Ajakan Menolak Imunisasi
Saya mendapat email ini di milis WRM, dari mbak Dinar Ardanti (halo, mom Dinar). Email ini berkisah tentang keluarga Istriyanto yang kehilangan anaknya saat berusia 7 bulan. Sedih dan trenyuh sungguh, tapi tidak mengurangi niat saya dari mengangkat beberapa masalah yang harus di’kunyah’ dengan lebih cermat.
Menilai keberhasilan vaksin
Ada kisah menarik dari bu Santi Soekanto, tentang Despurrate Housewives. Sila baca sendiri. Apa hubungannya dengan imunisasi? Ada di akhir cerita tersebut: “Today, I didn’t do it“.
Keberhasilan imunisasi tidak nampak begitu jelas di mata awam, terutama non-petugas medis, apalagi petugas medis yang telah menjalani masa ketika tempatnya mengabdi mendapat ‘limpahan’ korban penyakit infeksi yang kini telah dapat dicegah oleh hadirnya vaksin.
Imunisasi tidak menyembuhkan, tidak pula menjamin 100% bahwa kita tidak akan terpapar oleh bakteri atau virus yang terkandung dalam vaksin. Seperti namanya, imunisasi bertujuan untuk membangun kekebalan tubuh atas infeksi penyakit tertentu. Caranya dengan mengenalkan bakteri atau virus yang telah dilemahkan, dalam dosis tertentu, agar tubuh memproduksi antibodi dalam jumlah yang memadai untuk melawan apabila di kemudian hari bakteri atau virus sejenis datang ‘bertamu’.
Jaminan keberhasilan
Tidak ada jaminan 100%, tentu saja. Mana ada? Ini untuk vaksin apapun, dan kita berurusan dengan mahluk hidup, dengan segala keberagamannya, bagaimana bisa menjamin hasilnya 100%?
Apakah dengan memakai helm kita tidak akan terluka? Tidak, tapi helm akan membantu melindungi dan memperkecil risiko trauma pada kepala. Apakah ‘keberhasilan’ pemakaian helm terlihat jelas? Saya berani bilang tidak. Kenapa? Karena mereka selamat. Yang menjadi ‘berita’, yang laris diangkat sebagai topik di media cetak (dan elektronik), yang jadi ‘subject’ email yang ‘bagus’ untuk diteruskan ke teman-teman, umumnya berupa berita yang cenderung negatif.
Lalu bagaimana vaksin dinyatakan aman? Seperti obat dinyatakan aman. Kuncinya ada pada statistik. Kita bisa berkata itu hanya hasil permainan statistik oleh para produsen vaksin dan obat. Nyatanya kita memang bermain statistik setiap hari. Kalau dimanfaatkan dengan baik, statistik dapat menyelamatkan jiwa. Dan jika statistik hanya dijadikan alat untuk mendapat uang, uang dapat diperoleh.
Uang dan kekayaan orang lain
Satu dari sekian alasan gerakan anti-imunisasi adalah mengalirnya uang ke para produsen vaksin. Apa ada yang salah? Tampaknya menurut mereka, kita memasukkan uang ke kantong produsen vaksin dan menjadikan mereka kaya adalah salah.
Kenapa membuat orang menjadi kaya itu salah? Apalagi jika kita tidak rugi. Ah, saya ralat. Sebagian besar orang (yang menerima vaksin) tidak rugi, kecuali sebagian kecil yang ‘rugi’ karena tubuhnya memberi reaksi negatif terhadap vaksin.
Jika kita menolak mengeluarkan biaya hanya dengan alasan ‘hanya memperkaya orang lain’ atau ‘bikin kaya juragan yang udah kaya’, kecil kemungkinan kita bisa berbuat apapun. Kecuali mungkin, hidup di peternakan, perkebunan, atau lahan pertanian milik sendiri. Tidak perlu apa-apa dari orang lain. Masa iya?
Anda dapat membaca email lengkapnya di sini (format pdf) atau di sini (format rtf). Mohon JANGAN teruskan ke mana-mana TANPA anda sertakan uraian yang ada di artikel ini.
Berikut ini adalah bagian yang -bagi saya- lebih penting untuk dibahas.
Vaksin Hepatitis menyebabkan Hepatitis: Hepatitis yang mana?
1. Banyak kasus penyakit bayi/balita yang timbul setelah mereka disuntik imunisasi.
– Pasien lain di RS yang sama mengatakan pada saya, anak saudaranya sampai dengan usia 2 tahun belum pernah suntik Imunisasi Hepatitis namun, setelah ada dokter (spesialis anak) yang tahu, lalu disarankan diimunisasi Hepatitis, kemudian tidak lama setelah itu akhirnya anak saudaranya positif terkena Hepatitis akut, dan harus bolak-balik berobat ke dokter.
Indonesia adalah daerah endemik Hepatitis B. Rasanya ini sudah cukup untuk dijadikan alasan mengapa bayi baru lahir direkomendasikan untuk mendapat vaksin hepatitis B. Terutama pula karena para carrier virus Hepatitis B biasanya tidak sadar mereka telah terinfeksi, akibatnya dapat dengan mudah menularkannya kepada bayi.
Tentang terjangkit hepatitis setelah diimunisasi, tergantung jenis hepatitisnya. Hepatitis A menular lewat oral-fecal. Bisa saja anak diberi imunisasi hepatitis B, tapi tertular hepatitis A dari makanan yang terkontaminasi. Atau sebaliknya, diimunisasi hepatitis A tapi tertular hepatitis B dari kontak cairan tubuh dengan carrier (misalnya lewat luka terbuka). Atau diimunisasi hepatitis A tapi sebenarnya ibu adalah carrier virus hepatitis B dan menurunkannya ke anak, yang tidak terlindungi karena tidak diberi vaksin hepatitis B segera setelah lahir.
Imunisasi dan fisik anak
– Tetangga saya, sehabis Imunisasi campak, dua hari kemudian malah terkena campak. Tetangga kami yang lain, anak pertamanya rutin diimunisasi, namun fhisiknya malah lemah sering sakit-sakitan,
Fisik lemah belum tentu karena imunisasi. Faktor lain juga perlu dipertimbangkan. Bagaimana dengan pemberian ASI atau susu formula? Atau pola makan? Atau ada kelainan bawaan? Selain itu, anak yang sedang bertumbuh (6 bulan ke atas), wajar saja jika bolak-balik sakit ringan. Selesma, flu, diare, sistem kekebalan tubuhnya sedang belajar. Seiring usianya bertambah, ia akan semakin jarang sakit.
sedangkan anak keduanya sama sekali tidak pernah imunisasi namun malah sehat, hampir tidak pernah sakit (kalaupun sakit cepat sembuh/ringan)
Anak yang diimunisasi tidak dijamin selalu sehat. Anak yang tidak diimunisasi juga tidak dijamin selalu sehat atau selalu sakit. Bagaimana perbandingan kondisi kedua anak? Jangan hanya dilihat diimunisasi atau tidaknya.
Bahkan bayi yang diberi ASI eksklusif -yang notabene mendapat asupan antibodi dari ibu setiap menyusu- juga tidak dijamin selalu sehat. Pernyataan ‘yang diimunisasi sering sakit dan yang tidak diimunisasi sehat’ ini tidak memberikan keterangan ‘sebab’ yang kuat. Anak tidak menjadi sehat jika tidak diimunisasi.
Teman sekolah saya anaknya tidak pernah Imunisasi malah sehat, umur 10 bulan sudah lincah berjalan, dan juga boleh dibilang tidak pernah sakit (kalaupun sakit hanya ringan saja). dan banyak lagi kasus-kasus serupa yang tidak mungkin saya tulis satu persatu.
I condole with you. Akan jauh lebih banyak lagi deret nama yang dapat ditulis, yang terselamatkan oleh vaksin. Tanpa maksud untuk ‘menghilangkan’ mereka yang ‘menderita’ akibat vaksin.
Usia anak dapat berjalan bervariasi. Apakah jika saya katakan anak yang tidak diimunisasi baru bisa berjalan di usia 1,5 tahun, lalu menjadi dasar bagi pernyataan ‘anak menjadi lambat berjalan karena tidak diimunisasi’? Tidak ada hubungannya antara imunisasi dengan berjalan. Berjalan kaitannya dengan kesiapan mental dan motorik anak.
(Jangan) hindari imunisasi!
2. Menurut saya, Jika bisa Hindari Imunisasi, kalaupun perlu/terpaksa pilihlah imunisasi yang pokok saja (bukan imunisasi lanjutan/yang aneh-aneh) alasannya:
IMHO, tidak ada imunisasi yang aneh-aneh. Sedangkan imunisasi lanjutan bukanlah imunisasi di luar imunisasi wajib (yang ditetapkan oleh IDAI), tapi imunisasi yang diberikan sebagai tambahan (booster), di luar dosis ‘wajib’ atas alasan tertentu. Misalnya PIN polio, ketika anak yang sudah diimunisasi polio juga dianjurkan ikut.
– Kita “Mendzolimi”, anak kita sendiri yang memang sedang masa pertumbuhan dan pertahanan tubuhnya masih lemah, malah kita suntikan penyakit (walaupun sudah dilemahkan) ke tubuhnya.
Betul, itu sudah dijawab sendiri. Bibit penyakit yang sudah dilemahkan ini dimasukkan ke tubuh dalam dosis yang sedemikian rupa sehingga cukup untuk merangsang sistem kekebalan tubuh agar membangun pasukan yang memadai. Bukan supaya sakit.
Justru karena kekebalan tubuhnya masih lemah, ia perlu ‘diajari, siapa yang harus dikenali sebagai musuh dan bagaimana melawannya. Tidakkah lebih zhalim jika kita tahu bagaimana pencegahannya tapi kita memilih diam karena ketakutan (ketimbang ada dasar pemikiran lain, misalnya anak punya alergi terhadap putih telur atau tidak dapat menerima vaksin hidup)?
– Kita tidak pernah tahu kondisi anak kita sedang benar-benar sehat atau tidak, karena terutama anak yang masih di bawah 1 tahun biasanya belum bisa bicara mengenai kondisi badannya, sedangkan imunisasi harus dilakukan pada bayi/balita yang sehat (tidak sedang lemah fisiknya/sakit).
Koreksi sedikit. Anak yang sedang selesma atau flu tidak menjadi hambatan untuk diimunisasi. Selain itu, kita bisa kok menilai kondisi kesehatan anak. Jika tidak ada tanda fisik bahwa ia sedang sakit, jika ia tidak memiliki kelainan bawaan sejak lahir, jika insting ibu (biasanya nurani ibu lebih peka terhadap kondisi anaknya) tidak merasakan sesuatu yang aneh, jika perilaku anak tetap aktif dan riang, maka tidak ada masalah.
Biaya dan jaminan: tidak ada, mana ada?
Sesudah kita memasukan penyakit ke tubuh anak kita, biasanya kita juga harus mengeluarkan banyak biaya. (Jasa dokter/RS, harga imunisasi, dsb). Tidak ada jaminan (Dokter/RS/puskesmas) apabila setelah imunisasi anak kita bebas dari penyakit yang telah dimasukan ketubuhnya.
Memang tidak ada jaminan. Sudah saya jelaskan di awal tadi. Tampaknya para orangtua memang harus lebih aktif mencari informasi tentang vaksin, apa, bagaimana, dan sampai seberapa tinggi orangtua dapat berharap dari vaksin.
Tentu saja kita mengeluarkan biaya untuk layanan kesehatan. Sama saja seperti kita berbelanja. Dan tempat kita berbelanja juga umumnya tidak menjamin produk yang dijual. Konsumen yang dituntut untuk teliti terhadap barang yang dibeli. Mengapa kita tidak memberlakukan hal yang sama dengan produk kesehatan?
Contoh nyata yang terjadi pada anak saya, padahal anak saya sudah 2 kali imunisasi HIB ketika berusia +/- 5 dan 7 bulan ), padahal sebelumnya dokter bilang imunisasi HIB untuk menghindari penyakit Radang Otak, namun nyatanya anak saya malah meninggal akibat penyakit Radang Otak.
Again, I condole. Dan anak saya baik-baik saja setelah diimunisasi HiB secara simultan dengan DPT dan polio. Ini dapat menjadi pertimbangan bahwa tidak semua anak sama. Jika tidak semua anak dianggap memerlukan vaksin, maka tidak semua anak pula boleh dianggap tidak memerlukan vaksin.
Apakah kuman yang menyebabkan radang otak sama dengan yang terkandung dalam vaksin? Jika tidak, tentu dapat dimengerti.
Gerakan anti-imunisasi: global!
Menurut seorang rekan yang pernah membaca Literatur terbitan Prancis, justru Imunisasi sudah tidak populer di Amerika Serikat, dan terus berusaha dihilangkan dan tidak dipergunakan lagi, bahkan di Israel Imunisasi telah di STOP samasekali, padahal kita tahu negara-negara itu merupakan pelopor “industri”, imunisasi.
Tanpa mengurangi rasa hormat, berita tersebut tidak benar, jika rekannya tidak berbohong. Literatur mana? Terbitan mana? Imunisasi tidak populer di AS? Tragis sekali. Anda bisa telusuri sendiri di internet dan situs resmi pemerintah AS, jadwal imunisasi tetap dikeluarkan setiap tahun. Bahkan anak-anak yang tidak melengkapi jadwal imunisasinya tidak diperbolehkan mendaftar di banyak sekolah (yang kemudian juga memancing reaksi dari para orangtua).
Atau, mungkin berita itu benar dan rekannya tidak berbohong, tapi yang dikutip sebagai sumber/literatur berasal dari ‘golongan’ anti-imunisasi. Tentu saja anda dapat mengharapkan segala informasi negatif tentang imunisasi ada di sana. Dan jika berawal dengan prasangka negatif, bukti nyata di depan mata pun sanggup (mereka) (di)jadikan mentah.
