Kontroversi Formalin [updated]
Ya ya… sebagian anda bilang, "Duh… formalin mulu!", atau "Iya iya, tauk! Formalin berbahaya!". Bersabarlah sebentar, saya belum sampai ke bagian menariknya. Menurut Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma (USD) Dr Yuswanto, FORMALIN ITU TIDAK BERBAHAYA. Now, do I get your attention? 🙂
Dimuat dalam harian cetak Radar Jogja edisi 8 Januari 2006, dikatakan bahwa formalin tidak berbahaya [terimakasih mas Aris yang sudah berbaik hati mencarikannya, ternyata edisi online-nya baru hari ini ya?] karena akan terurai menjadi CO2 dalam waktu 1,5 menit. Berikut kutipannya:
Kenapa formalin di makanan tidak berbahaya? Kata Yuswanto, proses metabolisme formalin yang masuk ke tubuh manusia sangat cepat. Tubuh manusia akan mengubah formalin menjadi CO2 dan air seni dalam waktu 1,5 menit.
"Secara alami, setiap liter darah manusia mengandung formalin 3 mL. Sedangkan formalin yang masuk bersama makanan akan didegradasi menjadi CO2 dan dibuang melalui alat pernapasan. Jadi, meski formalin dikonsumsi dalam jangka waktu yang cukup lama, tidak akan terjadi proses akumulasi dan menyebabkan toksifikasi."
Yuswanto menegaskan, informasi yang berkembang di masyarakat salah kaprah. Sebab, baru dalam dosis besar yakni sekitar 6 gram, formalin akan memunculkan efek negatif bagi tubuh manusia.
Waktu mulai membaca artikel tersebut (yang di-post oleh peserta milis sehat), saya belum merasa ada yang ganjil. Malahan, saya merasa bodoh. "Iya ya?" Ya iya sih, namanya senyawa organik, kalau terurai ya jadi karbondioksida. Itu kalau penguraiannya sempurna.
Pembakaran/penguraian senyawa organik yang tidak sempurna, selain menghasilkan karbondioksida juga bisa menghasilkan CO (karbonmonoksida, sangat beracun), arang, dan senyawa-senyawa turunan lain (yang mungkin bersifat racun). Tubuh kita mengeluarkan (sebagian) sisa penguraian makanan (dan senyawa lain yang masuk ke tubuh secara tidak sengaja, misalnya polusi) melalui defekasi (bahasa kerennya pup :p ), buang air kecil, dan keringat. Selebihnya, diserap atau menumpuk di organ-organ semacam ginjal dan hati. Hmmm….
Bahkan, lanjut Yuswanto, para peternak sengaja membubuhkan formalin dalam makanan ternaknya. Makanan ternak diberi kandungan formalin sebesar 660 mg per kg. Tujuannya untuk membunuh bakteri. "Keberadaan formalin tidak mengakibatkan keracunan hewan ternak," tambahnya.
Saya harus bilang, "Logika yang aneh". Jika peternak memakainya, maka formalin tidak berbahaya? Rasanya premis ini sulit diterima (oleh saya). Maklum, di negara ini peternak -umumnya- pendidikannya tidak lebih tinggi dari strata satu. Jadi, sebagai dosen, tidak seharusnya beliau menggunakan kebiasaan peternak sebagai tolok ukur kan?
Lagipula, formaldehid sebenarnya bisa dimakan oleh mikroorganisme tertentu yang hanya mampu mencerna senyawa berkarbon tunggal. Jadi kurang tepat jika penggunaannya dimaksudkan sebagai pembasmi bakteri. (eh iya kan bener ya? halo, ada yang gape mikrobiologi di sini?)
Tak sulit untuk mencari MSDS (Material Safety Data Sheet) formalin. Dan dalam MSDS tersebut dinyatakan bahwa formalin memiliki efek tingkat 3 terhadap kesehatan (beracun), reaktivitas tingkat 2 (sedang, tidak sangat-mudah terurai), dan bersifat korosif. Secara keseluruhan, formalin bersifat beracun dan berbahaya. Berikut pendapat pak Yuswanto terhadap sifat kimia formalin:
Kandungan formalin baru akan menimbulkan bahaya jika dihirup oleh alat pernapasan. Jika hanya dicerna alat pencernaan, tidak akan menimbulkan risiko negatif. "Pemakaian formalin hanya merugikan kalangan peternak. Ketika mereka menghirup formalin lewat alat pernapasan, berpotensi menimbulkan kanker paru-paru."
Betul, uap formalin berbahaya. Mungkin pak Yuswanto harus mencermati kalimat lanjutan dalam lembar MSDS; bahaya jika terhirup atau terserap melalui kulit. Bahkan emergency overview dimulai dengan kalimat: POISON! DANGER! dalam huruf kapital dan cetak tebal. Bagaimanakah logikanya jika ‘hanya dicerna alat pencernaan tidak menimbulkan resiko negatif’ sedangkan diserap oleh kulit saja sudah berbahaya? *geleng-geleng*
Berikut adalah jawaban yang di-forward ke milis sehat, berupa tanggapan dari anggota milis Kimia MIPA UI (dan entah siapa lainnya, karena header dihapus):
Tahun 2004, IARC (International Agency of Research on Cancer) menyatakan bahwa formaldehida termasuk ke dalam golongan karsinogen Grup I, artinya karsinogenik pada manusia. Walau melalui pencernaan formalin dapat terurai dalam waktu 1,5 menit, namun formalin (formaldehida) bersifat sangat reaktif dan terbukti berinteraksi dengan basa DNA manusia.
