Beasiswa Belajar: Hal yang Tak Tampak di Media Sosial

Beberapa waktu lalu saya mencuit tentang hal-hal yang tak tampak di akun Instagram para pelajar (atau non-pelajar) yang tinggal di luar negeri. Negara mana saja, menurut saya akan mirip. Dan memperoleh sambutan dari yang (pernah) menjalani.

You know what’s not on instagram of ‘good life people living abroad’? Their daily struggle. Laundry. Messy room. Meh food. Cleaning. Bills.

Sebelum berangkat, beranganlah saya tentang langit yang tampak berbeda dilihat dari kolong yang berbeda. Tentang udara yang lebih segar. Tentang sistem yang rapi. Tentang tuntutan yang tinggi. Sebagian besarnya tidak meleset. Yang lepas adalah yang tidak dibahas oleh pihak kedutaan dan tidak nampak di foto-foto: bagaimana kamu akan dipandang orang (dibandingkan dengan bagaimana rasa sebenarnya) dan kehidupan sehari-hari.

Fasilitas

Beasiswa teacher training ini tidak memberi biaya penyesuaian hidup di awal seperti sebagian beasiswa lain. Kamu datang bawa uang yang harus cukup untuk sebulan, karena beasiswa turunnya di akhir bulan. Kamu datang dan mungkin terkejut karena keadaan tak seperti yang diceritakan (oleh pihak kedutaan maupun universitas). “Tahu gitu kan gue bakalan bawa [isi sendiri]”.

Saya cari tahu sebanyak yang saya bisa sebelum datang ke Jepang. Toh di hari pertama syoknya tetap luar biasa. Kamar asrama tua (dari tahun 1970-an) berukuran 30 m² ini berisi dipan, kasur, meja, kursi, kloset kering, pesawat telepon intra universitas, dan pemanas sentral. Sudah.

Kamar besar (buat saya) dan transparan (karena jendela dan pintu kacanya besar) itu menatap saya balik dengan dingin. “Subhanallah… ” rasanya ingin menangis saat itu. Apa yang difoto? Kondisi kamar apa adanya. Dikirim ke orangtua? Tidak, nanti beliau khawatir. Sudahlah putrinya tinggal jauh, nampak nelangsa pula. Jadi ya berkabar lewat teks saja. “Sehat, ma.”

Frozen morning dew
Frozen morning dew

Bahkan dengan antisipasi pengharapan yang rendah, ‘it was worse than I thought’. Tidak seburuk itu, tapi tentunya yang ada di pikiran saya berbeda karena di email pemberitahuan dikatakan ‘teacher trainee biasanya ditempatkan di kamar keluarga’. Kecuali (mulai) angkatan saya.

Semua perasaan frustrasi saya tumpah di malam pertama tinggal di Jepang. Nangis ya nangis deh. Puas sampai ketiduran. Besoknya sudah lebih ringan, karena pasrah. Barulah saya mulai mengunggah foto. Apa yang difoto? Pemandangan di luar yang nampak dari jendela kamar asrama.

Hari pertama (dan kedua) saya tidak bertemu dengan rekan satu negara kecuali yang berangkat bersama saya di satu program. Kesulitan kami sama, di luar tambahan bahwa saya ada kesulitan yang tidak dapat diabaikan: tidak bisa baca-tulis-bicara bahasa Jepang. Jalan kaki ke sana-sini, bingung arah, tapi apapun yang menarik difoto saja.

Memulung sampah

Selimut (futon), seprai, tirai, water boiler, dan rice cooker adalah beberapa barang yang dibeli di hari-hari awal kedatangan. Sisanya, kalau tidak dari toko ¥100 ya lungsuran dari senior, dikasih gratis, atau memulung dari tempat sampah.

Iya, dari tempat sampah. Sampah kan harus dipilah, dibungkus dengan wadah yang tepat (berlabel ‘burnable’ untuk sampah yang dapat dibakar, misalnya), jadi barang-barang seperti keranjang, tong sampah, rak kecil, dan lain-lain ya bisa diambil tanpa tercampur dengan sisaan makan malam 3 hari yang lalu.

Malu, tidak? Awalnya ya enggan. Malu. Tapi… ya kalau memang butuh dan legal (karena di tempat sampah, berarti sudah tidak diinginkan oleh pemiliknya), ya sudah lah ya. Bawa pulang, bersihkan, hias/modifikasi jika perlu, pakai deh.

Apa yang difoto untuk dikirim ke keluarga? Seperti hari pertama, kamar apa adanya, tapi kini dengan kasur yang sudah terutup seprai dan selimut. Jendela yang sudah bertirai. Meja yang ditutup sehelai taplak plastik meriah, supaya tangan tidak selalu kaget kalau menyentuh permukaannya karena dingin. Diunggah ke media sosial? Tidak. Dikirim ke ibu dan orang-orang terdekat saja. “Alhamdulillah, kabarku baik. Sehat, kok. Dibikin nyaman aja.” Karena hanya itu cara berdamai.