Vaksin flu bahkan dikembangkan di sana dan ada program vaksinasi flu setiap tahunnya. Israel adalah pelopor industri vaksin? Sejak kapan? Bagaimana ini bisa menjadi bukti bahwa imunisasi dihilangkan?
Menurut pengalaman saya jumlah kadar/isi setiap pipet/tabung imunisasi semua sama, jadi imunisasi tidak melihat berdasarkan berat tubuh/perbedaan Ras/warna kulit, padahal kalau Obat/Imunisasi itu Impor, tentulah kadarnya disesuaikan dengan berat/fisik orang Luar (Barat) yang jelas lebih basar dan kuat fisiknya dibanding orang Asia, namun kita malah sama-sama menggunakan dengan takaran yang sama. (akibatnya overdosis).
Maaf, vaksin wajib di Indonesia sudah diproduksi di dalam negeri, tidak lagi impor. Apakah sudah dibandingkan antara vaksin impor dan vaksin lokal? Berbedakah jumlahnya?
Yang penting diperhatikan sebelum memberikan vaksin tertentu adalah titer antibodi, bukan berat badan. Dan titer antibodi ini tidak berhubungan dengan berat badan, karena dinyatakan dalam konsentrasi.
Saya menanyakan langsung kepada penyelenggara program imunisasi (NIP, National Immunization Program) di CDC (Centers for Disease Control and Prevention) mengenai vaksin HiB ini, dan berikut adalah salinan jawabannya:
In general terms, a vaccine dose is based on AGE and the development of the immune system – NOT height and weight. The doses are either pediatric or adult.
Also, there are several different organisms that can cause meningitis (saya agak kesulitan dengan radang otak yang dimaksud dalam email tersebut, karena tidak ada keterangan apakah meningitis [radang selaput otak] atau ensefalitis [radang otak]). There are bacterial and VIRAL organisms that can cause meningitis. HiB is NOT THE ONLY ORGANISM that causes meningitis.
I would also remind you that NO MEDICATION, including HiB vaccine is 100% effective. And one last point – HiB vaccine is made with INACTIVATED (dead) bacteria, which can induce an immune response, but CANNOT cause disease.
Donna L. Weaver, RN, MN
Nurse Educator
National Immunization ProgramPenekanan pada beberapa kata berasal dari saya.
Nah, terbantah sudah dugaan bahwa radang otak tersebut diakibatkan oleh bakteri yang terkandung dalam vaksin HiB.
3. Jika tidak “urgent” sekali, hindari rawat inap di RS, karena banyak prosedur/step-step pengobatan yang akhirnya akan melemahkan tubuh pasiennya. (Contoh: keharusan berpuasa, pemasangan infus, pengambilan darah yang terus menerus, foto Rontgen, operasi, kemoteraphy, dsb). Jikalau perlu coba dulu dengan cara pengobatan alternatif/tradisional.
Tentu saja. Langkah itu memang seharusnya tidak ditempuh jika tidak penting DAN mendesak. Juga pilihan untuk pengobatan alternatif/tradisional. Apakah dilakukan juga jika tidak urgent?
Jika pengobatan alternatif lebih dipilih, apakah reaksinya akan tetap sama jika hasilnya negatif? Atau mirip reaksi terhadap ramalan? Kalau berhasil, “Tuh, kan, manjur”. Kalau tidak berhasil, “Ya namanya juga alternatif. Namanya juga usaha, boleh dong”. Tidak ‘adil’, ya.
Berpuasa memang biasanya dilakukan sebelum operasi. Kalau lambung terisi, bisa ada kemungkinan buang air (besar/kecil) ketika operasi sedang berlangsung. Berhubung operasi harus dilakukan dalam keadaan aseptik, maka keluarnya kotoran dapat memperbesar kontaminasi kuman patogen ke luka operasi yang sedang terbuka. Ini bahaya.
Pengambilan darah secara periodik hanya dilakukan apabila tidak ada jalan lain untuk mengetahui kondisi pasien. Biasanya ini untuk mengawasi keadaan yang cepat berubah, dan bisa diamati segera dengan menganalisa darah. Misalnya trombosit, leukosit, dan sebagainya.
4. Jika perlu dengan tegas untuk menolak suatu tindakan medis yang akan dilakukan RS, jika kita yakini manfaatnya tidak benar-benar berpengaruh terhadap kesembuhan pasien.
Bagus. Memang harus begitu. Jangan hanya berserah dan melimpahkan tanggungjawab kepada dokter. Dengan demikian orangtua juga harus aktif memperkaya ilmu sehingga dapat berdiskusi secara sejajar dengan dokter, tidak hanya ‘menerima sabda’.
Sayangnya, orangtua seringkali juga terima saja jika diresepkan vitamin macam-macam dengan alasan untuk kesehatan/memperkuat kekebalan tubuh, padahal manfaatnya juga tidak benar-benar jelas. Berat sebelah?
5. Jika perlu lakukan 2nd opinion pada RS/dokter lain yang setara/lebih baik.
Betul sekali.
6. Banyak tanya, biarlah kita dibilang “bawel”, tanyalah setiap tindakan medis yang akan dilakukan, mengapa akan di lakukan, akibat-akibatnya, ada tidak cara-cara lain/alternatif lain yang lebih baik/tidak terlalu menyakiti pasien.
Setuju. Dan jika memang ‘menyakiti’ adalah cara terbaik yang dapat menguntungkan, bersiaplah untuk memilihnya.
7. Terus temani pasien (bisa bergantian dengan keluarga yang lain), karena setiap saat bisa ada tindakan medis yang memerlukan persetujuan, dan cermati semua pekerjaan perawatannya, jika ada yang habis/kurang jangan sungkan melaporkan ke tenaga medis yang ada segera.
8. Terus berdoa, karena segala sesuatunya telah ditetapkan oleh “Yang Maha Kuasa”, manusia hanya bisa ikhtiar dan berusaha.
None other than agree. Saya salut pada keluarga ini yang sanggup berlapang dada dan mengajak pada kepasrahan.
Saya betul-betul berharap dapat membantu mencerahkan, alih-alih bikin suasana tambah runyam. Karena itu saya khusus minta bantuan ekstra dari cak Moki (yang dokter tulen). Saya salinkan sebagian tanggapan beliau:
“tapi kalau ternyata kejadian betulan kan ya kejam betul saya langsung menuding itu bohong”
*Ini kata-kata dari email sayaYa, saya sependapat.
Jika email tersebut kita anggap benar, saya masih sedikit penasaran.
Orang tua yang baru kehilangan anak tercinta, sangatlah manusiawi mengungkapkan kedukaannya. Mengapa melalui email berantai? Mengapa diakhiri dengan sikap toleransi (pementahan) pada point 7 dan 8?Rasa penasaran saya berikutnya adalah kesinambungan waktu.
Mungkin salah tulis atau saya salah memahami.
Coba kita perhatikan, si bayi malang dilahirkan pada pertengahan bulan Juni 2005, sedangkan email (original) 29 April 2005. Pada usia 7 bulan masuk RS (17 Maret 2005). Meninggal 12 April 2005. Emailnya apa adanya kan?Iya, cak, kata mbak Dinar -juga yang saya lakukan- itu tidak diedit, bahkan header-header yang timbul akibat tindakan ‘forward’ juga dibiarkan apa adanya. saya malah ndak memperhatikan tanggal itu hehehe…
Sekian, berikutnya pribadi (ehm). Sisanya cak Moki mengaku:
Akhirnya, monggo diposting. Lebih adil jika yang menulis Bu Lita, lebih merepresentasikan seorang ibu, mewakili kaum terpelajar.
Sejujurnya, saya tidak mampu menulis sebagus itu. Sungguh, bukan basa-basi.
Dan saya bangga seandainya banyak yang seperti itu.
Waks. Malu saya. Sungguh hanya ingin berbagi, kok. Saya prihatin jika banyak orangtua mengambil keputusan dengan tergesa-gesa hanya karena takut. Sesal kemudian betul-betul tidak berguna. Apalagi jika sudah menyangkut anak. Semesta di dunia. Terimakasih buanget ya, cak!
Anda yang ingin mengetahui langsung dapat membaca 10 Things You Need Know about Immunization di sini, atau bahkan bertanya langsung ke CDC Information Contact Center via email.
Artikel ini juga layak dibaca: Smallpox must have never existed! Circular logic. Big thanks, Eko 🙂
Comments are closed.
Eko
March 14, 2007 at 10:02 amMudah2an gak merembet ke LSM-LSM tak bertanggung jawab itu yang demennya ngebohongin rakyat demi duit para bule tak bertanggung jawab
Aswad
March 14, 2007 at 11:11 amWah sip deh Bu Lita ‘dalil’-nya kuat.
Amalia
March 14, 2007 at 12:58 pmMba Lita… salam kenal dulu yaaa…:-)
Daku termasuk yang pernah punya pengalaman dengan imunisasi yang ‘gagal’. Gadis kecilku Naila, diimunisasi cacar air di DSA langganan kami, eh…ngga sampai 2 hari, Naila terpapar betulan sama cacar air. Komplen dong daku ke DSA-nya, secara imunisasi cacar air kan ngga murah…mana ngga ditanggung asuransi lagi *Huh*
Jawaban dari DSA-nya: ya berarti sebelum di-imunisasi, Naila memang sudah terkena cacar air, tapi DSA-nya kasih jaminan, klo cacar air yang diderita Naila ngga bakalan separah anak-anak yang ngga diimunisasi cacar air….Alhamdulilah sih, cacar air-nya Naila memang ngga parah. Ngga sampai 2 minggu, semuanya hilang ngga berbekas….
Sekarang tinggal adik2nya: Reyhan & Zahra yang blom imunisasi cacar air….Harga vaksinnya itu loh yg mahal…:-(… Kenapa ya asuransi ngga mau nanggung, padahal cost dari mencegah pastinya lebih murah daripada biaya perawatan orang sakit…:-(
btw. Webnya daku link yaaa…Boleh kan??
Amalia
March 14, 2007 at 1:13 pmSebelumnya salam kenal yaaa…
Saya termasuk yg pernah mengalami kejadian ‘kegagalan’ imunisasi. Si Sulung saya Naila, terpapar cacar air, hanya 1 hari setelah menerima imunisasi cacar air dari DSA langganan kami. Saya langsung komplen, tapi sang DSA menjawab, bahwa sakitnya Naila bukan disebabkan dari vaksin cacar air, tapi memang sebelum imunisasi Naila sudah tertular, dan bahwa imunisasi yang sudah dilakukan tidak sia-sia, karena cacar airnya Naila pastilah tidak akan se-parah cacar air anak2 yang tidak mendapat imunisasi cacar air… Alhamdulilah, Naila sakit ‘hanya’ 2 minggu dan sama sekali tidak berbekas…:-)
Hanya saja, banyak tindakan imunisasi yang tidak di-cover oleh asuransi, seperti cacar air itu, yang harga vaksinnya…fiuh..pengen sehat aja koq mahal…:-)
Kenapa yaa… asuransi ngga mau mengcover biaya imunisasi, padahal cost mencegah tentunya lebih ‘murah’ daripada biaya pengobatan….:-)
btw. blognya saya link yaa… saya suka tulisan2nya… and bantuin kasih saran dong, saya lagi bingung nih…mampir ke tempatku yaaa…:-)
devie
March 14, 2007 at 1:32 pmusul Bu! pripun lak dibagian akhir dicantumin daftar pustakanya. agar cukup kuat buat bargaining dengan para penolak imunisasi itu. istilahe kiy, “nyoh! woconen dewe dalil2nya lak gak percoyo!”. 😀
Anang
March 14, 2007 at 2:26 pmbeneran ya ini bukan hoax kan? hehehe 😀
manusiasuper
March 14, 2007 at 3:24 pmSaya pernah juga kena dampak ‘imunisasi gagal’ ini…
ceritanya pas masa liburan smp dulu, saya nginap di rumah sodara. Kebetulan sodara saya itu kena cacar air. Tapi saya tetep kekeuh nginap, dengan keyakinan diri, tokh saya sudah diimunisasi, kebal donk…
seminggu setelah tidur bareng sodara cacar itu, saya pun kena cacar juga…
setelah menyumpah2 terhadap korupsi yang saya duga terjadi pada proses pengadaan vaksin cacar, mama dengan eneteng bilang, “kamu kan belum pernah diimunisasi cacar dil..? kok sok yakin gitu kemarin..?”
*gubsrak!*
Hedi
March 14, 2007 at 9:54 pmDulu waktu kena cacar, saya tanya dokter. Kenapa saya tetap kena walaupun sudah imunisasi cacar. Katanya, kalo sampeyan ga diimunisasi cacar, mungkin pas kena cacar justru berpeluang besar terhadap kematian.
Jadi, jangan tinggalkan imunisasi!!!
Lita
March 14, 2007 at 11:15 pmEko
Sad but true. Sayangnya, walau agak sulit membuktikannya, ya? Humanity and freedom to choose, they say. Yea rite.
Aswad
Maunya sih sekali ‘pukul’ langsung KO. Apa daya tidak selalu begitu, kan? Bahkan ‘dalil’ dari dokter kampiun sekalipun belum tentu bisa menandingi kekeraskepalaan (calon) pasien yang antipati. Cak Moki tuh sudah berpengalaman di lapangan. Ya, cak? Hehe…
Amalia
Maaf mbak, saya tidak siaga untuk langsung membebaskan komentar dari moderasi. Lain kali tidak perlu dua kali kok 🙂
Iya, waktu inkubasi beberapa penyakit infeksi (dan menular) memang agak lama. Kita sudah terpapar sebelum menyadari, jadi sebelum kita jatuh sakit kita juga sudah bisa menularkannya ke orang lain lagi.
Untunglah Naila baik-baik saja, ya.
