es shanghai ah… ๐Ÿ˜›
    *kabur…sblm ada yg ngiler*

  11. cakmoki

    April 21, 2007 at 3:30 pm

    Tulisan pendek ini sebenarnya mengandung banyak hal, padat, bernas dan mengajak kita untuk menggunakan akal sehat berlandaskan pemahaman ilmiah. Semacam review.
    WHO telah memberikan kesempatan luas kepada para ahli untuk mengembangkan “herbal” dengan berbagai syarat mengacu pada “keamanan”. Ini berarti semuanya kandungan “herbal”, suplemen atau sebutan apapun, wajib mencantumkan spesifikasinya, mulai: kandungan, indikasi, dosis, farmakokinetik, efek samping, kontra-indikasi, dosis maksimum, dosis letal (dosis toksis yang membahayakan jiwa) hingga proses pembuatannya. Sekali lagi demi “keamanan” pengguna. Betul kata Bu Lita, perkembangannya amat sangat lambat dikarenakan adanya batasan “keamanan”.

    Soal produk S dan sejenisnya, meski dianggap lolos uji dan diresepkan dokter, saya sendiri ikut mempertanyakannya. Terlebih menyangkut immunomodulator yang nyata-nyata terkait soal “kadar” respon imun (misalnya: imunopotensiasi, imunosupresi ataupun induksi toleransi imunologik tubuh kita).
    Sayangnya, hingga kini BPOM belum memiliki “standar”, bahkan beberapa produk yang dilarang di luar negeri, lolos dari BPOM, meluncurlah di pasaran dengan klaim keunggulan. Parahnya, sebagaian dokter malah ikut menggunakan untuk para pasiennyanya. Tak dapat dipungkiri, inilah salah satu contoh wajah kelam dunia tata niaga di bidang kesehatan. Bonus, klaim, CN (credit nota=bahasa halus angpao) ikut terlibat di dalamnya, bahkan disinyalir lebih dominan ketimbang faktor keamanan dan kemanfaatan. Masih banyak produk sejenis yang dipercaya dapat membuat “ini-itu”. Makin mahal dianggap makin heboh.

    Suplemen !!! Jika selebriti ikut bicara (promosi), tak pelak dianggap barang afdhol. Padahal kebanyakan isinya mineral dan vitamin. Jika kita berpola hidup sehat, atau dalam arti yang lebih sempit, makan dengan lauk pauk, sayuran dan buah memadai, untuk apa lagi mengkonsumsi suplemen. Sepanjang masih doyan nasi pecel, gado-gado dan sejenisnya, maka tambahan mineral dan vitamin (meski dikemas pakai nama heboh bin aneh) tidak diperlukan lagi.

    Saya juga sependapat, kesembuhan ibarat sebuah misteri. Memang benar keyakinan ikut berperan, tentu keyakinan berlandaskan keilmuan, bukan hanya yakin doang. Kita hendaknya tidak berlindung dibalik kata “namanya juga usaha”. Komen di atas sudah ada yang menyebutkan bahwa perut kita bukan keranjang sampah.

    Bu Lita ini cocoknya jadi dokter, hehehe. Fifty-fifty gantiin praktek *lagi*.
    Ok, ilmu praktis bidang kesehatan seyogyanya dimiliki warga Indonesia, sejalan dengan SKN (sistem kesehatan nasional). Asalkan bersumber referensi yang dapat dipertanggung jawabkan, walau kadang sulit lantaran campur baur dengan “pesan sponsor”. Konon menurut investigasi Tempo, September 1999 disinyalir sekitar 50% dokter sudah tercemari “pesan sponsor”. Siapa korbannya ? Ngacung !!!

    wuiih, maaf kepanjangen.
    Btw, pilihan ada pada masing-masing individu. Tentu postingan ini sangat bermanfaat sebagai salah satu acuan kita. Untuk kesekian kalinya, saya harus mengucapkan salut ๐Ÿ˜€

  12. muslim

    June 16, 2007 at 9:36 am

    ikut gabung ya, kalau saya sebenarnya lebih percaya pada pengobatan herbal, tapi juga tidak sembarang herbal, ketika kita sakit yang menyembuhkan itu Alloh SWT, pengobatan itu hanya sebatas usaha dan media dalam penyembuhan, mau diobatin pakai apapun kalau Alloh tidak menghendaki kesembuhan pasti tidak sembuh, tapi mungkin hanya dengan istirahat saja, bisa sembuh kalau Alloh meghendaki, sehingga dalam pngobatan pun saya memilih apa yang Allah firmankan, misalkan dengan minum madu, atau hijamah atau jinten hitam (habatussauda)atau minyak zaitun, selain itu merupakan usaha dalam berobat itu juga merupakan ibadah. walaupun saya juga tidak meniadakan obat kimia, tapi ya pilih-pilih gitu.

