Benang Kusut Menulis

baby on handPaling sulit jadi orangtua: gak ada sekolah atau kursusnya! Learning by seeing, feeling, thinking, and doing. Ya ya, buku ‘how to‘ memang banyak. Tapi latihan praktik penting kan? Bagaimana caranya berlatih jadi orangtua selain menjadi orangtua?

Lagipula, percepatan belajar menjadi orangtua sulit diukur dengan parameter, karena tiap orang memiliki kehidupan yang unik.

Dengan apa kedewasaan diukur? Dengan keputusan yang diambil dalam menyikapi segala hal. Dan masalah untuk tiap orang pasti tidak sama.

Dengan apa kesabaran diukur? Pasti bukan dengan berapa dalam tarikan nafas saat jengkel menerpa. Kapasitas paru-paru tidak selalu sama. *ya, ini jawaban ngaco*

Dengan apa ‘keahlian’ sebagai orangtua diukur? Berdasarkan wujud anak di masa depan? Wah, lalu nabi Nuh A.S. bukan ayah yang baik dong.

Lebih spesifik lagi adalah pertanyaan untuk diri saya: bagaimana caraku mendidik diri supaya perbaikan generasi dapat nyata?

Seabrek pengetahuan menanti untuk dikuasai oleh ibu (ya saya), demi wujud keluarga yang ideal. Lihat PR saya, dari isi kotak dan ketangkasan P3K sampai psikologi remaja (yang katanya masa paling sulit, juga berdasarkan pengalaman pribadi) harus saya kuasai.

"Kembalikan pada Quran dan hadits dong!", katamu? Ya ya…, tapi saya tetap harus menguasai cara berdialog dengan tuntunan tersebut kan? Saya harus tahu hukum apa latar belakangnya bagaimana pelaksanaannya kapan dan perkecualiannya di mana, supaya tidak asal comot sesuka hati seasal ngomong.

Kembali ke ‘darat’ dan menekuni lagi dunia buku menyadarkan aku bahwa tak semua bisa diajarkan oleh baris-baris teks yang terpampang di monitor. Emosi lebih nyata disuarakan oleh buku. Dan bersentuhan dengan cinta pertama saya (ya buku! seperti pak Hedi katakan juga) -yang lama tak bersua- mengingatkan kembali pada ujaran suami dan beberapa teman, "Ayo buat buku sendiri!".

Lha, ngelantur. Ke mana arah pembicaraan saya ini?

Sudahlah, saya memang masih harus belajar banyak untuk menulis dengan baik. Untuk mengikat makna dan menghantarnya kepada pembaca sesuai dengan yang tergambar di benak. Dalam baris-baris kata yang dimengerti sesuai dengan yang saya maksudkan.

Jadi, tolong bersabar dengan tulisan-tulisan saya, ya? Saya sedang belajar menjadi orangtua.

9 Comments

  1. Rani

    April 1, 2006 at 11:08 pm

    ibu2 di dunia ini pantas dikaruniai gelar yg jauh lebih tinggi dari phd. tapi ya kontribusi para ibu senantiasa dicuekin khususnya dalam bidang public policy..

  2. Hedi

    April 2, 2006 at 5:51 pm

    Pengalaman adalah guru yang paling baik, bu 😀

  3. pecas ndahe

    April 3, 2006 at 10:58 am

    tante lita, sampeyan perlu tahu bahwa sesungguhnya perempuan itu menyangga separo langit, kata mao tze tung atau ketua mao. nah, kalau perempuan yang menjadi ibu, berarti dia menyangga seluruh langit. para pria cuma nunut di bawahnya…. 😀

  4. Lita

    April 3, 2006 at 12:20 pm

    pecas ndahe
    wah, pecas ndahe tenan… pantesan berat yak :p
    hayuh makanya bapak2 jangan nontonin doang, bantuin nyok!

    indra
    lha ini lagi dicari pak, namanya juga benang kusut

  5. riza

    April 3, 2006 at 1:54 pm

    Anakku yg hampir dua tahun juga sedang rajin menulis benang kusut (kebalik, ya?) di mana saja. Di buku, koran, majalah, meja, dinding…di punggung bapak-ibunya. Ternyata di sini juga…. Salaam deh!

  6. yanti

    April 3, 2006 at 3:35 pm

    semoga kesadaran untuk belajar menjadi orang tua, nggak hanya dimiliki oleh para ibu. tapi juga para ayah, yang (semoga) di sela2 waktu luangnya, mau terus belajar menambah ilmu pengasuhan, kesehatan, psikologi anak. apalagi konon para ayah lebih sering bersentuhan dengan internet ya? :).

  7. Aswad

    April 3, 2006 at 3:52 pm

    Dengan apa kesabaran diukur? kalo menurut saya, kesabaran sama besarnya dengan rasa cinta.
    Seberapa anti bersabar? Ya sebesar dan selama cintanya.

  8. Lita

    April 3, 2006 at 8:25 pm

    Riza
    Haha, iya anak-anak yang baru belajar menggunakan alat tulis memang suka membuat benang kusut.
    Salam kenal juga pak wartawan 🙂

    Yanti
    Sepertinya harus meluangkan waktu mbak, daripada di waktu luang, nanti malah tidak jadi prioritas 🙂
    Kayanya emang lebih banyak laki-laki daripada perempuan dalam hal gaul dengan internet.

    Aswad
    Hmmm. Lalu mengukur cinta bagaimana?

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.