Oh sinetron…
Alhamdulillah.. Ramadhan menjelang. Acara TV juga mulai marak dengan sinetron ala Ramadhan (tentu saja dengan versi penafsiran masing-masing). Tapi… memang penyakit sinetron Indonesia kali ya, dari dulu kala hubungan mertua-menantu yang ditayangkan amat sangat jarang sekali yang tampak akur. Minimal salah satunya ngga judes-judes amat sama yang lain.
Barusan duduk sebentar di sofa, ngga sengaja lihat TV yang memang sudah dinyalakan sejak tadi. Wala, adegannya amat mengagetkan daku. Ceritanya ibu si suami datang berkunjung, sudah malam memang, anaknyalah yang membukakan pintu. Lalu, sang istri datang menyusul, dan dengan judesnya dia bilang’ "Dateng kok malem-malem! Nanti ngga ada yang nganter pulang, lho!". Waktu si ibu bilang dia ingin menginap, disahut pula, "Barangnya dibawa masuk ya! Disini ngga ada pembantu!". Masya ALlah.. bibir ini sampai lupa mengatup saking terkesimanya. Rabbi.. moga-moga menantu (apalagi anak) seperti ini tidak ada di dunia nyata. Ngeri banget!
"Trus kenapa dengan sinetron kaya gini? Ngga usah ditonton aja kan, tutup perkara". Lha iya sih kalo hanya untuk saya pribadi. Masalahnya, sinetron macam ini ternyata berpengaruh juga pada (calon) ibu mertua sayah! Dulu (sekali.. hehe.. 3 tahun yang lalu lah), ibu ragu-ragu waktu anaknya yang ganteng (ehm..) mengatakan ingin menikah, bertambah pula keraguannya manakala tahu calon menantunya samasekali tidak ‘Jawa’ (blas!). Menurut cerita kakanda, ibu khawatir sosok menantunya kelak seperti yang dilihat di TV-TV. Subhanallah… aku sampai terpana…
Budaya Jakarta ‘mendidik’ku agar tidak mudah percaya dengan apa yang dilihat dan didengar, terutama dari mahluk bernama sinetron. Jadi adegan sinetron mau dibuat jumpalitan sedemikian rupa sehingga terkesan nyata, aku tetep bertanya, "Apa iya manusia kaya gitu beneran ada? Kok begitu sempurna baik/jahatnya sampai-sampai seolah tak ada warna abu-abu di dunia".
Tapi… Karena begitulah adanya, aku jadi berpikir dua kali tentang sinetron. Bahwa tidak semua orang secuek aku di dunia ini, terutama orang-orang baik di luar ‘asuhan’ Jakarta seperti ibu mertua saya ("suwun Bu… sungguh Ibu baik sekali, sampai saya lebih dimanja oleh Ibu daripada oleh Mamah"). Toh, ketika pertama kali bertemu (semoga sampai sekarang dan seterusnya), ternyata (calon) menantunya ini samasekali beda dengan mahluk yang ada di TV (jadi, kekhawatirannya tidak terbukti, begitu…). Buktinya, saya amat disayang Papah & Ibu karena saya adalah satu-satunya anak perempuan mereka kini. Dan kalau saya sedang ‘mudik’ ke Solo bareng kakanda, bisa dipastikan kalau kesejahteraan saya lebih mereka perhatikan daripada kesejahteraan anak sulungnya hehehehe……
Sungguh tak pernah terlintas di pikiran dan hatiku, akan tega memperlakukan Ibu (dan Papah) seperti rupa di sinetron itu. Na’udzu billaahi min dzaalika! Mereka adalah orang tua dari seseorang yang saya kasihi! Dan mereka adalah orang tua saya juga. Dan dalam Islam pun tak ada istilah ‘mertua’ kecuali pada bahasan fiqih.
Mungkin itu karena orang tua kami adalah tipe seribu satu alias satu dalam seribu. "Langka!", begitu komentar Mamah tentang Papah & Ibu yang baik dan sabar. Barangkali Mamah pikir menantu macam aku ini terlalu bandel untuk mendapat karunia keberuntungan punya mertua yang menyenangkan. Kakanda bilang, "Mamah juga langka". Ahhh… betapa beruntungnya kami punya orang tua yang tidak seperti di sinetron.. Duuuhhh, sinetron Indonesiaku…. Semoga ke’jahat’an dalam dirimu tak nyata di dunia ini.
Leave a Reply