  13. suci

    July 22, 2007 at 10:49 am

    ikutan ya mbak,,,
    menurut saya,,,ini menurut saya ya,,,
    sebenarnya suplemen kalo diliat secara entimologi adalah “bahan tambahan” yang tubuh butuhkan tapi tidak selalu, suplemen bisa naik tingkatnya menjadi imunomodulator jika dalam tubuh emang bener2 dibutuhkan,,,
    misalnya,,saat saya sedang sakit flu,,,biasanya saya langsung minum vit C,,,kalo kondisi normal, vit c hanya sebagai supllemen, tapi saat flu, vit c sebagai imunostimulan,,,karena dapat menstimulasi sistem imun,,,sebenarnya dengan adanya bakteri, virus dll, secara alamiah tubuh kita akan merespon, sistem imun akan bekerja dengan sendirinya,,tapi untuk memerangi “perang” kita bantu dengan yang namanya imunostimulan itu,,,
    jadi kalo dalam suatu kemasan obat dituliskan ada suplemen, imunomodulor dll,,itu ga bisa disalahkan,,,

    trus soal penulisan kandungan,,,yang sulit untuk obat herbal adalah standardisasinya,,,
    sehingga umumnya untuk obat herbal hanya ditulis xxx mg ekstrak yyy,,,
    seperti yang disebutkan, untuk menulis % kandungan zat aktif dari obat herbal itu sulit,,,
    dan yang membuat saya juga kaget efek dari satu herbal itu bisa macam2,,kadang ada yang kontradiktif juga,,,
    kadang ada yang bilang untuk hipotensi,,tapi dari herbal yang sama kadang ada yang bilang untuk hipertensi,,,,
    kalo dirunut secara ilmiah,,untuk pengaturan tekanan darah kan ‘saklar’ yang dipencet sama,,,jadi mungkin,,pengaturan itu juga tergantung dosisnya,,,,
    obat modern juga gitu kan,,,

    untuk bertanya ke dokter memang bagus sih,,,tapi bukannya antipati dengan dokter,,,kadang dokter tidak percaya dengan pengobatan CAM (Complemetary and Alternative Medicine),,padahal kalo dilihat dari sejarah,,sebenanrnya kedokteran itu asalnya juga dari alam,,,
    dokter lebih percaya dengan ‘obat modern’ karena sudah jelas mekanismenya, efek sampingnya,,,,

    kalo sekarang,,,yang sedang trend adalah ‘healing brain’,,,,,pengobatan itu sumbernya adalah pikiran,,,
    …..memancing di tempat yang tidak diketahui ada ikannya akan lebih baik daripada memancing di tempat yang jelas ada ikannya, karena dengan tidak melihatnya,,kita menganggapnya ada…..

    1. Lita

      July 22, 2007 at 1:08 pm

      jadi kalo dalam suatu kemasan obat dituliskan ada suplemen, imunomodulor dll,,itu ga bisa disalahkan
      Sebetulnya pertanyaan inti dari saya hanya satu: produk ini obat ATAU suplemen?
      Jika obat mengandung suplemen, baiklah kalau itu tidak bisa disalahkan. Tapi kalau suplemen mengandung obat, itu jelas MASALAH.
      Apalagi kalau yang dikatakan sebagai suplemen ini memang pada dasarnya adalah obat.
      Suplemen tidak boleh mengklaim khasiat obat DAN mengandung obat.

      Mbak sendiri sudah menjelaskan, mengapa dokter tidak percaya dengan CAM, yaitu karena sudah jelas mekanisme dan efek sampingnya.
      Kurang satu lagi yang paling penting, menurut saya. Yaitu BUKTI. Evidence based medication.
      Pengobatan berdasarkan terapi yang sudah jelas buktinya. Menuruti kaidah metode ilmiah, tentunya, dengan uji klinis.
      Memang, uji klinis masih dapat ‘dipermainkan’. Apalagi jika tidak menggunakan uji klinis.
      Andaikan ‘pengobatan dari alam’ dapat dibuktikan efektivitasnya secara medis, ya dipakai juga kan. Yang penting bukan moderen atau kuno, alami atau sintetik, tapi BUKTI efektivitasnya.

      karena dengan tidak melihatnya,,kita menganggapnya adaรขโ‚ฌยฆ..
      Hm? Sependek kewarasan saya, JUSTRU karena sesuatu tidak dapat dilihat, kebanyakan orang berpikiran awal bahwa sesuatu tersebut tidak ada.
      Kalau tidak melihat tapi berpikir bahwa sesuatu itu ada, itu adalah bentuk keyakinan.
      Keyakinan yang tetap dapat dibuktikan, dengan mencari bukti keberadaan melalui jejak atau pengaruhnya terhadap hal lain, walau tetap tidak dapat dilihat.
      Yang dengan pembuktian dapat disimpulkan apakah keyakinan tersebut benar atau tidak.

