Peer Pressure: Les dan Sekolah

Suatu hari sepulang sekolah Daud minta les.

D: Bunda, aku mau ikut les.
L: Les apa, nak?
D: Semuanya.
L: *bengong* Semua mata pelajaran?
D: Iya.
L: Kenapa? Daud merasa kurang bisa?
D: Ngga, sih.
L: Bu guru minta Daud belajar lebih di rumah?
D: Ngga juga.
L: Lalu kenapa Daud ingin les?
D: Mau aja.
L: Teman-teman Daud ikut les?
D: *angguk*
L: *senyum, sekarang paham* Anakku, Daud sudah belajar dengan baik di kelas. Bunda tahu karena hasil evaluasi belajar Daud lebih baik daripada semester lalu. Bunda senang Daud berusaha lebih baik. Itu karena Daud yang mau lebih baik, kan?
D: *angguk*
L: Semester lalu, Daud bilang ingin dipanggil maju seperti anak-anak yang dapat hasil belajar paling tinggi di kelas. Kalau Daud yang mau, bunda dukung. Kalau Daud tidak mau seperti itu juga tidak apa-apa.
D: Mau, kok.
L: Baiklah, bunda akan bantu. Tapi tidak dengan les. Daud lebih butuh main di luar dengan teman-teman, bersepeda, atau apa lah. Jadi simak guru Daud saat belajar di kelas dengan lebih baik. Jangan ragu untuk bertanya jika tidak mengerti, atau minta tolong. Kalau masih kesulitan, bisa minta bantuan bunda di rumah. Ya?
D: *angguk*
L: Ya sudah. Sana main di luar.
D: *cium pipi ibunya*

Setelah itu aku suruh dia main sepeda. Sejak itu tidak ada lagi percakapan tentang les.

Ingin Karena yang Lain Juga Begitu

Anak juga sudah bisa merasakan peer pressure, tekanan untuk tidak berbeda dengan yang lain. Jika teman-temannya main, dia ingin ikut main. Jika teman-temannya punya sesuatu, kemungkinan besar dia juga menginginkan itu (bahkan jika tidak sesuai seleranya, mungkin sekadar ingin mencoba). Dan jika teman-temannya ikut les, dia juga bisa ingin ikut les, walaupun itu mengorbankan waktu mainnya dan dia tahu itu.

Tidak jarang terpikirkan olehku untuk menawari Daud ikut les, tapi bukan les mata pelajaran. Dia suka menggambar, gurunya juga pernah menyarankan Daud untuk ikut les menggambar. Tapi setelah diskusi dengan Daud dan gurunya, tampaknya dia menggambar karena suka saja, bukan karena ingin bisa buat komik atau ingin menang lomba, beda dengan maksud sekolah yang ingin Daud bisa diikutkan di lomba gambar. Jadi kubatalkan niat itu, karena toh Daud tidak tertarik.

Sadar Kebutuhan, Sadar Keinginan. Β Sadar Potensi, Sadar Konsekuensi

Selama aku mengajar les, anak yang paling besar kemajuannya adalah jika anak (yang belajar) yang minta, bukan orangtuanya. Dan biasanya, anak yang meminta ini punya daya ukur yang baik terhadap kemampuannya. Mereka yang sukses belajar adalah yang punya target dan bersedia bekerja keras.

Target umum anak-anak yang selama ini kutangani bukan “Lulus ujian”, tapi “Mendapat nilai minimal B” (misalnya). Ini berkaitan dengan kesiapan mental. Sekadar lulus berarti yang dilihat adalah nilai minimal. Aku memang pilih-pilih calon murid, tapi bukan berarti aku hanya pilih yang pintar-pintar saja. Setidaknya aku akan cari tahu dulu usul les ini keinginan siapa dan bagaimana sikap keseharian anak tersebut. Jika dia saja malas minta sendiri diajar olehku (sehingga mengandalkan orangtuanya untuk bicara denganku), tentunya belajar nanti akan lebih sulit, jadi lebih baik ditolak saja.