Saya kurang tahu pasti mengapa asuransi tidak menutup biaya imunisasi, hanya menduga-duga. Bisa jadi karena imunisasi cacar air (salah satunya) tidak termasuk imunisasi wajib. Walaupun begitu, asuransi juga bisa menutup biaya imunisasi non-wajib, misalnya vaksin influenza. Tentu saja ini tidak berlaku di setiap perusahaan atau penyedia jasa asuransi.
Terimakasih untuk link-nya, mbak Amalia. Salam kenal juga.
Saya sudah mampir, dan bingung. Saran bagaimana lagi, ya? Mbak tampaknya lebih canggih daripada saya untuk urusan anak, deh hehehe… Kalah umur dan pengalaman, nih 🙂
Devie
Err… sebenernya sudah ada ya di hyperlink-nya.
Ya sudah, berhubung suami saya juga mengusulkan yang serupa, nanti saya buatkan posting susulan tentang artikel resmi yang ‘kokoh’ untuk dijadikan rujukan.
Sabar, ya 🙂
Anang
Artikel ini asli bukan hoax deh, mas 😉
ManusiaSuper
Yeuh, bukan imunisasi gagal dong, diimunisasi cacar air aja ngga 😀
Nekat bener tidur bareng. Walau sudah diimunisasi, tetap bisa ketularan lagi, lho hihihi…
Hedi
Wah, pengalaman pribadi ya. Ibu saya malah ngga inget dulu saya diberi imunisasi cacar air atau tidak. Pastinya, waktu kelas 3 SMP, saya ketularan dari teman. Alhamdulillah selamat 🙂
iway
March 15, 2007 at 9:03 amhebat mbak artikelnya, kalo isu imunisasi suatu penyakit dimana penyakitnya udah punah gimana mbak? nuwun
de
March 15, 2007 at 10:22 amkalo de mah tetap melakukan imunisasi sebagai ikhtiar dalam melindungi anak. Kalo kebetulan tidak ada masalah di faktor biaya untuk melakukan tindakan preventif…kenapa juga tidak kita lakukan?
kebetulan Rafa mau masuk SD. dan ada beberapa SD yg menjalankan kurikulum internasional yang menolak anak baru jika belum lengkap imunisasinya. Jadi sekarang Rafa lagi mengejar booster imunisasi nih
Dinar Ardanti
March 15, 2007 at 1:39 pmAlhamdulillaah rasa curious saya terhadap fwd email yang saya dapat dari teman tsb dibahas jelas oleh mom Lita di sini dengan sumber2 dari yang berkompeten ^_^
matur kesuwun mom Lita atas kesediaan waktunya .. salam kenal ya mom Lita 🙂
Dinar Ardanti.
Bundanya Almaira Rindang Thara 🙂
evi
March 15, 2007 at 1:57 pmwah..trims Mbak, lengkap sekali infonya.
Mba, Nasywa pernah kena campak pas umur 11 bln tertular ayahnya, waktu umur 9 bln memang blm sempat diimunisasi campak krn kondisi Nasywa yg sering sakit (batuk pilek). Menurut teman katanya ga perlu imunisasi lagi karena udah kebal dgn sendirinya, betul ga sih?
Pada imunisasi campak massal yll tidak saya ikutkan, trus terang saya takut terjadi hal-hal yg tidak diinginkan. Dan pas baca koran kemarin ternyata memang ada kasus akibat imunisasi campak massal itu.
ananta
March 15, 2007 at 2:41 pmtulisan pak dokter ini bisa dirujuk juga ^-^
ekowanz
March 15, 2007 at 3:06 pmwuaa…info lagi nih
baca dulu 😀
ira
March 15, 2007 at 7:16 pmiya tuh bu lita, aku baca emailnya rada-rada lieur…
aneh aja… tadinya aku pikir kecaman bakal ditujukan yang utama untuk rumah sakit, kok ya… jadi ke vaksinasi sih. gak nyambung aja menurut pemikiran aku yang gapkes…**gagap kesehatan**
fertob
March 15, 2007 at 11:21 pmThanks infonya. mbak.
Memang utk seorang anak diimunisasi sebaiknya kondisinya dalam keadaan sehat. Flu dan pilek biasanya nggak berpengaruh agar seorang anak diimunisasi, tetapi sebaiknya dihindari. Karena ada juga kasus seorang anak menjadi demam setelah dilakukan imunisasi. Suatu reaksi tubuh yang normal terhadap benda lain yang masuk ke dalam tubuh.
bimoseptyop
March 15, 2007 at 11:31 pmjd pengen punya anak
test test baru jadi http://bimoseptyop.wordpress.com
cakmoki
March 16, 2007 at 7:39 amSejak kemarin baca, termangu, mau komentar apalagi, wong sudah lengkap sak link-linknya.
Sekelumit perjalanan imunisasi:
Hujan dan panas bukan hambatan untuk blusukan menyusuri jalan setapak, demi imunisasi. Berloncatan antar perahu yang berlabuh di tepian sungai hanya untuk mencari bayi, demi imunisasi. *hiks puitis*
Mohon dimaafkan jika ada yang ketinggalan kurang mendapatkan informasi lengkap, mungkin salipan di jalan.
Saya hanya bisa mengucapkan terimakasih untuk Bu Lita dan teman-teman lain yang ikut memberikan pemahaman seputar imunisasi.
Teriring do’a, semoga bermanfaat.
Evy
March 16, 2007 at 8:00 amWah banyak juga complain ttg imunisasi ya, baru2 ini malah dapet email katanya imunisasi penyebab autis, wadduhh bisa2 semua anak udah autis dong, di US kalau masuk sekolah yg ditanya surat imunisasi lengkap apa engga? Klo ga lengkap ga boleh sekolah, eh anakku pas dateng, langsung di suntik 4 kali sekaligus buat ngelengkapin semuanya… Alhamdulillah gpp. Disini juga ada imunisasi flu, udah di suntik tetep kena flu tuh…tapi ga separah yg ga di shot… 🙂
Lita
March 16, 2007 at 10:08 amIway
Terimakasih 🙂 Semoga berguna.
Sudah punah? Cacar (smallpox), misalnya? Belum tahu ada isu seperti itu, tuh. Bisa dibagi sumbernya?
De
Setuju banget. Bagaimanapun, faktor biaya sangat menentukan 🙁 Jadi, rasanya ngenes kalau tahu ada anak dari keluarga berada tapi tidak diimunisasi secara ‘layak’ karena kekurangtahuan (atau dalam beberapa kasus, ketidakpedulian) orangtuanya.
Wah, mas Rafa sudah mau SD, ya. Sudah bisa mengajari adiknya belajar macem-macem ya 🙂
Dinar Ardanti
Nah, sumber emailnya sudah hadir di sini hehe… Salam kenal juga, mom Dinar.
Sama-sama, terimakasih kembali. Ini memang kerjaan saya, kok. Bikin bahasan seputar yang saya tahu 🙂
Evi
Ada kasus? Saya belum dengar tuh. Bisa share beritanya?
Mmm… yang pernah saya baca sih, yang ditanyakan itu jarak antara imunisasi campak dan MMR atau jarak antara kena campak dan imunisasi MMR. Ketimbang imunisasi campak, saya lebih pilih MMR. Ada ‘bonus’ (eh ya ngga bonus sih, kan sudah satu ‘paket’) dua vaksin lain: gondong dan rubella.
Maaf, ngga membantu. Ada yang bisa membantu dengan lebih layak?
Ananta
Terimakasih untuk rujukannya. Tulisan dr. Apin malah kelewat sama saya (padahal link ke blognya ada di arsip taut saya).
Seneng deh ketemu penggemar Adachi sensei 🙂
Ekowanz
Monggo, sila dinikmati dan dikunyah pelan-pelan biar ngga keselek 🙂
Maaf lho emailnya belum rampung juga ditanggapi. Harus blusukan nyari ke jurnal dan tempat-tempat yang masih asing buat saya. Gimana kalau tanya cak Moki juga? Atau pak Dani Iswara?
*siap-siap lempar tanggungjawab*
Ira
Ahaha… ada istilah baru, ya. Aku baru denger tuh ‘gapkes’.
Yaa… menyalahkan dokternya karena memberi vaksin. Sekali ‘tembak’ kan dua tuh :p
Fertob
Anak demam setelah imunisasi vaksin hidup (misalnya BCG, DTP) itu justru yang normal. Aneh kalau tidak demam 🙂
Soal selesma saat akan imunisasi, dibahas di tulisan dr. Arifianto yang disetor Ananta.
Bimo
Asli baru jadi, ya? Masih kosong 🙂
Cak Moki
Hauhauhau… mengharukan. Itu kalau dibikin sinetron ala jaman TVRI jaya, mestinya pakai musik latar yang membangkitkan iba, rasa nelangsa dan titik air mata simpati ya, cak? Hehehe…
Aslinya dokter itu profesi pengabdian tho, cak? Ya ndak papa pake gaya puitis 😉
Evy
Wah, di sini disuntik 2 kali sekaligus aja udah dibilang kejam lho, bu. Yang komentar begitu bukan orangtua aja, dokternya juga! Ckk.. ckk.. ck… Katanya, “Tega bener orangtuanya. Kan kasihan bayi disuntik 2 kali sekaligus”.
Untung dokter anakku lebih ‘terdidik’. Dia setuju aja waktu aku minta imunisasi simultan buat Daud.
Eh anak ibu mah udah gede ya? Heheheh… gak sebanding.
Galur virus selesma dan flu itu bukannya banyak ya, bu? Jadi gak heran kalo masih tetep kena flu. Vaksinnya berapa untuk virus yang mana, eh yang dateng lain lagi hihihi…
Email soal imunisasi penyebab autis itu sudah beredar sejak akhir abad 20 lho, bu. Bolak-balik di-forward masuk milis. Sampe bosen yang nanggepin. Akhirnya paling cuma dirujuk, “Baca email nomer sekian” atau disalinkan jawabannya dari arsip 😀
Ngenesnya, kalau search di Google pakai kata vaksin dan autis, email menyedihkan ini ada di halaman pertama. Berebut dengan situs PuteraKembara (yang berusaha memberi pemahaman yang benar seputar autisme) dan… cuilan blog ini hehe…
Banyak beneeeerrrr PR dokter jaman sekarang, ya. Harus melek IT dan lebih canggih ketimbang mereka yang pemahamannya melenceng sana-sini dan (yang lebih parah lagi) menyebarkannya ke orang lain.
Selamat berjuang, para dokter!
Lita
March 16, 2007 at 10:00 pmCherrie
Maaf maaf… komentarnya masuk ke kotak spam. Dan tanpa sepenuhnya saya sadari, saya sudah klik ‘delete all spam’ sebelum sadar bahwa ada komentar ‘sungguhan’ milik mbak (mbak, kan?) di sana.
Maaf sekali lagi, ya. Boleh kok komentarnya ditulis ulang (semoga ngga BT duluan).
Tentang imunisasi cacar.
Cacar api (smallpox) dinyatakan punah dari muka bumi pada tahun 1980. Jikapun ada, maka bentuknya adalah biological weapon alias senjata biologis untuk kepentingan perang atau terorisme.
Sedangkan vaksinnya, yang ada sekarang cuma vaksin varicella (cacar air). Vaksin cacar (smallpox) diberikan dengan menggores kulit, dan goresan itu saat ini hanya bisa didapati pada golongan usia -umumnya- 30-an ke atas (jika memang pernah diimunisasi cacar api, tergantung pada tahun 1980 usianya berapa).
Informasi resmi tentang smallpox bisa dilihat di sini:
What you should know about smallpox outbreak, Smallpox vaccine: what you need to know, FAQ about smallpox, dan FAQ about smallpox vaccine.
Nah, berkaitan dengan beberapa blogger di sini yang bersaksi mendapat vaksin cacar, sila dikonfirmasi cacar mana yang dimaksud 🙂
Evy
March 17, 2007 at 8:23 amLita, sudah kubuatkan artikelnya buat bahan buku-nya..ttg pertolongan pertama luka/trauma di wajah… di blog aku ya, semoga berkenan 🙂
Jhonrido
March 17, 2007 at 10:21 pmManfaat imunisasi memang tidak perlu dipertanyakan. Karena ini merupakan program kesehatan secara internasional dan sudah terbukti bermanfaat. Mungkin yang perlu diperhatikan adalah pola penyakit yang sudah berubah. Perubahan ini tentunya harus diikuti oleh strategi perencanan vaksin yang harus disesuaikan dengan pola penyakit. Saya, juga baru ingat, sebelum tahun 2004, vaksinasi campak hanya sekali dilaksanakan. Tapi, saat ini kalo tidak salah vaksinasi campak dilaksanakan 2 kali setahun.
mariskova
March 18, 2007 at 2:30 amHalo, Jeng Lita, apa kabar?
Begitu baca postingan ini, aku langsung terpecut utk komen (hehe). Tp pertama, email ini udah pernah aku terima setahunan yll. Udah dibahas jg dng temen2. Disini, aku cuma mo nyumbang suara (sumpah, gak bakal pake nyanyi), tp agak panjang. Gak papa ya… 🙂
Pendapatku, imunisasi itu wajib! Seluruh generasi mendatang bisa habis diserang penyakit hanya krn sekarang kita menolak imunisasi. TAPI, poin berikut ini yg jarang dikasih ke publik: informasi ttg side effect dan rasio keamanan vaksin harus diberikan kpd ortu. DAN, informasi itu jg harus fair menyebutkan bahwa satu vaksin yg aman utk 9 anak belum tentu aman utk anak ke-sepuluh (tergantung rasionya). Pengalaman ini aku dapetnya pahit banget.