      Mungkin maksudnya, membuat asumsi awal bahwa sesuatu itu ada?
      Baru kemudian dilakukan pembuktian seperlunya, untuk memastikan apakah asumsi tersebut benar atau tidak.
      Tapi tidak bermaksud mengada-adakan sesuatu yang tidak ada, kan?

  14. isa

    November 11, 2007 at 7:04 am

    saya setuju sekali!!!!
    stimuno itu bukan fitofarmaka!!!
    bahkan dosen saya diundang para pembuat stimuno untuk diajari bagaimana cara membuat fitofarmaka padahal productnya dah keluar>>>>>
    dasar pembohong publik!!!

  15. ummu salamah

    April 1, 2009 at 10:28 pm

    Kalau kita beli mobil… maka kita yakin ada Pembuat Mobil
    Pembuat mobil mempunyai tujuan tertentu, yaitu agar mobil itu dapat membantu si Pembeli mobil, dalam menjalankan kegiatan sehari-hari.Mengantarkan si Pembeli mobil ketempat ia bekerja,dengan cepat, aman dan nyaman.

    Begitu juga manusia, manusia di ciptakan ALLAH untuk apa….? untuk memelihara dunia ini agar aman untuk seluruh alam…

    Manusia mengenai kesehatan ada RUMUSNYA… yang ada di AL QURAN Surat AL BAQARAH 168. WAHAI ..seluruh manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang ada di bumi….

    Ini berlaku buat muslim atau non muslim.

    Jadi kalo manusia bikin aturan sendiri, bikin obat yang kimia sintetis, ya.. gak bener jadinya,… bikin Vaksin dari barang haram,mengambil darah orang yang sakit.. ginjal kera, ginjal anjing, bayi aborsi, di tambah pengawetnya air raksa… rumus nya siapa tuh….itu bukannya menambah imunitas tubuh.. malah mengkloning penyakit orang ke tubuh bayi, atau orang lain… mmh PARAH..diboongin .. kok mau gitu loh…

    Jadi rumusnya kesehatan: makanan harus yang halalan toyiban, caranya halal, zat yang di makan halal, toyiban yang alami….

    Nah ALLAH memberikan ILMU PENGETAHUAN kepada RASULULLAH SAW bagaimana tata cara memelihara kesehatan manusia. apa saja obatnya.

    Obat yg di ajarkan RASUL untuk seluruh manusia adalah, MADU, HABATUSAUDA, MINYAK ZAITUN, KURMA, dll, yang langsung dari bumi.OBAT dari ALLAH INI adalah OBAT sekaligus SAPLEMEN.

    contoh : HABATUSAUDA ad hadisnya . Rasulullah SAW bersabda, “mamin d’ain fil habatusaudai minhu sifa’an ila samma “(Al Hadits)

    artinya: tidak ada satu penyakitpun, melainkan di dalam HABATUSAUDA, terdapat kesembuhan bagimu kecuali kematian.,

    Habatusauda… diminum setiap hari sebagai saplement (2×2) kapsul pagi dan petang, agar TENTARA ALAMI DALAM TUBUH KITA, TERPELIHARA KEKUATANNYA. tetapi dalam hal.. ketika
    kita sakit… maka HABATUSAUDA bisa diminum (3×5) ….

    Kalau DBD, maka kita minumkan sari korma…ini mampu menaikan trombosit, untuk tang anemia, ibu-ibu hamil…
    dan ada petunjuknya dari PENCIPTA MANUSIA, dari ALLAH… untuk seluruh manusia..ALLAH dan RASULNYA gak pernah bohong… nggak KAPITALIS meracuni orang lain untuk BISNIS

    Percaya sama aturan ALLAH ato Aturan manusia… yang tidak menciptakan manusia… ayo… BERPIKIRLAH….
    AH… CAPE ….LAGI NULIS DI ILANGIN TERUS… YAH … SUDAH… MUDAH..MUDAHAN AJA ADA YANG PAHAM…

    1. Lita

      April 4, 2009 at 11:12 pm

      Mbak/bu/ummu, anda sebelumnya berkomentar di tulisan yang lain.
      Saya tidak menghilangkan komentar anda.

      Komentar memang melalui moderasi.
      Santai saja, tidak perlu marah-marah (dengan menggunakan huruf kapital itu).
      Saya mengerti maksud anda, kok.

      Balasan singkat dulu:
      Saya rasa produk apapun yang ‘dijual’ dan ‘dipromosikan’ itu termasuk bisnis.
      Begitu pula dengan sari kurma, habbatussauda, dll yang anda katakan itu.

  16. Matsongoko

    March 1, 2011 at 6:20 pm

    Yg gw tau beberapa yg alami itu sudah jadi sediaan obat, beneran obat lho bukan suplemen, misal kina.

Leave a Reply to ummu salamah Cancel

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.