Barang bekas

Hingga ketemu grup Facebook tempat transaksi jual-beli barang-barang bekas (atau baru). Atuh lah… coba tahu dari dulu. Ya tapi tidak begitu juga. Kami datang tanggal 25 September. Student ID untuk mengakses segala macam (termasuk layanan internet) baru aktif pada 1 Oktober. Jadi ya bagaimanapun memang akan telat.

Food truck at central park
Food truck at central park

Sebelum tahu arah dengan baik (karena mau bertanya tak bisa juga, tak bisa bahasa Jepang dan orang Jepang tidak bisa bahasa Inggris), ke sana-sini ya jalan kaki. Belum sanggup beli sepeda, mau naik bus juga tidak tahu mesti naik apa kalau mau ke mana selain yang dilewati oleh loop bus yang khusus mengitari kampus. Apa yang difoto? Apa saja yang dilewati saat jalan kaki.

Dipinjami sepeda milik fakultas oleh sensei, “Sampai kamu bisa beli sepeda.” Alhamdulillah, bisa menjangkau tempat belanja yang lain, jadi ada alternatif harga dan barang. Setelah 2 bulan, sepeda dikembalikan. Tidak enak pinjam lama-lama. Alhamdulillah ada sepeda lungsuran dari senior teacher trainee (terima kasih, mbak Erlin!), dipakai sampai hari ini.

Kalau dapat informasi free market dan flea market, datanglah ke sana. Ambil seperlunya, supaya orang lain juga kebagian. Setelah beberapa waktu, dapat lungsuran kompor IH mini, microwave, kulkas, vacuum cleaner, beberapa alat masak dan pemanas dari teman lab dan teman Indonesia. Alhamdulillah. Gratis. Kondisi bisa berfungsi dengan baik.

Sampai akhirnya memutuskan pindah ke apartemen, kalau dipikir-pikir, barang besar itu lebih banyak berstatus pemberian dan atau barang bekas. Barang berukuran besar yang saya beli baru hanya matras, futon dan lampu gantung (karena tidak disediakan apartemen). Memiliki berbagai barang bekas seperti ini tidak terpikir selama di Indonesia, karena tidak populer.

Kendala bahasa

“Kalau tidak mengerti ya tanya!” Hal yang sangat sering berulang-ulang saya katakan di kelas. Hal yang tidak dapat saya lakukan di sini. Ada beberapa faktor:

1. Kendala bahasa. Bertanya itu bentuk komunikasi yang mensyaratkan bahasa yang dimengerti oleh kedua pihak. Masalahnya, yang bertanya tidak mengerti bahasa Jepang, yang ditanya tidak mengerti bahasa Inggris (dan Indonesia). “Ah, bisa! Lo ke mana aja, sih?” Justru itu dia, turis yang tidak mengalami kendala besar dengan bahasa di Jepang biasanya mengunjungi tempat yang memang menjadi tujuan wisata turis.

2. Tidak ada yang bisa ditanya. Tidak seperti di Jakarta, Indonesia, yang petugas berlalu-lalang, di sini sangat jarang ada petugas lewat. Datangi kantornya, lalu tanya. Bisa. Tapi kalau letak kantornya saja tidak tahu, mau bagaimana ketemunya untuk bertanya?

Toad or frog?
Toad or frog?

3. Informasi ada di depan mata tapi dalam bahasa Jepang dengan bentuk yang paling indahnya: kanji. Oke deh, tidak kanji. Kana. Hiragana, katakana, kanji, semua sama saja, intinya tidak dimengerti. Saya pernah bermasalah besar saat menggunakan loker koin untuk poin ketiga ini.

Saya menyimpan koper di loker koin di Tsukuba Center pada suatu sore dengan maksud supaya besok paginya saya tidak perlu menggeret koper sembari jalan kaki dari apartemen jam 04.30 pagi. Belum ada bus dan kopernya tidak cukup dimuat ke keranjang sepeda. Besok paginya jam 05.00 saya tiba dan menemukan bahwa pintu ke loker koin terkunci. Dalam panik saya minta bantuan ke orang yang mau melihat ke arah saya yang celingukan (tahu kan, reflek menghindari orang asing yang tampaknya ingin menanyakan sesuatu tapi kita khawatir tidak bisa bahasanya?).