Selama setahun lebih, anakku sakit2an (sampai harus diopname) semenjak dia diimunisasi dpt 1. Pdhl, sejak lahir sampai 3 bulan, dia sehat segar bugar. Dokter yg menangani pd waktu itu tak percaya kalau anakku mulai sakit sejak dikasih dpt. Menurutnya, semua vaksin itu aman dan sudah terbukti. Krn aku jg gak ‘melek info imunisasi’, aku gak punya nyali utk mendebatnya. Stlh lbh dr setahun dgn kondisi yg terus memburuk (bb turun, penyakit bolak balik datang) dan gonta-ganti dokter, Alhamdulillah, aku dipertemukan dng dokter yg terakhir. Si dokter ini -stlh mendengar riwayat sakit anakku- langsung ambil tindakan: Tes Lab! Ya Allah, ternyata anakku itu sensitif thdp bahan2 di vaksin2 tertentu!
Sejak itu aku rajin memburu info ttg imunisasi. Dan ternyata jawabannya adalah ‘vaksin itu sebagian besar (dng rasio yg cukup tinggi) aman utk kebanyakan anak. Sayangnya, kata kebanyakan itu gak pernah diinformasikan ke ortu/konsumen. 100 anak bisa selamat dng DPT, tp 1 anak mungkin tidak. Bagaimana kalau itu anak kita? Krn itu sekarang pendapatku ttg imunisasi ada di 3 poin berikut: 1) imunisasi itu harus 2) tapi informasi mengenai side effect dan rasio aman/tdk aman jg harus diberikan ke ortu 3) ortu dan dokter wajib(!) mengecek apakah anaknya termasuk ke golongan minoritas yg tidak cocok thd bahan vaksin ttt.
Sampai skrng rasa sakit hati thd generalisasi keamanan vaksin masih ada. Jng sampai ortu lain sama butanya dng aku!
Ade
May 30, 2007 at 3:52 pmto mariskova,
saya tertarik dengan pendapatmu poin ke-3:”ortu dan dokter wajib(!) mengecek apakah anaknya termasuk ke golongan minoritas yg tidak cocok terhadap bahan vaksin tertentu”. Tes lab apa yang dilakukan sehingga dapat diketahui kl anakmu sensitif dgn bahan2 vaksin itu dan bagaimana menerjemahkan hasil lab itu. Pengalaman yg sama waktu anak saya diimunisasi campak saat usia 9 bulan, selang tidak berapa lama dia panas dan harus diopname di RS.
OK, makasih Bu Lita, saya sudah lama kagum dengan isi blog ibu. Berbobot dan memperluas wawasan…Lam kenal aja…
grapz
March 18, 2007 at 6:48 amhidup imunisasi!!!! *lagi bingung mau komen apa hehehe*
Lita
March 18, 2007 at 6:48 amEvy
Maturnuwun sanget, bu dokter. Sudah saya kunjungi 🙂
Jhonrido
CMIIW. Baru-baru ini memang ada KLB (kejadian luar biasa), outbreak campak. Untung mencegahnya meluas, maka diselenggarakan PIN campak. Dan untuk pola yang disebutkan itu, mungkin karena itu pula jadwal imunisasi diperbarui setiap tahun.
Mariskova
Huee, jeng Mariskova. Baik, jeng 😉
Terimakasih banyak untuk sharingnya. Ini penting banget, ibu-ibu sekalian.
Alergi terhadap bahan aditif di vaksin (pengawet, penstabil) memang jarang, tapi bisa serius sekali. Dan -menurut pengalaman saya sendiri- memang tidak disaring dulu oleh paramedis di sini. Maksudnya ngga ditanya-tanya, “Anak ibu alergi putih telur? Atau alergi terhadap pengawet anu?”. Lha kalo bayi baru lahir trus ibunya ditanya-tanya begitu, anak pertama pula, apa ngga keder duluan dan jadi ngga mau mengimunisasi anaknya. Sudahlah kesadaran kesehatannya masih setengah-setengah, naluri mencari informasi juga rendah, gampang dihasut pula.
Mungkin karena itu pula dokter pada ngga nanya, ya?
Jadi masukan nih, mbak, untuk artikelku tentang informasi wajib baca seputar imunisasi. Terimakasih lagi, ya. Untung bunda Hikari gigih dan ngga gagap informasi, ya. Jadi Hikari pasti akan baik-baik saja 😉
Jadi rada mikir, berapa banyak ya dokter yang seperti dokter Hikari yang terakhir itu? Mengorek ke akar masalah ketimbang hanya melihat yang kelihatan.
grapz
March 18, 2007 at 6:49 ampokoke hidup imunisasi!!!
aroengbinang
March 18, 2007 at 9:47 amsalah satu kelemahan distribusi vaksin waktu yang lalu adalah pada cold chain-nya, yang kemudian diatasi dengan penggunaan data logger untuk memonitor suhu sepanjang rantai distribusi. otoritas perlu memperketat pengawasan distribusi vaksin dan melakukan audit secara lebih keras. salam.
undil
March 18, 2007 at 1:51 pmHsl kesimpulan uji statistik yg diambil dr byk data emang bisa beda dengan kesimpulan seorang ibu yg ditarik berdasar beberapa data saja yah.
tari
March 18, 2007 at 8:42 pmwaduh, mbak lita sepertinya comment comment ada banyak yang “pedas”. sepertinya anda “sakit”. beda dari orang kebayakan memang “unik”, tapi belum tentu “benar” lho…. anda hidup dalam “persepsi” anda sendiri. selamat yah…..RSJ menunggumu
azwar
March 18, 2007 at 9:21 pmSaya hanya ingin tidak seperti temen2 yang lain, saya hanya ingin komentar bahwa isi dari site ini bagus dan tampilannya juga bagus. nice site! 🙂
Sukses selalu
Lita
March 18, 2007 at 10:22 pmGrapz
Aduh maaf, mbak dokter kodok… Komentarnya kok menyalip di tikungan 🙂
Hidup! Ya memang yang diimunisasi hanya yang masih hidup saja, toh? 😉
Apa kabar Dora?
*ngumpet ah*
Aroengbinang
Sangat berpengaruh pada efektivitas vaksin ya, pak?
Lalu bagaimana dengan administrasi vaksinnya itu sendiri? Ada seorang ibu yang mengeluh vaksin di PIN campak kemarin tidak menggunakan jarum suntik sekali-pakai, jadi diganti tiap 4-5 orang. Mengkhawatirkan. Bukankah sangat rentan penularan penyakit? Ini juga perlu pengendalian yang lebih ketat, tampaknya.
Undil
Jika email tersebut berdasarkan kejadian nyata, saya bersimpati pada keluarga tersebut. Bukan hal yang aneh jika kedukaan menghalangi dari kejernihan.
Salam kenal, pak Undil 🙂
Tari
Sejauh yang saya lihat, komentar yang negatif hanya dari anda. Apakah anda sudah membaca dengan teliti dan mengerti apa yang saya tulis?
Tapi terimakasih atas peringatannya. Akan saya ingat lain kali saya merasa sakit.
Azwar
Terimakasih, pujiannya diteruskan ke admin 🙂
dani iswara
March 19, 2007 at 10:53 am[OOT]
khas tulisan yg dah pantes bikin buku.. 😀
😀
kayaknya gak perlu editor lg deh.. 😀
→ alurnya enak dibaca bu..makasi pencerahan kesehatannya..jgn kapok2 ya..
tiesmin
March 21, 2007 at 5:38 pmmakasihh banyak mba lita buat sharingnya….
makasiiiiii banget…
Tuhan Berkati Mba ya…:)
arifianto
March 22, 2007 at 9:33 amAssalamu’alaikum Bu Lita. Senang sekali saya bisa mampir kesini. Saya tahu blog Ibu dari shoutbox di blogspot saya. Kesimpulannya: kita berada di pihak yang berbeda. Saya, yang kebetulan berasal dari latar belakang kesehatan, pro dan mengkampanyekan imunisasi. Sedangkan Ibu, yang memang bukan berlatar belakang kesehatan, namun memiliki kepedulian amat sangat terhadap kesehatan, kontra dan mengajak untuk menolak imunisasi.
Adalah hal yang sangat wajar memang, adanya pro-kontra terhadap berbagai hal di masyarakat. Saya sama sekali tidak mempermasalahkan ini. Hanya ingin sedikit berbagi pandangan saja, terhadap tulisan Ibu di sini.
Saya, dan seluruh dokter-dokter spesialis anak-bahkan pakar imunisasi dunia, memiliki pandangan yang sama dengan Ibu, bahwa imunisasi tidak memberikan proteksi 100%. Saya pribadi juga sepaham, bahwa angka keberhasilan imunisasi, SALAH SATUNYA, dilihat dari angka statistik. Hei, statistik bisa berbohong juga lho! Sampai ada buku terkenal yang menjadi salah satu koleksi saya: “How to Lie with Statistics”. Tapi statistik yang bagaimana yang digunakan oleh imunisasi? Saya tidak tahu persis, latar belakang pendidikan ibu yang sarjana teknik kimia ITB (dulu cita-cita saya masuk ITB, tapi tidak kesampaian, jadinya terdampar di UI) apakah memasukkan mata kuliah statistik dan metodologi penelitian dalam salah satu persyaratannya. Kami yang lulusan dokter (S-1) mendapatkannya. Begitu juga ada pengembangan dari ilmu statistik ini yang namanya “Evidence Based Medicine” (EBM). Belum banyak dokter di Indonesia yang paham EBM ini, sehingga mereka–maaf–mudah tertipu oleh hasil penelitian dan angka-angka statistik yang ditunjukkan oleh perusahaan farmasi, untuk menggunakan produk mereka, dan memperkaya mereka (maklum ya, kita hidup dalam sistem kapitalistik). Apa EBM itu? Silakan buka situs Prof. Iwan Darmansjah (www.iwandarmansjah.web.id).
Imunisasi telah terbukti efektivitasnya melalui ilmu EBM ini.
Sekarang kita masuk ke dalam kasus yang Ibu sampaikan.
Imunisasi/vaksinasi hepatitis yang diberikan pada anak bukan hepatitis B saja, tetapi hepatitis A juga. Masalahnya, hanya hepatitis B yang diberikan secara gratis (program pemerintah di Posyandu), mengingat keterbatasn dana pemerintah. Padahal hepatitis A tidak kalah pentingnya. Untuk jadwal kapan pemberian ini, silakan buka situs Ikatan Dokter Anak Indonesia (www.idai.or.id). Bisa saja pada kasus anak yang mengalami hepatitis B atau A, tidak lama setelah mendapatkan imunisasi, bukan akibat vaksinnya. Karena vaksin hepatitis B dan A bukan berasal dari virus hidup, melainkan virus yang dimatikan. Maka sama sekali tidak mempunyai potensi infeksiusitas. FYI, vaksin ada 2: hidup yang dilemahkan (live attenuated) dan dimatikan. Vaksin hidup TIDAK BOLEH diberikan pada anak yang mengalami penyakit dengan gangguan daya tahan tubuh (penyakit kanker, HIV-AIDS, dll), karena vaksin yang diberikan justru berpotensi menimbulkan penyakit. Meskipun secara teori hanya ada 1 macam vaksin yang bisa menimbulkan ini: polio. Tapi vaksin mati BOLEH diberikan pada anak-anak dengan gangguan sistem imun. Penjelasannya masih cukup panjang, silakan buka situs kami di http://www.sehatgroup.web.id untuk mendapatkan informasi shahih mengenai teori vaksin ini.
Kembali lagi, bisa saja anak tersebut telah mengalami hepatitis asimtomatik (tanpa gejala). Ketika daya tahan tubuh menurun, penyakitnya baru tampak. Karena sebagian besar hepatitis tanpa keluhan (carrier, saya yakin Bu Lita juga paham mengenai ini). Jadi tidak ada sangkut-paut dengan vaksinasinya. Justru benefit pemberian vaksin mampu mencegah menjadi hepatitis kronik, atau sirosis hepatis.
Aduh, kerjaan masih menunggu. Segini dulu, insya Alloh diteruskan lagi (kecuali kalau comment saya ini Bu Lita hapus dari sini, hehehe).
Memang banyak hal ilmu kedokteran yang jika dipahami separuh-separuh, kemudian langsung disampaikan, maka akan menyesatkan. Mungkin ibaratnya sama dengan menyebarkan hadits dho’if (lemah), bahkan palsu. Jadi saya sebagai dokter, berharap agar informasi kedokteran yang hanya dipahami separuh-separuh, kemudian disebarkan dengan tendensi nada negatif. Khawatirnya justru akan berujung pada mudharat dan mafsadat (kerusakan)
Mohon maaf jika kurang berkenan.
Al haqqu min robbikum, fa laa takuunanna minal mumtariin. Kebenaran itu datangnya dari Robb-mu, maka janganlah kamu meragukannya.
Wassalamu’alaikum wr wb
Arifianto
Lita
March 22, 2007 at 9:43 amAddduuuuhhh mas dokter. Bacanya jangan judulnya doang dong please… Saya sama sekali tidak mengajak para orangtua untuk menolak imunisasi, kok. Saya justru sedang menjelaskan di mana letak kelemahan-kelemahan ajakan itu. Kita tidak berseberangan, justru saya getol mengingatkan untuk imunisasi. Coba dibaca lagi pelan-pelan ya mas, jangan dilongkap-longkap ah 😉
Luky
March 22, 2007 at 11:13 amMbak Lita…tks banget atas ulasan tentang imunisasi serta anggapan seputar imunisasi, tulisannya mudah dipahami dan penjelasannya pun gamblang sekali dan yang pasti menambah ilmu.
Mengenai pengalaman imunisasi, Alya sudah mendapatkan imunisasi BCG sesuai jadwal imunisasi. Tetapi saat usia 1,1 th, Alya didiagnosa terkena infeksi TB. Duh sempet merasa sedih banget dan punya perasaan gagal menjadi ibu yang baik karena tidak bisa menjaga kesehatan anaknya, tetapi akhirnya berpositif thinking bahwa . Sempet kesel juga meskipun sudah pernah imunisasi tetapi masih terpapar juga, ternyata saya baru tahu bahwa daya kekebalan vaksin BCG untuk mencegah TBC hanya 20%. Tetapi betul yang dikatakan mbak Lita bahwa bagaimanapun juga imunisasi tsb tetap penting untuk memperkecil kemungkinan tertular dan memperingan gejala penyakit tsb.