Target nilai A atau B berarti melihat nilai maksimal, meletakkan target di atas jangkauan saat ini. Dia harus latihan memperkuat ototnya, mempersiapkan jaring pengaman, sehingga ketika saatnya dibutuhkan melompat setinggi-tingginya, dia akan bisa meraih target itu. Sedangkan ‘(sekadar) lulus ujian’ biasanya membuat suasana lebih santai, lebih tidak kompetitif, dan cenderung berpuas diri karena target yang dipasang tidak tinggi. “Oh bisa segitu. Ya udah.” Tidak memaksa dirinya di luar yang bisa diberikan saat ini.

Tentunya aku bicara anak SMA. Tingkat kedewasaannya lain, kemampuan konsentrasinya beda, ketahanan fisik tidak sama, dan tuntutan lebih beragam karena latar belakang yang lebih bervariasi, dibandingkan dengan anak SD, yang pengalaman hidupnya baru beberapa tahun.

“Lah kalau udah bisa trus ngapain les? Les itu untuk yang kurang, kan?” Les itu untuk menjembatani keinginan antara kenyataan dengan harapan, aku lebih suka melihatnya seperti itu. Kalau keperluannya adalah naik kelas sedangkan saat ini tampak lembah di beberapa mata pelajaran, berarti memang butuh bantuan. Tapi tidak lantas dicekoki materi dan soal saja. Orangtua dan guru harus buka mata terhadap kemungkinan penyebab di luar pelajaran.

Dan tidak sedikit pula yang keperluannya adalah “Jadi nomor satu!” atau “Aku mau bisa kuliah di MIT!”. Sah-sah saja punya keinginan, masalahnya adalah kemampuannya dan pelayanan di sekolahnya saat ini tidak memungkinkan itu tercapai. Anak-anak ini masuk dalam kategori sadar. Sadar bahwa (saat ini) tidak mampu, juga sadar bahwa dia harus bersedia berkorban banyak untuk mencapai keinginannya. Sekaligus sadar bahwa ada kemungkinan keinginan itu tidak tercapai.

Antisipasi terhadap keinginan yang tidak tercapai tidak akan kubahas sekarang. Yang ingin kukatakan adalah kita -orangtua- harus membuka mata dan bersedia menerima gagasan bahwa segala sesuatu bisa berbeda dari yang pernah kita alami. Kalau dulu kita ikut les karena kurang bisa, jangan anggap bahwa membiayai anak yang sudah mampu secara akademis untuk ikut les itu buang-buang uang.

Begitu pula sebaliknya. Jika kita sudah keluar biaya, belum tentu hasilnya akan sesuai dengan yang diinginkan. Tergantung bagaimana modalitas anak, prosesnya, serta kerjasama dengan orangtuanya. Proses belajar anak kan tidak seperti beli makanan. Bayar lalu terima hasil (atau bayarnya belakangan). Kalau rasanya tidak sesuai dengan yang diharapkan lalu komplen, atau kalau wataknya jelek, pelayan & kokinya dicaci di depan umum dengan kata-kata kasar dan minta uang kembali. Ya masa mau begitu kalau menitipkan anak ke guru?

Guru les sekalipun, bukan miracle worker. Guru les sekalipun, basis kerjanya akan sama dengan guru kelasnya: modalitas anak. Maaf ya bapak-ibu, tapi tidak semua anak punya bakat dan kecerdasan luar biasa kok. Dan ini harus kita terima dengan tenang dan biasa-biasa saja. Kita saja bisa terima kok kalau ada orang lain yang lebih pintar daripada kita, tentunya kita juga bisa terima jika anak kita juga tidak lebih luar biasa daripada kita, kan? Jangan langsung salahkan gurunya seolah tidak berbuat apa-apa. Kita, sebagai orangtua, sudah berbuat apa untuk terlibat, selain mengeluarkan uang? Anak lho itu, bukan semacam Lego yang bisa dibentuk semau kita πŸ™‚ Bahkan Lego hasil bentukannya tergantung tangan yang menangani. Mampu beli set yang berapa juta sekalipun, kalau cuma sanggup beli tapi tidak sanggup menyusunnya ya tidak jadi apa-apa.