[…]
Maka walaupun formalin yang masuk adalah dosis rendah, jika secara terus menerus, maka efeknya akan (-terlihat dalam, red.) jangka panjang.[…]
Memang betul gas formaldehid (yang terkandung 37-40% dalam FORMALIN) ada di alam dan dalam jumlah tertentu di mana tubuh manusia masih bisa mentoleransi keberadaan formaldehid tersebut karena proses terjadinya yang alamiah. Saat ini, di seluruh dunia, FORMALIN bukan merupakan bahan pengawet makanan yang diijinkan bahkan TIDAK TERMASUK dalam daftar pengawet dengan jumlah yang dibatasi. Jadi menggunakan bahan tersebut untuk makanan memang benar-benar melanggar Undang-undang/Peraturan Pangan manapun yang berada di seluruh dunia
Jadi kita lihat di sini, bahwa masalahnya bukan terletak pada akibat pemberitaan siapa maka siapa menanggung derita seperti yang dikatakan oleh pak Yuswanto:
"Lagi-lagi yang dirugikan masyarakat kecil. Penjual mie basah, tahu, dan ikan asin dirugikan. Seharusnya, kita berpegang pada hasil penelitian yang akurat. Pemerintah harus segera mengambil sikap atas kekacauan ini. Kasihan pedagang kecil," tambah Yuswanto.
Betul, pedagang dan pengusaha kecil memang harus dilindungi keberadaannya. Namun tidak berarti masyarakat harus rela menelan formalin toh? Kalau digunakan sebagai pengawet makanan saja tak boleh, tak perlulah repot membahas seberapa banyak formalin yang terkandung agar berefek pada konsumen.
Di website prof. Iwan, ada pula yang bertanya tentang bagaimana cara mengeluarkan formalin yang terkandung dalam makanan. "Mungkin dengan merebusnya? Kan formalin larut dalam air", kata si penanya. Lalu prof. Iwan menjawab, "Kan formalinnya sudah meresap dan bikin keras (udah terlanjur! maksudnya, red.). Ngapain mikir gimana cara ngeluarinnya, hindari saja (alias jangan dimakan)!"
Punten nya’ pak, dari kacamata saya *wink wink* bapak seperti di iklan ngga-nyambung ‘talk time vs. pulsa’ itu.
(aku benci iklan bodoh ini, huh!) Duh, pak dosen, saya jadi prihatin *menghela nafas, maap temans, saya agak emosi…*
p.s. Teringat tangan saya -dan dua teman lain- yang menjadi kebas saat terciprat larutan formalin+urea ketika praktikum membuat polimer dulu. Dan kami berujar sambil guyon, "Wah, ntar kalo kita mati, tangannya nyisa nih!" Beneran gak ya? *mikir*
kere kemplu
January 16, 2006 at 10:13 ambetoool, betoolll, saya setuju sama posting ini.
btw soal bakso boraks itu sudah pernah ramai belasan tahun lalu, tapi ternyata persoalannya belum beres, sehingga meledaklah kasus ini [lagi]…
andrianto
January 16, 2006 at 12:48 pmdalam sekali analisisnya, great article
Slam
January 16, 2006 at 1:34 pmMudah aja utk menjawap pernyataan bahwa formalin itu tidak berbahaya…
“Silahkan anda makan makanan yang berformalin jika formalin itu gak berbahaya… simple khan”,… Btw ulasan anda topp…. deh.
didats
January 16, 2006 at 1:42 pmyoi, setuju sama satu hal.
iklan pulsa vs talk time PARAH…!!!
yang lainnya? gag ngerti…
hihihihi
aris
January 16, 2006 at 10:04 pmSepertinya ini yg mbak Cari:
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_radar&id=113148&c=85
Memang ulasan yg aneh.
wandira
January 17, 2006 at 9:12 amSudah jelas berbahaya masih ada usaha pembenaran. Kemarin saya liat di tipi sekarang ada SPTP atau apa itu namanya, yang dianjurkan sebagai pengganti Borak yang katanya aman bila dengan takaran yang tepat. Namun kemaren sudah ada di tipi, dan katanya sudah bisa dibeli bebas. Kenapa bukannya sosialisasi yang benar dulu, bagaimana cara penggunaan dan takaran yang tepat, baru disiarkan secara luas. Tahu-kan abang tukang bakso, boro boro mereka memakai takaran untuk dapat 2 miligram, mereka khan biasa dengan satu sendok teh dan seterusnya.