Trus mengenai poin 4 & 6, setuju sekali tetapi pengalaman saya prakteknya agak susah apalagi biasanya keluarga pasien dalam keadaan panik. Ini pengalaman kita menjelang bulan puasa kemaren, suami saya terdiagnosa terjangkit DBD yang sangat parah, trombositnya menurun dengan tajam dan sempet tranfusi trombosit 3x, alhamdulillah tidak sampai mengalami Dengeu Shock Syndrome. Terus terang saat itu kami kesulitan mencari RS, rata -rata hampir setiap RS sudah sangat penuh. Selama dirawabt setiap akan memasukkan obat injeksi kedlm infus saya selalu tanya kepada , obat apa dan untuk apa? tetapi susternya cuma menjawab ini obat anu untuk menaikkan trombosit dan karena awam sekali dengan obat-obatan saya juga agak bingung, emang ada ya obat untuk menaikkan trombosit? dan tentu saja saat itu obat-obatan tsb lolos ketubuh suami saya. Begitu juga setiap saat saya menanyakan kadar trombositnya, mereka menjawab dengan agak ketus. Setelah hari ke3 saya minta tes darah lengkap diulang di lab. yang punya nama, dari pemerisaaan lab terlihat bahwa kadar gula suami saya sangat tinggi sekali, mencapai 500 mg/dl. Kita sempet shock karena merasa tidak pernah mengetahui hal ini dan merasa kecolongan. Terus terang suami saya belum pernah melakukan medical check up sebelumnya. Kebetulan pada hari ke 4 saya menanyakan total biaya pengobatan ke bag. admin, dan yang membuat saya terkaget kaget, sampai hari ke 3 biaya pengobatannya sudah mencapai 25 Jt. Dan dari penjelasan admin, porsi terbesar biaya tsb adalah obat dan tranfusi. Setelah browsing kesana kemari dan mendatangi beberapa internist yang lain , untuk sementara saya mendapatkan penjelasan mengapa suami saya yang sakit DB harus komplikasi dengan DM dan terpaksa menjalani perawatan sampi 18 hari di RS & menelan biaya hampir 40 Jt, ternyata ada obat yang sangat mempengaruhi kadar gula dalam darah dan yang seharusnya tidak boleh diberikan kepada orang yang punya potensi atau menderita Diabetes Melitus dan harganya pun sangat mahal. Padahal obat tersebut biasanya digunakan didunia kedokteran untuk mengobati penyakit Lupus dan Perdarahan di pembuluh darah Otak. Memang suami saya mungkin mempunyai bibit DM tp tidak seharusnya seorang dokter ceroboh dalam memberikan obat-obatan, apalagi obat-obatan yang jelas banget menyebutkan efek sampingnya. Tapi kami ikhlas dan tidak memperpanjang masalah ini, kami yakin ini adalah ujian dari Allah Swt buat keluarga kami dan suami saya khususnya. Alhamdulillah suami saya diberi kesembuhan oleh Allah SWT dan alhamdulillah tanpa harus diet layaknya penderita DM, kadar gula suami saya relatif normal.
Sorry ya mbak Lita, sharingnya kepanjangan mudah-mudahan berguna buat yang lainnya supaya lebih hati-hati dalam memilih RS & Dokter , serta lebih membekali diri terhadap informasi dibidang kesehatan.
Salam
Luky
Bunda Dean
March 22, 2007 at 11:46 amwaduuuuuh… bu lita bikin saya jadi was2. apalagi baca comment dr tmn2. perihal anak saya dean umur 2 bln, baru diimunisasi DPT kemarin. saya pilih imunisasi yang tanpa demam dengan tarif yang relatif tinggi perbedaannya jika dibandingkan imunisasi DPT disertai demam. tapi hasilnya, hari ini justru anak saya badannya panas. pertanyaan saya; ditipukah saya ???? atau apa yang salah dengan anak saya?? waduuuuuuuuhhhhhhhhhhh…
arifianto
March 22, 2007 at 11:57 amHehehe, lagi jam istirahat.
Waduhh, maaf ya. Kebiasaan buruk, baca belum kelar sudah dikomentari. Sekali lagi mohon maaf.
Sekalian saya komentari lagi ya terusannya..
Keberhasilan imunisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, al:
1. Status imun anak/bayi tsb. Mengapa dalam pemberian imunisasi ada rentang waktunya? Karena jika rentang pemberian terlalu dekat, misal pada anak yang mendapatkan ASI eksklusif sampai 6 bulan, kadar antibodi terhadap campak masih ada dalam ASI, sehingga pemberian vaksin campak kurang berpengaruh. Begitu juga pada kondisi daya tahan tubuh lemah akibat penyakit kanker, HIV/AIDS, atau kurang gizi, reaksi antigen-antibodi yang diharapkan tidak terbentuk.
2. Faktor genetik anak/bayi. Ini berkaitan dengan ilmu imunologi, namun pengaruhnya sangat jarang dan sedikit sekali dalam populasi.
3. Kualitas dan kuantitas vaksin. Mulai dari penyimpanan di suhu yang tepat agar vaksin tidak rusak, cara pelarutan, cara penyuntikan, dan frekuensi pemberian.
Silakan komentar saya sebelumnya dibaca dengan perspektif berbeda, yakni mengomentari golongan kontra imunisasi, dan Ibu Lita tidak termasuk di dalamnya.
Maaf ya Bu Lita.
Al haqqu min robbikum, fa laa takuunanna minal mumtariin.
Arifianto
Lita
March 22, 2007 at 3:26 pmDani Iswara
Hati-hati, pak. Kalau saya GR, bisa berabe. Nanti pak dokter saya bagi jatah editing, lho 😀
Ngga, ngga kapok kok. Mau ya kalau saya gandeng bikin buku bareng bu dokter Evy? Kalo rame-rame sekalian cak Moki gimana? Hehehe…
Tiesmin
Sama-sama, mbak. Saya senang bisa membantu 🙂
Luky
Terimakasih atas sharingnya, mbak Luky.
Dari beberapa dokter yang sangat perhatian soal TB, mereka berpendapat banyak kasus salah diagnosa. Jadi sebetulnya bukan TB, tapi diberi perawatan TB. Semoga Alya bukan yang termasuk salah didiagnosa ya, mbak.
Semoga suami mbak baik-baik saja, ya. Hidup dengan ‘bakat’ DM tetap bisa dinikmati seperti orang sehat lainnya, asalkan dengan kehati-hatian ekstra. Terutama soal makan, gaya hidup, dan obat-obatan. Syukurlah suami mbak sekarang sudah sehat kembali. Semoga sehat selalu sekeluarga. Dan semoga keluarga lain dapat belajar dari pengalaman yang sudah mbak bagi di sini.
Bunda Dean
Waduh bunda, saya tidak bermaksud bikin was-was.
Maksudnya, bunda pilih vaksin DTaP (Diphtheria, Tetanus, acellular Pertussis) ketimbang DTP (Diphtheria, Tetanus, Pertussis) ya? DTaP bukannya samasekali tidak menimbulkan demam lho, bun. Hanya menurunkan kemungkinan timbulnya demam. Jadi kalau setelah DTaP tetap demam, ya tidak apa-apa. Seringkali demamnya tidak setinggi yang ‘dihasilkan’ oleh DTP.
Bunda Dean bisa baca tentang Vaccine Information Statement untuk DTaP di sini. Saya kutipkan:
Tenang ya, bu. Belum tentu ditipu, kok. Kalau kondisi pengantaran hingga penyimpanan terjaga baik (cold chain maintained), vaksin akan tetap dalam keadaan baik/tidak rusak.
Tidak perlu was-was lagi, ya 🙂
Arifianto
Dimaapken, dok. Kalem aja 🙂
Arman
March 23, 2007 at 1:55 pmSalam kenal bu Lita. Mantap bener nih uraiannya… 😀
Saya jadi inget DSA anak saya yang dulu gak mau ngasih HIB pada waktunya (2 bulan) dengan alasan yang tidak jelas.
Katanya suruh nunggu 5 bulan aja. Aneh ya.
Jadilah kita langsung pindah DSA aja dah. Dan untungnya sampe sekarang DSA yang ini so far so good. Dia ngikutin banget jadwal imunisasi IDAI dan CDC.
Kadang jadi parents emang dilema kok ya. Kalo ngebaca kasus2 gini jadi serem, tapi ya emang tugas kita untuk selalu belajar dan belajar ya. Baca sana sini supaya kita juga gak gampang percaya begitu saja dengan rumours yang beredar.
Thx banget nih atas ulasannya yang very very very good! 😀
cakmoki
March 25, 2007 at 3:02 amOOT
hayo, sedang bikin buku ya…
Saya sebenarnya banyak nulis, hanya terlalu medis dan memang diperuntukkan khusus kalangan kesehatan atawa pemerhati kesehatan. Semacam panduan teknis medis.
Kalo dianggap bisa bantu, tentu saya bantu. *dengan catatan tidak dikejar deadline*
Kalau nulis model friendly, hehehe ampun dah, baru belajar je 😀
bundanya icha
March 26, 2007 at 9:07 amDear mba Lita,
saya maturnuwun sanget lhoh, dapet ketemu blog nya mba Lita. Sebab terus terang saya ibu baru yang masih learning by doing, ikutan milis maksudnya mau nambah ilmu..eh malahan sering ketemu hoax, yang betul2 meyakinkan :-(.
Tapi Alhamdulillah nemuin blog nya mba Lita, jadi adem lagi…karena imunisasi anak saya, 6.5bln sedang berjalan. Sekarang hati saya dah tenang deh… Yang penting sebagai ortu dah berusaha memberikan yang terbaik buat anak.
Bravo 4 U ^_^
Ibu Suryani
April 9, 2007 at 5:08 pmSalam Hangat,
untuk seluruh Ibu dimanapun berada yang sangat mencintai putra-putrinya.
AKHIRNYA TERUNGKAP !
ternyata..
IMUNISASI sangat BERBAHAYA!
lindungi anak-anak kita dari bahaya imunisasi
sebelum hal mengerikan terjadi…
bagi ibu yang berminat untuk mendapatkan FAKTA NYATA tentang BAHAYA IMUNISASI ini, silahkan hubungi [deleted -admin]
segera akan saya kirimkan sekitar 75 halaman yang menguak sebuah rahasia yang terpendam lama tentang BAHAYA IMUNISASI ini.
SALAM HORMAT,
IBU SURYANI
*Semoga ALLAH selalu melindungi kita dari orang-orang yang dzalim kepada keluarga kita, dan semoga ALLAH selalu melindungi kita dari kurangnya ilmu.karena kurangnya ilmu dapat menyebabkan malapetaka.semoga anak kita tidak menjadi korbannya.
Lita
April 9, 2007 at 7:30 pmBahkan ibu sendiri berdoa semoga dilindungi dari kekurangan ilmu. Bagian tulisan saya yang mana yang tidak membantah kekurangan ajakan anti-munisasi ini?
Ada baiknya ibu membaca tulisan saya baik-baik sebelum berkomentar.
Salam imunisasi, yang menyelamatkan jiwa anak saya dari penyakit yang saya bawa.
ira
April 11, 2007 at 3:55 pmada yang ndak nyambung tuh mba….
atau jangan-jangan belum baca sampe kelar kali yaaaa
Bundanya rizqa
April 18, 2007 at 2:26 pmsalam kenal mba lita,
weleh mba, pantesan aja mba dikira dokter oleh banyak orang, wong penjelasan mengenai imunisasi aja ya pool gt hehehehe, salute ya mba. Terusin ya mba aku seneng bacanya, aku jd makin makfum atas info2 kesehatan biar ga salah persepsi, toh kan kita semua menginginkan yang terbaik untuk anak2 kita tercinta.
semoga informasi yang mba berikan menambah wawasan kita semua sebagai orang tua 🙂
hasyim
April 21, 2007 at 6:10 amsalam kenal mba Lita n dr arifianto…
saya sedang menggali tentang kesehatan walo saya bukan org kesehatan, saya org teknik perkapalan di sby. btw menarik sekali info yang disampaikan menambah pengetahuan saya akan imunisasi. sesuai benar dgn yg sebelumnya pernah saya terima… tetapi beberapa waktu ini saya sempat berpikir tentang bahaya imunisasi dan penangan kesehatan dari para medis yang ada. dari sekian kasus yang ada d internet dan media massa, menunjukkan ada masalah yg menyesakan dada dan membuat khawatir.
salah satu kasus balita meninggal di palu setelah imunisasi dlm jgk waktu 2 x 24 jam di palu menimbulkan pertanyaan besar akan kepedulian terhadap 1 jiwa anak indonesia. medis hanya menyampaikan bhw anak tsb telah terkena radang otak…? apa ada penyakit yang menyerang sedemikian cepatnya. hati saya miris mendengar berita ini..
di atas tlh di paparkan bhw jaminan atas keberhasilan imunisasi memang tdk 100%, masih ada celah ketidak berhasilan. namun mana yag patut dicermati??? apakah imunisasi (vaksinnya) ato bagaimana proses penanganan thd pemberian imunisasi (tes laborat bagi anak2) agar diketahui apa anak ini memiliki karakter yg berbeda dari yg lain?????
juga tentang adanya bahaya vaksin yang juga dibuat dari bahan2 kimia ‘selain virus yang telah dilemahkan’ yang menghambat perkembangan beberapa syaraf di tubuh calon2 penerus bangsa ini????? tlg ini ditanggapi…..
maaf mungkin terlalu panjang………………
Lita
April 22, 2007 at 2:45 amBisa dirinci, pak, kapan kejadiannya dan bagaimana cerita lengkapnya? Ada link ke berita versi online-nya?
Imunisasi apa dan didiagnosa apa? Apakah penyakit yang diderita (yang menyebabkan kematian) diakibatkan oleh virus/bakteri yang dikandung vaksin?