Gengsi dan Idealisme Orangtua

Peer pressure tidak hanya milik anak-anak. Orangtua malah duluan mendapat peer pressure. Kalau anaknya tidak sekolah di anu, rasanya kok kurang ‘pantas’. Kalau anaknya tidak diberikan standar pendidikan tertinggi yang paling ideal, rasanya kok tampak kurang sayang anak. Kalau anaknya tidak disekolahkan di tempat yang sedang diperbincangkan karena metode pengajarannya yang tidak mainstream (alias standar sekolah negeri), rasanya kok gagal cari sekolah terbaik.

Hei… seperti halnya anak, orangtua juga tidak sama, kan? Pertimbangan kita toh tidak semata pada kualitas proses belajar-mengajarnya tapi juga feasibility (haduh, apa ya bahasa Indonesianya?). Kalau sekolahnya keren banget tapi jauh banget, masa ya anak SD berangkat sekolah jam 5 pagi? Merampas hak istirahatnya, tidak? Macet, lama di jalan. Waktu yang bisa dimanfaatkan untuk bermain, jadi dihabiskan di kursi mobil. Bisa sambil baca buku, makan atau main pun, tidak setara dengan kesempatan beraktivitas fisik lebih leluasa, kan?

Punya uang kok, sanggup pindah kediaman. Lha ya monggo. Tapi yang tidak sanggup tidak perlu merasa sengsara gitu lho kalau sekolah anaknya biasa saja. Yang sekolah itu anak bapak-ibu, lho, bukan bapak-ibunya. Kenyamanan dan kesenangan dia belajar yang penting, tidak hanya gengsi idealisme kita sebagai orangtua. Tidak perlu mengolok orangtua lain yang pilihan dan pertimbangannya tidak sekeren kita. Dan tidak perlu pula merasa rendah diri karena tidak/belum sanggup membiayai gaya hidup/pendidikan ideal. Fokus jadi orangtua terbaik bagi anak, bukan konsultan dan penyedia pendidikan terbaik kok yang mereka minta dari kita πŸ™‚

*Tulisan ini didorong oleh keinginan menghibur diri yang diam-diam muncul saat iri melihat orang lain yang dapat kesempatan menyekolahkan anaknya di tempat yang aku inginkan anakku bisa bersekolah di situ, padahal kalau lihat & tanya bocah sih hepi-hepi aja tuh dia di sekolah yang sekarang… Jadi jangan terlalu serius, ini cuma curhat emak-emak :mrgreen:*

5 Comments

  1. De

    June 26, 2013 at 7:08 pm

    mbak Litaaaaa … pa kabar?

    yaaampuun udah berapa lama de gak blogwalking kesini yaaa *sungkem dulu ah*

  2. Lita

    June 26, 2013 at 9:14 pm

    Yaaaa… saya πŸ˜€
    Alhamdulillah baik, mbak. Main ke rumah lama di inirumahku, ya?
    *salim, cipika-cipiki*

  3. Rukha

    December 10, 2013 at 10:28 pm

    Haiiiii.. Assalamualaikum.. Mba Lita cantiqq.. Salam kenal ya.. Banyak ilmu disini, mohon ijin, boleh share yang ini mba..?

    1. Lita

      December 15, 2013 at 9:32 pm

      Alaykum salaam. Silakan, mbak Rukha πŸ™‚

  4. Photo Sharing

    December 30, 2013 at 10:46 am

    bener banget mbak, yang sekolah itu anak kita bukan kita orangtuanya jadi ga perlu gengsi-gengsian

Leave a Reply to Lita Cancel

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.