Oleh bapak itu saya diajak ke kantor polisi (koban) yang letaknya di seberang terminal bus. Di sana saya cerita apa adanya, bahwa pintu ke loker koin ternyata baru akan dibuka jam 06.30 sedangkan saya harus naik bus jam 05.20. “Ada barang penting? Kalau kopernya ngga dibawa, gimana?” Ya… di situ isinya baju dan oleh-oleh… “Oleh-oleh! Wah sayang, ya! Coba kita usahakan!” (reaksinya ketika mendengar ‘omiyage’ itu seperti pemberitahuan ke saya bahwa omiyage itu sebegitu pentingnya untuk orang Jepang!). Entahlah siapa saja yang polisi itu telepon, akhirnya datanglah satpam bukakan pintu. Alhamdulillah…

Eh belum selesai. Ternyata loker tak bisa dibuka! Ternyata penyimpanan berlaku dari jam 08.00 sampai 24.00 (jika saya tidak salah ingat). Jadi kalau ada masalah, bisa hubungi penyedia layanan mulai jam 07.30. Tetot…

  • Satpam: Lho ternyata ada informasinya di sini. Nih ditempel. Kenapa dia ngga baca dulu?
  • Polisi: Dia kan orang asing, tidak bisa bahasa Jepang. Mau informasi lengkap pun, kalau hanya tersedia dalam bahasa Jepang ya bagaimana?
  • Satpam: Iya juga ya…

Singkat cerita, ketemulah pemecahan masalahnya: bayar lagi! Jadi koin yang saya bayarkan sebelumnya hanya berlaku hingga jam 24.00, maka jika lewat dari itu saya harus masukkan koin lagi. Kelar. Alhamdulillah. Busnya? Sudah lewat. Bus selanjutnya? Beli tiket lagi. Ngga bisa pakai tiket yang ada dengan pemakluman kasus? Tidak bisa. Polisi hanya bisa ceritakan ke supir bus bahwa saya akan beli tiket dari supir (karena ketinggalan bus sebelumnya).

Jadi tidaklah semudah itu untuk BERTANYA dan mencerna jawabannya.

Ini termasuk pula dalam layanan kesehatan. Sistemnya sendiri baik. Asuransi berlaku untuk pemegangnya tanpa kecuali, dengan pagu 70% biaya. Kita bayar sisanya yang 30%. Masalahnya? Sangat sulit untuk mendapat layanan prima sesuai kebutuhan jika kita tidak dapat berbahasa Jepang. Dari pendaftaran hingga anamnesis dan konsultasi, semua dalam bahasa Jepang. Bagian tertentu dapat tersedia juga dalam bahasa Inggris, seperti kuesioner sebelum saya menjalani MRI.

Saya yang sudah bolak-balik klinik dan rumah sakit berkesimpulan urusan akan jauh lebih mudah dan minim kesalahpahaman jika saya bisa berbahasa Jepang dengan lancar atau ditemani oleh orang yang berkomunikasi dalam bahasa Jepang dengan lancar. Kalau boleh pilih ya tentunya tidak mau sakit. Apa boleh buat, qadarullah demikian.

Foto dan cerita di balik foto

Setting sun seen from bridge
Setting sun seen from bridge

Di balik foto-foto yang mungkin menarik, ada kebingungan mencari jalan keluar stasiun, jalan memutar, lapar tapi salah beli makanan (tsk, gak kelihatan ada tulisan [babi/gelatin/apa saja]!), kedinginan, nyasar, kehabisan duit, salah naik bus, stasiun kelewatan, baterai habis, beasiswa belum cair…

Segala kesukaran, kebingungan, kelelahan, frustrasi, depresi (tugas, tagihan, utang dan lain-lain) tentunya tidak nampak di Instagram dan Facebook. (Ya tergantung sih, sebagian orang cukup transparan tentang hidupnya) Tapi tidak berarti tidak ada. Setiap orang membawa ceritanya masing-masing selama hidup di sini. Pahit-getir-manisnya unik.

Tidak ada seorang pun yang menjalani kehidupan yang sama, walaupun dalam satu program. Maka kalau kamu dengar cerita indah keberhasilan atau kesenangan jalan-jalan mahasiswa yang belajar di luar negeri, percayalah bahwa kesulitan-kesulitannya ada dan (mungkin) dia memilih untuk tidak menampakkannya.

Dari teman-teman hebat yang berjuang di perantauan saya belajar, bahwa bagaimanapun saat ini saya merasa sulit, sedih, gundah, atau apapun, selalu ada orang lain yang lebih kesulitan dan bekerja lebih keras daripada saya di saat yang sama. Selalu ada kesempatan untuk membantu dan berbagi rezeki. Semoga dimudahkan dan dimampukan selalu.

Karena sesungguhnya yang lebih jujur bercerita adalah aplikasi kesehatan (tidur berapa jam, jalan kaki berapa km, dll) dan koleksi foto di ponsel, ketimbang di album Instagram atau Facebook.

2 Comments

  1. cK

    October 28, 2016 at 3:09 pm

    Perjuangannya panjang banget ya mbak. Aku pikir mbak Lita ke sini sudah lebih dahulu dibekali pelajaran bahasa (soalnya biasanya yang dikirim-kirim ke Jepang udah menguasai sedikit bahasanya, minimal N5 atau N4).

    Semangat ya mbak di Jepang. 😀

    1. Lita

      October 28, 2016 at 3:21 pm

      Ngga, Chika. Karena program ini memang tidak mensyaratkan kemampuan bahasa Jepang dan bahasa pengantar kuliahnya pun bahasa Inggris.

      Dibekali sih ngga, tapi ada kok teman-teman yang membekali diri sendiri 🙂

      Makasiiiiih!

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.