Tentang ‘apakah ada’. Pada dasarnya semua butuh waktu. Bisa saja telah lama terinfeksi, lalu menjadi non-aktif dalam tubuh (tapi tetap ada), kemudian dapat muncul sewaktu-waktu ketika pemicunya tepat. Rentang waktu yang ‘dibutuhkan’ juga dapat ditentukan oleh banyak hal; mikroorganisme (jenis dan tingkat keganasannya), kondisi awal, pertolongan pertama, penanganan lanjut, akurasi diagnosa (termasuk akurasi uji yang dilakukan), dll.
Soal dua hari, saya dapat merujuk ke keganasan virus Ebola (masa inkubasi tersingkat adalah 2 hari). Bapak tentu dapat mempertanyakan mengapa Ebola karena yang sedang dibicarakan adalah radang otak. Yah, berhubung pertanyaannya hanya ‘apakah ada’, maka jawaban ‘ada’ sudah memadai.
Kadang-kadang waktu tampak ‘menipu’. Kejadian yang sebetulnya tidak berhubungan menjadi seolah berhubungan sebab-akibat karena urutan waktunya. Sebuah perumpamaan unik dari seorang teman blogger:
“Sepertinya, setiap kali saya datang ke kota anu, selalu ada kerabat yang meninggal. Seolah tampak ada hubungannya antara kedatangan saya dan meninggalnya mereka.”
Dan tentu saja kita tahu bahwa kesimpulan “Orang ini adalah penyebab kematian kerabatnya” adalah konyol, kecuali dalam kasus kejahatan (ia yang membunuh kerabatnya setiap kali ia datang berkunjung, mungkin?), yang tidak terjadi dalam kasus ini.
Ada baiknya kita lebih berhati-hati dalam menarik hubungan dan simpulan. Urutan waktu memang penting dipertimbangkan, tapi bukan satu-satunya yang dapat menentukan akar masalah.
Tentang celah ketidakberhasilan vaksin. Saya sedikit menyinggung tentang Vaccine Information Statement (ada di komentar sebelumnya, kalau-kalau terlewat dibaca). Di sana dapat dilihat apa saja yang perlu diketahui. Bagaimana vaksin bekerja (apakah dapat memicu demam atau tidak, bagaimana persentasenya), efek samping apa yang mungkin timbul, siapa yang perlu perhatian khusus (berkaitan dengan alergi pada suatu bahan pada vaksin tertentu, karena tidak semua vaksin memiliki kandungan yang sama).
Mana yang patut dicermati? Tentu semuanya patut dicermati. Seperti kita hendak memutuskan sesuatu, ditimbang risiko dan keuntungannya (risk and benefit). Jika keuntungannya lebih besar daripada risiko, kita dapat cenderung pada keputusan untuk melakukannya (apapun itu). Dan jika risiko yang harus ditanggung lebih besar daripada keuntungan yang mungkin diperoleh, kita juga dapat cenderung untuk tidak melakukannya.
Keputusan untuk melakukan atau tidak, tentu berpulang pada masing-masing kita (dan untuk hal anak, tentu kepada orangtuanya). Tidak ada yang dapat memaksakan, kecuali hukum (positif) setempat yang berlaku.
Tanggungjawab tetap ada di kedua pihak: pasien dan petugas medis. Pasien wajib tahu dan membuat keputusan, petugas medis wajib melaksanakan tugas sesuai aturan kerja yang berlaku.
Bahan kimia yang menghambat perkembangan syaraf? Bisa bapak jelaskan senyawa apa yang dimaksud dan perkembangan mana yang terhambat?
Saya turut bersimpati pada beberapa orangtua yang putra/putrinya memberikan reaksi negatif terhadap vaksin (seperti diceritakan oleh mbak Mariskova di komentar sebelumnya). Kasus pencilan selalu ada. Efek negatif vaksin memang ada. Dan kita tentu cukup bijak untuk tidak menghapus semua kebaikan vaksin karena adanya efek negatif yang mungkin (sekali lagi, MUNGKIN, tidak ‘pasti’) timbul.
Betul, ada kejadian anak sakit setelah divaksin. Dan adalah kenyataan pula, bahwa ada jutaan nyawa anak lainnya yang terselamatkan oleh vaksin, yang keberhasilannya tidak ramai diberitakan oleh media massa (seperti jika terjadi sebaliknya; vaksin menyebabkan penyakit atau efek samping).
Dua dari mereka adalah anak-anak saya 🙂
Ketty
May 31, 2007 at 12:14 pmDear; prosedur standarnya adalah sebelum dokter atau tenaga kesehatan memberikan vaksin, kondisi si anak harus diperiksa dulu, diyakinkan bahwa anak ini benar-benar sehat. namanya juga memasukkan kuman (walaupun dilemahkan) ke dalam tubuh, harus dipastikan dulu bahwa tubuh cukup kuat.
Kemudian sehari 2 hari setelah imunisasi kondisi anak juga harus dijaga sedapat mungkin jangan sampai sakit (terutama untuk bayi).
Sangat dianjurkan, kalau habis diimunisasi, bayi jangan diajak bepergian dulu selama 1-2 hari, bahkan 15 menit setelah imunisasi sebaiknya jangan pulang dulu dari tempat dokter, jaga2 jika timbul rekasi alergi setelah suntikan. Dan pastikan makan/minumnya bersih agar terhindar dari kuman. Karena saat itu sistem imunnya sedang dilatih untuk membuat tameng vs bakteri dalam vaksin, dalam kata lain, daya tahan tubuhnya akan sedikit turun.
Mungkin saja, pada saat ini kalo ada kuman lain yang masuk, gejala penyakit yang ditimbulkan akan lebih berat dari biasanya. Atau biasanya bayi OK2 saja saat terpapar kuman(kita gak mungkin bisa 100% menghindar dari kuman), kali ini tidak, karena sistem imunnya sedang turun.
wuyun
May 22, 2007 at 11:50 amBaru ikutan neh…
setuju ama De…”Ikhtiar”
saya orang yg kalo dokter bilang “Imunisasi ini….!!” Ok deh…
Gimana dong….
Devi
May 30, 2007 at 11:16 amDear Mbak Lita
Bravo buat sharing ilmunya, memang di kalangan masyarakat masih beredar info-info yang menyesatkan termasuk saya sendiri yang pernah mendengar secara langsung. Tapi dengan adanya komentar dari Mbak Lita semua terjawab sudah. Yang saya sayangkan mbak, mengapa info ini hanya bisa dibaca oleh kami yang buka situs alias di dunia maya. Bagaimana dengan ibu-ibu yang di dunia nyata ya. pastinya mulai sekarang saya akan bagi ilmu saya kepada mereka yang gapkes (istilah baru yang saya dapat dari sini).
Sekali lagi makasih banget mbak atas infonya, terus gali ilmu mbak dan jangan lupa sharingkan ke kami.
Salam
Devi
reny
May 30, 2007 at 11:28 amDear Mba Lita,
Salam kenal…Saya Reny Ibunya Iqbal (4 taon bulan Juni ini)….Emang setelah ikut milis sehat, saya baru melek…n parahnya soal imunisasi ini gak sempet saya terapkan sama anak saya. Saya cuma ikutin imunisasinya yang wajib2 aja.
Mo minta saran nih, apa yang harus saya lakuin yah buat ngejer ketinggalan imunisasinya Iqbal?? Apalagi buat imunisasi HiB and MMR (rasa2nya saya juga udah lupa tuh, anakku diimunisasi terakhir apa, tapi seingatku yg wajib2 mpe 3 or 4 yach??) Waktu saya tanya DSA-nya dia bilang minta records imunisasinya (hiks, itu dia, buku-nya ilang abis renov rumah). Gimana yach?? Would you help me Mba??
haidar ashif
May 30, 2007 at 1:29 pmdear mba lita.
ikutan sharing aja….anak saya haidar (2 th) selalu memenuhi jadual imunisasi yg diberikan dokter. bahkan menurut dokternya imunisasi yg diberikan sdh lebih dari cukup. sampe IPD yg katanya harus 2 kali jika anak blm 2 th pun saya ikuti meskipun harganya mahal. bagi kami orangtua yang penting adalah berusaha sebaiknya, adapun yg terjadi nantinya wallahu alam. sekarang haidar sedang kena cacar air walaupun dulu pernah diimunisasi ini. mungkin berkah dari imunisasi cacar yg diderita tidak parah hanya di bagian kening dan lengan kiri dan itupun saya hanya pake bedak agar cacarnya tidak pecah kemana-mana.
Ade
May 30, 2007 at 4:04 pmSalam kenal Bu Lita, saya sangat senang dengan isi blog ibu, berbobot dan memperluas wawasan.
Saya mo tanya ke Mariskova,waktu melakukan tes lab dan diketahui anaknya sensitif pada bahan2 vaksin, tes lab apa yang dilakukan dan bagaimana menerjemahkan hasil lab itu sehingga dapat diketahui sensitivitas anak pada satu jenis bahan vaksin/lebih. Pengalaman pada anak saya, ketika diimunisasi campak saat usai 9 bulan, badannya panas tinggi hingga diopname di RS. Trims untuk infonya lho…
Ketty
May 31, 2007 at 11:56 amSalam hangat.
Menambahkan saja, keberhasilan imunisasi juga tidak terlepas dari penanganan dan penyimpanan (handling) dari vaksin, mulai saat keluar dari Pabrik sampai diberikan ke pasien (melibatkan banyak pihak , dari distributor, apotik, dokter, suster, bidan). Sepengetahuan saya, vaksin harus dipertahankan dalam suhu dingin (refrigerated). Penyimpanan vaksin dalam suhu terlalu tinggi antara lain dapat mengakibatkan vaksin menjadi tidak efektif (karena bakterinya mati).
Agus Mardhika
June 11, 2007 at 11:53 amSalam kenal..
Saya baru saya mencari informasi tentang imunisasi IPD, dan ga sengaja nyangkut di banana talk ini, informasinya sangat bagus sekali dan memang banyak dibutuhkan oleh banyak orang terutama saya yang masih harus banyak mencari informasi tentang imunisasi, setelah membaca dan mencari informasi dari berbagai sumber saya yakin imunisasi itu MEMANG SANGAT DIPERLUKAN oleh anak-anak kita, walaupun saya cukup dikagetkan dengan biayanya yang kemarin tgl 9 juni 2007 anak saya imunisasi pcv + ipd 1 mencapai 1 juta rupiah. sempat kecut juga hati ini mendengar biaya yang begitu besar, apalagi dibandingkan dengan penghasilan saya jelas tidak berimbang, tetapi alhamdulillah imunisasi tetap jalan.. dari situlah saya mencari informasi-informasi mengenai imunisasi untuk anak, ini membuka wawasan berfikir dan pengetahuan saya akan pentingnya imunisasi. Yang membuat saya kecewa sebenarnya adalah pelayanan dari sang dokter anak itu sendiri, karena begitu kita buka pintu terjadi dialog sebagai berikut :
Dokter : Selamat pagi/siang/sore, silahkan duduk bayinya ditimbang dulu
Kami : siang dok.. iya
Dokter : Berat 5.7kg baguss ini… sekarang suntuk pcv+ipd yah..
kami : Tanpa sempat bertanya, kami mengikuti saja perintah dokter, karena dokter sedang asik dengan mempersiapkan alat suntiknya
Dokter : tahannya…. nyusssssss jarum suntik bersarang di paha anak kami..
Dokter : okeee… kondisinya bagus yah.. bulan depan tgl xxx kita ketemu lagi untuk imunisasi bla.bla.bla.bla.
kami : tanpa sempat bertanya a i u.. pasein selanjutnya sudah dipersilahkan masuk..
tentu saja kami sangat kecewa, apalagi dokter tidak memberitahukan efek sampingnya dari suntikan tersebut. dan ternyata benar.. malamnya anak kami panas, istri saya tidak bisa tidur melihat kondisi anak yang panas..
alangkah indahnya klo dokter itu memberikan waktu minimal 15 atau 10 menit saya untuk seorang pasien bertanya-tanya tentang kondisi si pasien dan membeikan apa yang terbaik untuk pasien..
bukannya bermaksud untuk menjelekan tetapi inilah yang sering terjadi, dan kita sebagai orang tua harus tanya terus sampai mendapatkan jawaban yang memuaskan dari dokter bila tidak… mmmmmmmmmmm bersiap-siaplah binggung.. tetapi alhamdulillah sampai hari ini anak kami baik-baik saya..
tita
June 19, 2007 at 9:00 am“Menurut seorang rekan yang pernah membaca Literatur terbitan Prancis, justru Imunisasi sudah tidak populer di Amerika Serikat, dan terus berusaha dihilangkan dan tidak dipergunakan lagi, bahkan di Israel Imunisasi telah di STOP samasekali, padahal kita tahu negara-negara itu merupakan pelopor “industri”, imunisasi.” -> jadi inget temen sy yg ingin melanjutkan sekola (S2) ke amerika, diminta daftar imunisasi yg pernah dia dapatkan. Jika tidak ada dia diminta melakukan ulang imunisasinya. hehehe kebayang kan udah gede tua disuru imunisasi lagi supaya visanya bisa keluar 🙂
Andy Santosa
July 25, 2007 at 10:59 amTerus terang saya bukan orang anti dan pendukung vaksin, tapi anak saya tetap saya vaksin, tapi saya terus mencari-cari apakah vaksin itu berguna atau malah berbahaya.