BTW, kenapa tidak disosialisasikan bikin bakso benar benar tanpa borak, khan lebih sehat, dan afdol ..
indri
January 17, 2006 at 1:58 pmehm…gitu ya mbak….
hatur nuhun
danu
January 17, 2006 at 2:56 pmwah terima kasih, ulasannya muantap sekale (gak pake formalin kan yak bu lita :d). jadi kesimpulannya iklan itu ngebingungin ya bu… entar saya tanyain sama yg buat deh bu.
zien
January 18, 2006 at 4:23 pmjadi yang bener teh yang mana atuh? bingung :((
yahya
January 19, 2006 at 3:16 amahahah,
lebih bingung mana ama diterangin guru kimianya zien?
Aswad
January 23, 2006 at 11:32 amWah…keduluan…sy jg pengen nulis ttg ini…
arya
April 3, 2006 at 3:26 pmformalin nggak berbahaya kata siapa .coba lihat bahan dasar nya yaitu formaldehid yang dibuat dari oksidasi metanol sedangkan sifat metanol sendiri beracun. kalo asalnya aja udah racun gimana hasilnya masak nggak beracun nggak mungkin…!?!
Lita
April 3, 2006 at 8:26 pmArya
Kata pak Yuswanto dong
Bahan dasar yang beracun tidak bisa dijadikan argumen bahwa ‘hasil’nya juga beracun.
Parasetamol dibuat dari benzena atau fenol yang beracun dan karsinogenik, tapi kalau dikonsumsi sesuai aturan dan tidak dalam jangka panjang tidak berbahaya. Hasil samping prosesnya bahkan (ada yang) berbentuk garam tidak beracun.
Jadi? Ya menilai toksisitas senyawa itu masing-masing, tidak dari ujung atau pangkalnya.
ifa
April 6, 2006 at 4:00 pmformalin yang sudah masuk kedalam ginjal manusia
absobter apa yang bisa di gunakan? agar dapat mengurangi zat yang sudah mengendap dalam ginjal kita.
Lita
April 6, 2006 at 9:28 pmIfa
Jika mencermati penjelasan dalam MSDS formalin, pencegahan terhadap bahaya formalin hanya efektif dilakukan pada pertolongan pertama, dalam arti sesaat setelah paparan terjadi.
Pertolongan pertama apabila formalin tertelan dan korban dalam keadaan sadar, berikan susu, karbon aktif (norit) atau air. Dan pastinya: cari pertolongan medis.
That means our body will too. Berapa lama? Saya tidak tahu. Sifatnya yang stabil akan memberi waktu tinggal yang cukup lama untuk memungkinkan formalin bereaksi dengan DNA dan merusaknya sehingga tubuh kita mengalami kerusakan permanen dalam berbagai bentuk.
Yang dianggap efektif untuk menyingkirkan formalin dari tubuh adalah hemodialisis alias cuci darah. Namun ini juga termasuk kategori tindakan pertolongan pertama. Tidak ada informasi yang diberikan oleh MSDS tersebut tentang apa yang dapat dilakukan apabila waktu paparan sudah lama berlalu.
mantugaul
July 5, 2006 at 11:26 pmhalo semua, saya liat di odol yg sering kita pake ada tulisan kandungannya formaldehyde (odolnya merk P yg warna merah)…itu formalin bukan? berbahaya gak?
mohon keterangannya…soalnya ngeri juga…
Lita
July 6, 2006 at 11:37 pmMantugaul
Sudah lihat isi taut MSDS formaldehid yang saya berikan? Silakan simak dulu peringatan dan tingkat keberbahayaan (hazard identification dan toxicological information) yang tercantum di sana.
Formalin adalah formaldehid 37%, dengan pelarut air dan metanol. Saya asumsikan, formalin yang ini yang digunakan sebagai pengawet makanan yang ilegal. Metanol saja sudah berbahaya, apalagi di’konsumsi’ bersama formaldehid.
Tentang formaldehid sebagai pengawet consumer goods non-makanan, ya, beberapa produk Unilever menggunakannya. Tidak hanya pasta gigi, tapi juga shampo, sabun, dsb (silakan dicek lagi).
Saya tidak berhasil mendapatkan informasi rinci dari situs POM. Tapi saya berharap POM meluluskan produk yang menggunakan formaldehid sebagai pengawet ini karena memang jumlahnya masih dalam taraf aman dan tidak berpengaruh signifikan terhadap kesehatan konsumen.
Komposisi HARUS dicantumkan, dan formaldehid adalah nama yang ‘resmi’ (bukan nama dagang -misalnya actifibras- yang ‘menyamarkan’ senyawa yang diwakili). Dengan kata lain, itu MEMANG formaldehid.
Btw, nickname-nya lucu juga. Saya juga gaul, lho
*gak penting banget sih*
ica
April 29, 2007 at 5:10 pmok deh yang penting saya tetap mencintai baso!!
ada yang satu aliran
kayanya kalo ga mau makan2an yang ber bahan kimia hrs bikin sendiri
ga nyambung banget!!!!;)
areep
December 13, 2008 at 11:43 amhoreee komentator terakhir akhirnya…
btw itu informasinya ndak jelas kok, saya pernah langsung menanyakan ke Dr. Ag. Yuswanto S.U., APt sepertinya kalimat yang tertulis di blog yang mencantumkan hal yang sama ada tulisan yang diubah..