Saya ketemu satu artikel mungkin bisa untuk membuka wawasan (atau malah bikin bingung ?)
http://www.nexusmagazine.com/articles/VaccineResearcher.html
maia
August 7, 2007 at 4:51 pmanak saya sempat saya vaksin tp tidak lengkap, tp sampai sekarang alhamdulillah baek2 saja, berat badan normal dan jarang sakit. tapi sepupunya dua-duanya vaksin lengkap tetapi mengapa malah sering sakit-sakitan dan berat badan kurang…..ada apa dengan vaksin?????? daripada memberi anak kita yang tercinta dengan cairan yang kita sendiri ga tau bobot, bibit n bebetnya….. lebih baik kita memberikan asupan gizi, susu, dan vitamin yang cukup serta berikan saja madu murni…bukankan di dalam Al-Quran telah dicantumkan bahwa madu merupakan obat segala obat….dibanding vaksin yang kehalalannya masih dipertanyakan. Kita sebagai orang tua,harus lebh teliti dan waspada …………silakan lihat di http://www.freelists.org/archives/ak93-feua/12-2003/msg00005.html
Lita
August 8, 2007 at 12:03 amDear pak Andy dan bu Maia, isu negatif seputar vaksin tampaknya akan selalu ada.
Yang jadi pegangan adalah: mereka yang mengklaim sesuatu harus dapat membuktikan kebenaran klaimnya, secara sah menurut metodologi ilmiah.
Terhadap artikel-artikel tersebut, saya ‘bertanya’, mana buktinya? Jika metodenya valid, hasilnya sah, dan mendukung klaim, mari kita bahas kembali.
Sejauh ini, bantahan resmi dari badan maupun pemerintah telah dilengkapi oleh counter-research alias hasil penelitian yang memberi hasil BERKEBALIKAN dengan klaim bahwa vaksin tidak berguna, tidak efisien, berbahaya, menyebabkan autis, menimbulkan gangguan ketahanan tubuh, dan sebagainya.
Teori konspirasi yang diangkat dalam bayang-bayang anti-vaksin mulai pupus dengan adanya politik uang yang terkuak dari investigasi terbaru.
Saya ulangi untuk bu Maia: kita sebagai orangtua harus lebih teliti dan waspada, bahwa vaksin ini tidak hanya seputar teori konspirasi atau uang, tapi juga politik dan.. ya, uang lagi, dari pihak yang anti-vaksinasi. Sila anda search kembali arsip di blog ini tentang vaksin dan imunisasi.
Khusus untuk bu Maia.
Bu, anak kecil yang bolak-balik selesma (common cold) -saya anggap penyakit ini yang anda maksud dalam ‘sakit-sakitan’ karena anda tidak memberikan keterangan jelas- adalah WAJAR dan tidak ada hubungannya dengan vaksin. Kok? Karena vaksin bertugas secara spesifik untuk melindungi (mengurangi fatalitas) dan mencegah si penerima vaksin dari antigen yang TERKANDUNG DALAM VAKSIN.
Jadi kalau anak yang diberi vaksin DPT, polio, hepatitis B, HIB, tifus, MMR, BCG, dan varicella bolak-balik menderita selesma ya tidak apa-apa, karena vaksin yang mereka terima tidak bertugas untuk mencegah selesma. Bolak-balik sakitnya tidak membuktikan inefisiensi vaksin.
Anak mulai menjelajah dunia yang lebih luas daripada yang dapat dilindungi dan dikendalikan oleh ibu, anak berkenalan dan bermain bersama teman-temannya (kita tidak dapat bersabda bahwa teman si anak tidak boleh sakit!), anak mencoba-coba (apapun itu, termasuk berusaha menjilat ban sepedanya kala pengawas meleng), anak akan meniru sejorok apapun yang dilakukan oleh yang ditiru.
Begitu banyak antigen yang menyergap bersamaan dalam satu waktu, tiba-tiba, sejak saat anak mulai belajar berjalan. Di saat yang sama, kekebalan tubuh anak sedang belajar, salah satu cara pembelajarannya adalah dengan diberi vaksin.
Dengan vaksin mereka tidak perlu langsung dihadapkan pada ‘the real deal’ guna mencetus reaksi kekebalan. Namun dengan reaksi terhadap vaksin, anak diharapkan siap jika suatu saat nanti -semoga tidak- terpaksa berhadapan dengan paparan penyakit yang sebenarnya.
Berat badan kurang baiknya dikonsultasikan ke dokter spesialis anak atau dokter ahli tumbuh kembang untuk mendeteksi apakah ada yang salah. Dan saya amat sangat yakin itu bukan karena vaksinnya. Sebab reaksi alergi terhadap vaksin tidaklah demikian.
Mohon lihat kembali komentar mbak Mariskova yang telah berbagi pengalaman tentang anaknya yang memiliki alergi terhadap bahan aditif vaksin. Apakah beliau lalu berpendapat bahwa vaksin berbahaya? TIDAK 🙂
Anda sendiri sharing bahwa anak anda divaksinasi (walau tidak lengkap) tapi tidak apa-apa. Kalau vaksin memang ada hubungannya dengan ketahanan tubuh anak yang semakin lemah, seharusnya anak mbak juga tidak sehat-sehat saja tapi juga sakit dengan kekerapan yang lebih rendah.
Untungnya hubungan tersebut tidak kausatif (sebab-akibat), jika tidak boleh saya katakan tidak ada.
Kelengkapan vaksin hubungannya hanya sejauh paparan terhadap penyakit yang dapat dicegah vaksin. Lain tidak.
Lalu bahan aditif vaksin berbahaya? Patut diwaspadai, bagi mereka yang memiliki alergi terhadapnya. Mereka yang tidak memiliki alergi terhadap bahan aditif tersebut tidak perlu khawatir berlebihan. Tahu alergi dari mana? Dari mengamati gejalanya, atau dari hasil tes alergi, jika sebelumnya pernah dilakukan.
Mengenai kekebalan tubuh yang ditunjang oleh gizi, itu adalah bentuk imunitas non-spesifik, alias reaksi kekebalan tubuh yang tidak ditujukan kepada penyebab/perangsang (antigen) tertentu. Sedangkan pemberian vaksin adalah dalam rangka membangun imunitas spesifik, yaitu reaksi kekebalan tubuh yang ditujukan bagi penyebab tertentu: jenis penyakit yang disebutkan sebagai nama vaksin (bukan merek vaksin), misalnya Diphtheria, Pertussis, Tetanus-toxoid, Measles, Mumps, Rubella, dan lain-lain.
Keduanya adalah bahasan imunitas, dalam rangka yang berbeda. Saling melengkapi, bukan saling meniadakan. Tidak berarti dengan divaksinasi maka akan sehat selalu. Kalau divaksin gondong tapi yang mampir adalah hepatitis (dan belum mendapat vaksinnya) ya ‘gak ngaruh’.
Kenapa dengan madu? Saya tidak anti terhadap madu, hanya saja konsumsi madu ada anjurannya: JANGAN untuk anak di bawah usia satu tahun. Sila search blog ini kembali dengan kata kunci madu karena saya telah menjelaskan mengapa-nya di artikel lain.
Cairan yang tidak diketahui bobot, bibit dan bebetnya itu kan menurut ibu pribadi. Bisa dicari di WHO atau CDC kok bagaimana efektivitas vaksin serta bagaimana vaksin diperoleh dan diduplikasi. Menurut saya cukup jelas, dus saya berpendapat sebaliknya: vaksin yang direkomendasikan telah jelas dan teruji bobot, bibit, dan bebetnya serta informasinya dapat diperoleh gratis, mudah, dan lebih jelas daripada klaim-klaim negatif yang sekarang telah terbantah.
Lagipula, dari mana ibu tahu bobot, bibit, dan bebet susu, vitamin, dan madu yang dimaksud? Saya harap tak akan jauh beda dengan bagaimana saya meyakini bobot, bibit, dan bebet vaksin.
Ngomong-ngomong, gizi yang cukup sudah melingkupi segala bahasan, tidak perlu menambahkan vitamin (dalam rupa suplemen) sebagai sesuatu yang spesial di luar asupan makanan sehari-hari. Vitamin sudah ada dalam makanan yang kandungan gizinya lengkap berimbang. Bukankah ibu mendukung yang natural? 🙂
ira
August 20, 2007 at 7:01 pmjeng… aku baru tau, ternyata temen kantorku tidak mengimunisasi anaknya sama sekali. tadinya aku pikir cuma orang yang gak well educated aja yang mikir buat gak imunisasi anaknya. ternyata temenku sendiri, lulusan UI pula… kompak sama suaminya buat nggak imunisasi anaknya. Dengan alasan, gak ada jaminan imunisasi itu membebaskan penyakit. Malah ada juga alasan politis dan ideologis. Aduuuh… kalo emang itu bener, seingetku di PKS kan banyak dokter-dokter ahli ya… tapi ustadz2… anaknya tetep imunisasi.
kaget dot kom
Lita
August 21, 2007 at 1:51 am*nyengir*
Ya gitu, mbak. Mana ada jaminan.
Garansi dari pembuat telepon genggam saja tidak pernah 100% dan ada syarat serta ketentuan segambreng yang harus terpenuhi sebelum bisa klaim garansi. Apalagi untuk mahluk hidup.
Gak ada jaminan lalu milih untuk ngga imunisasi sama sekali itu… pilihan yang aneh.
Daripada ngga 100% mending ngga sama sekali?
Ada juga mending kurang lengkap atau terlambat daripada ngga samasekali.
Sori kalau ada yang tersinggung. Logikanya gak masuk di akal.
Mbak bisa lihat di sini: http://akhmadmurtajib.com/2007/08/16/imunisasi-bayi-itu-penting-benarkah/ untuk gambaran ‘pergulatan’ yang dialami orangtua 🙂
Titip salam untuk temen mbak. Suruh ikut PESAT aja 😀
vera
August 22, 2007 at 12:54 amhai, mbak…
thanks banget buat ulasannya. anakku 7 bulan dan masih dalam proses imunisasi. next visit jadwal anakku imunisasi IPD. sebenernya aku pendukung imunisasi karna menurutku vaksin yang beredar pasti sudah melalui riset yang gak sedikit kan?? tapi banyak yg bilang anak jangan di suntik macem2, imunisasi yang wajib aja. ada juga temen yang cerita anak temennya di imunisasi lengkap malah jadi bego. trus ada juga yg bilang anaknya jadi autis karna kebanyakan imunisasi. ampyuunnn… akhirnya jadi parno deh. maklum termasuk kelompok gapkes hehehe… untung beribu untung ketemu blog mbak ini. jadi tambah melek deh mataku.
hidup imunisasi!
Andy Santosa
August 24, 2007 at 7:56 amDear Ibu Lita,
Saya sangat yakin bu, jika memang ada seseorang dokter atau scientist yg bisa membuktikan bahwa vaksin itu berbahaya dia tidak akan berani untuk berbicara atau menulisnya di suatu majalah kedokteran atau ilmiah, karena apa ? yang pasti karena takut. Saat ini vaksinasi sudah seperti suatu “ideologi” yang sangat sukar di bilang “salah”. Bahkan sekarang pun saya juga tidak percaya dengan yg disebut “FDA Approved”, sebagai contoh aspartam, aspartam saat ini kontroversial, karena sudah di approve oleh FDA tapi ternyata penelitian terakhir membuktikan bahwa aspartam itu menyebabkan kanker otak pada tikus. Coba ada suatu badan yg melakukan penelitian spt itu untuk vaksin.
Saya yakin bu, interview diatas tidak bohong walaupun memang bukan dipublish di majalah medis (yah karena tidak mungkin dong dipublish disuatu majalah kedokteran, bisa2 majalah itu langsung di bredel), jika saya memang ada uang saya ingin sekali dipertemukan dengan dokter tsb.
Lita
August 24, 2007 at 8:18 amDear pak Andy, maaf jika saya katakan anda SALAH.
Selama ini ada kok penarikan terhadap vaksin.
Review dilakukan oleh dokter bersama tenaga medis lapangan lainnya, dan dimuat di publikasi resmi ilmiah pemerintah.
Karena takut? Bukan, kan? 🙂
Bapak bisa lihat ini di FDA atau CDC. Laporannya terbuka.
Amerika Serikat juga memiliki badan khusus yang menerima dan merekam laporan seputar reaksi penyerta vaksin: lokal, sistemik, alergi, efek samping, dan lain-lain.
Vaksin tidak bebas dari kontroversi. Vaksin yang sudah direkomendasikan pun tidak harus semuanya diberikan, tergantung kondisi masing-masing daerah.
Sejarah vaksin tidak suci seperti kisah nabi.
Mengenai bahan yang terbukti karsinogenik. Adanya pembuktian bahwa suatu senyawa menyebabkan kanker pada hewan TIDAK semata-mata membuatnya SAMA berbahaya pada manusia. HARUS ada pembuktiannya pada manusia. Kenapa? Karena tiap spesies memiliki DNA yang unik yang memungkinkannya memberi reaksi yang berbeda terhadap terapi yang sama. Sama halnya dengan pengujian obat.
Ada yang bersedia untuk jadi bahan percobaan?
Ada, coba di-search, dari jaman dahulu ada kok orang-orang yang mendaftar sukarela menjadi subyek percobaan.
Tidak percaya? Silakan.
Mengenai kepercayaan. Monggo sila pilih menurut yang dipercaya.
Komentar saya hanya:
When you start digging, you MIGHT be scared of what you find.
When you dig ENOUGH, you’ll be aware and sane, capable of seeing things MORE objectively.
There’s no such thing as SACRED.
Sisi negatif yang diungkap saat ini tetap tidak dapat menghapus sejarah bahwa jutaan orang telah terselamatkan dari fatalitas penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin.
Saya rasa komentar saya sebelumnya tidak berlawanan dengan yang sekarang, juga tidak menihilkan pendapat bapak sekarang ini.
Ilmiah tetap ilmiah, sains tetap sains, di manapun dia direkam/ditulis.
Jika skeptis terhadap satu pihak, adil jika skeptis pula terhadap pihak seberangnya. Yang dibutuhkan hanya satu: BUKTI.
Muscaria
August 28, 2007 at 2:01 pmSalam Kenal yahhh buat mba Lita
Setuju…..hidup imunisassi..(narsis dikit), bagaimanapun kita harus tetep galakan kan yang namanya munisasi, karena yang saya ketahui imunisasi itu sangat penting dan berguna bagi kita semua, kalo mo sehat yah imunisasi
mohon maaf kalo postingan saya ngawur karena saya org biasa yang menjunjung tinggi nilai2 kesehatan
terima kasih, wasalam
mustiadi
October 21, 2007 at 10:49 amsalam kenal buat mbak lita!
menggalakkan imunisasi memang dirasa penting di era sekarang ini mengingat banayak faktor dan oknum yang berlawanan arah.selintas saya pernah mendengar rumours tentang bahan dasar pembuatan vaksin khususnya BCG dikatakan berasal dari sel kanker serta Campak yang katanya berasal dari usus babi, apa benar demikian? mengingat mayoritas masyakat kita adalah muslim saya kira perlu informasi seperti ini diketahui(kebetulan saya adalah seorang tenaga kesehatan).terima kasih!
Rizka
October 24, 2007 at 5:44 pmApakah Imunisasi ada kaitannya dengan kejadian gizi buruk?? karena kalu dilihat dari penyebab terjadinya Gizi buruk, antara lain karena asupan makanan yg kurang dan juga penyakit infeksi.
Mohon segera dijawab.
Terima Kaisih
maruf
November 4, 2007 at 10:12 ambak lita metkenal.ma aku..!
masalah imunisasi menurutku harus diganti dengan imunisasi yang alami halal dan toyib,bukan yang tejadi sekarang yang mana bahan yang digunakan,tidak halal.yaitu dari otak kera,tulang babi,yang mana hal itu dfiharomkan oleh agama.maka madu dan abah saudak lah pengganti yang aman.
Lita
November 4, 2007 at 1:35 pm@ Maruf
Betul, sebaiknya usahakan yang halal untuk menggantikan yang haram. Tapi madu dan… (apa itu? habbatus sauda maksudya?) yang jadi pengganti?
Maaf, vaksinasi ya vaksinasi. Kalau cara kerjanya berbeda, bukan pengganti namanya. Dan yang anda sebutkan itu bukan pengganti vaksin.
Lainnya. Tidak semua vaksin haram. Yang diisukan haram pun ternyata ada ‘versi’ halalnya yang dibuat di Indonesia. Anda bisa tanyakan sendiri. Kalau masih tidak percaya, terserah anda 🙂 Kalau begitu, tidak ada kekhawatiran soal halal-haram dan terhalangnya vaksinasi, bukan?
PRIYO
November 8, 2007 at 9:38 pmSetuju banget dengan imunisasi …….
umina
December 19, 2007 at 9:18 amseneng bgt baca blog mommy yg ini..blh dilink ya
umina
December 21, 2007 at 11:39 ambahasan mbak lita ini dibahas di majalah hidayatullah edisi bulan kmrn lho…jadi kl ada yg mau tau ‘dalil2’ jelasnya coba deh di cari majalahnya..atau http://www.hidayatullah.com..*umina termasuk yg kontra imunisasi ..* soalnya sisulung malah sering sakit…bahkan pernah kejang demam.
..bukan hanya imunisasi, mba lit bahas juga dunk soal service dokter..anak perempuanku waktu umur 5 bln nafasnya bunyi *grok..grok..* kaya pilek..aku bawa ke dokter anak bahkan udah prof.dr disuruh nebulizer (sedot)lendir seminggu berturut2..setelah seminggu ngga hilang juga suruh rawat jalan lagi.bukannya sembuh malah cantikku jadi sensitif dikit2 pilek….aku tanya ibuku *telat nanya nya* katanya wajar aja bayi kaya gitu dan kenapa bidan2 jaman dulu ga pakai sedot2 segala soalnya bisa bikin iritasi..duhh padahal biaya yg dikeluarin ngga sedikit blm bayar fee profnya,obatnya,dll…hasilnya ?…nothing,akhirnya saat masih dlm rawat jalan gitu aku stop aja….taunya sembuh…
Lita
December 21, 2007 at 11:52 amCMIIW. Yang dibahas Hidayatullah adalah soal kehalalan vaksin, bukan efektivitas. Bahasan itu di posting ini menjadi tidak valid karena tidak ‘apple to apple’ 🙂
Lainnya, soal sering sakit, dll sudah saya bahas -dan teman lain ikut share- ya di sini. Untunglah anak mbak bukan yang termasuk risiko tinggi. Semoga 🙂
Kejang demam diakibatkan oleh demam. Penyebab demamnya apapun, tetap bisa bikin kejang demam kalau memang sudah ada riwayat itu sebelumnya dan melampaui ambang toleransi si anak (yang biasanya rendah).
Ada anak yang kejang demam di suhu tubuh 38 C, ada juga yang tidak apa-apa walau sudah demam sampai 40 C. Tidak semua anak demam ketika divaksinasi. Dan tidak semua vaksin memicu demam. Kalau begini, tidak tepat jika dikatakan vaksinasi memicu kejang demam.
Nebulizer BUKAN prosedur menyedot lendir, tapi memberi cairan tertentu/obat yang diuapkan untuk diberikan lewat jalan nafas. Si penerima terapi ‘menerima’ obat dengan cara menghirupnya.
Kalau metode mengeluarkan lendir lainnya yang bisa bikin iritasi adalah gurah. Dan ini metodenya beda dengan nebulizing.
Saya duga anak mbak pilek aja 🙂 Bunyinya karena dia tidak bisa mengeluarkan sendiri lendir di kerongkongannya. Lama-lama hilang sendiri.
Soal layanan dokter, ngga saya bahas di sini. Ngga sesuai topik 🙂
Fenty
April 23, 2008 at 4:10 amSaya ingin menambahkan beberapa hal yg mungkin bisa berguna untuk mengurangi efek samping vaksin:
– ASI, kalau anak masih menyusui, berikan ASI sebelum dan sesudah vaksinasi (ASI sangat bagus untuk menguatkan immune system)
– Kalau anak tidak divaksinasi, mungkin bisa diberikan suplemen vit A (bisa dalam bentuk cod liver oil) diberikan pada hari vaksinasi (jangan melebihi dosis yg telah ditentukan, dan vit c pada hari vaksinasi dan hari sesudah vaksinasi.
– Sesudah vaksinasi pertusis (DPT) biasanya anak mengalami hypoglglycemia (turunnya gula darah), bisa berikan ASI atau jus buah untuk menjaga level gula darah.
Menurut saya, vaksinasi adalah ‘personal choice’. Anak saya yg pertama sudah divaksinasi tapi sesudah melanjutkan riset, saya memutuskan tidak memvaksinasi anak saya yg kedua dengan basis:
– Banyak vaksin yg dibuat di tubuh hewan. Genetics studies show that if you inject a foreign animal tissue into a host, that the animal RNA can embed itself into the hosts DNA and stay dormant for a few or many years. Stress atau factor2 lain dalam kehidupan nantinya dapat memicu RNA hewan tersebut yg kemudian membingungkan immune system penerima (immune system perlu melawan RNA tersebut dan berusaha untuk menghancurkannya tapi RNA itu adalah DNA itu sendiri) dan bisa menghasilkan auto-immune disease.
– Komposisi dari vaksin itu sendiri penuh dengan racun, please see http://www.wnho.net/vaccine_ingredients.htm
Kenapa kita menjaga kebersihan anak kita, tapi kita mau memasukkan racun2 ke dalam darah anak kita sendiri.
– Terlalu banyak uncertainties dalam jangka waktu panjang. Banyak penyakit yg semestinya ‘childhood disease’ menjadi ‘adult disease’ (hanya memundurkan waktunya mendapatkan penyakit) karena vaksinasi tidak menjamin immunity selama, lain dengan kalau kita berhadapan langsung dengan ‘wild virus/bacteria’
Mungkin bisa melihat link ini: http://articles.mercola.com/sites/articles/archive/2008/04/22/head-of-cdc-admits-on-cnn-that-vaccines-can-trigger-autism.aspx
Saya hanya ingin berbagi pandangan saya dan tidak bermaksud ajakan 🙂
Lita
April 23, 2008 at 8:10 amSaya pikir ‘menunda’ sudah cukup, karena memang ketahanan tubuh kita saat bayi jauh lebih lemah daripada saat dewasa. Menurunkan risiko memang bukan memastikan tidak akan kena. Tapi ‘menunda’ yang anda maksud juga bukan memastikan nantinya akan kena 🙂
Vaksin untuk dewasa juga ada, walaupun lebih sedikit karena kebanyakan penyakit yang rentan diderita anak-anak tidak menjadi rentan bagi orang dewasa (risiko fatalitas dan severity-nya jauh berkurang).
Sebaliknya. Ada juga vaksin yang hanya ada untuk orang dewasa tapi tidak ada untuk anak-anak karena anak masih memiliki imunitas bawaan dari ibu.
Betul, banyak vaksin yang dibuat di animal host. Tapi ini tidaklah sama dengan memasukkan animal TISSUE ke dalam tubuh manusia. ‘Bisa’ ini lagi-lagi juga tidak memastikan.
Betul, vaksin MEMANG racun. Racun dalam jumlah kecil yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia untuk merangsang kerja sistem kekebalan tubuh. MEMANG begitu daya kerja vaksin 🙂
Reaksi kekebalan tubuh inilah yang kita perlukan, agar ketika racun SEBENARNYA masuk (dalam keadaan hidup, full force, tidak direncanakan, dan jumlahnya tidak terkendali) tubuh mengenali bentuknya dan sudah punya memori akan reaksi terhadapnya (dan tidak ‘buang waktu’ dan risiko dengan ‘build from scratch’).
Monggo sila simak bagaimana cara vaksin bekerja. Seingat saya, saya juga sudah pernah mengulasnya 🙂
Tentang ingredients lainnya. Ini juga terdapat di sekitar kita.
IMHO jangan langsung ‘tersedak’ dengan kehadiran (presence) karena JUMLAH juga penting. Apakah jika ada merkuri dan timbal di kehidupan kita maka itu PASTI berbahaya? Tidak. Tergantung jumlahnya.
Ini yang membedakan antara kita dalam keadaan sakit dan sehat. Kita sehat tidak berarti tidak ada toksin atau infeksi. Kita tetap sehat karena kita mampu menanggulangi. Ada ambang batas toleransi tubuh. Dan ini yang tidak dikatakan oleh link tersebut.
Jumlah penderita polio dan penyakit menular lainnya yang menurun dan tidak terjadinya lonjakan kenaikan penyakit auto-immune di saat yang sama meyakinkan saya bahwa penyakit auto-immune tidak hanya disebabkan oleh satu faktor. Bagaimana tahunya bahwa itu adalah karena vaksin dan bukan oleh genetik? Jikapun oleh vaksin, berapa persen kejadiannya dan berapa persen risikonya?
All in all, I have personal opinion AGAINST Mercola so I would let his opinion alone 🙂
http://www.quackwatch.org/search/webglimpse.cgi?ID=1&query=mercola
sulo
June 15, 2008 at 9:57 pm– Banyak vaksin yg dibuat di tubuh hewan. Genetics studies -show that if you inject a foreign animal tissue into a -host, that the animal RNA can embed itself into the hosts -DNA and stay dormant for a few or many years. Stress atau -factor2 lain dalam kehidupan nantinya dapat memicu RNA -hewan tersebut yg kemudian membingungkan immune system -penerima (immune system perlu melawan RNA tersebut dan -berusaha untuk menghancurkannya tapi RNA itu adalah DNA -itu sendiri) dan bisa menghasilkan auto-immune disease.
Dari pemikiran tulisan di atas:
Sory oot, kalau anda baca antisusu.blogspot.com,
Seharusnya pasti anda berfikir 2 kali memberikan susu pada anak atau anda sendiri…susu itu mengandung antibodi ibu sapi untuk anak sapi, sama seperti ASI.
Fenty
April 23, 2008 at 4:05 pmMakanya berpulang dari banyaknya ketidakpastian, hampir sama dengan pasti atau tidaknya anak kita mendapat komplikasi dari penyakit2 tsb. Penyakit2 anak memang sangat berbahaya utk anak2 dibawah 2 thn, dan vaksin tidaklah bekerja dengan sempurna untuk anak dibwh 2 thn karena IS dan otak anak dibawah sangatlah immature. ASI menunjangkan development of child’s IS karena dgn ASI, anak mendapatkan immunity pasif yg melindungi dari penyakit2 tsb. Message saya adalah memberikan ASI untuk anak 0-2thn adalah yg terbaik bagi seorang ibu untuk kesehatan anaknya.
Memang banyak ortu yg memilih untuk menunda, then again, pada usia 2 thn, IS anak sudah lebih berkembang dan bisa melawan penyakit2 tsb. Saya tidak ingin mengajak siapapun untuk anti-vaccine. Kalau kami tinggal di indo mungkin saya memvaksinasikan kedua anak kami tapi kami beruntung tinggal di negara dimana health system is very good and all is for free.
Saya suka membaca artikel2 ibu tapi kalau bisa ibu memberikan kedua sisi dari pro-kontra tanpa emosi dan pembaca dapat memilih sendiri karena pilihan mereka berasal dari ‘informed choice’.
Lita
April 23, 2008 at 7:55 pmDear Fenty, paragraf keduamu sebetulnya sudah cukup menjelaskan posisi 🙂
Ketika sistem kesehatan sangat baik, bisa diharapkan tingkat kesehatan penduduknya juga baik. Tingkat penularan penyakit lebih rendah dan tingkat kejadian infeksi rendah pula.
Seperti yang saya yakin Fenty juga tahu, vaksin telah banyak membantu di masa lalu. Ketika cacar api telah musnah dari muka bumi (walau galurnya tetap disimpan untuk keperluan penelitian) dan beberapa negara telah dinyatakan bebas polio, ini adalah pertanda baik bahwa vaksin telah melakukan tugasnya.
Negara-negara maju telah menghapus (atau tidak lagi mewajibkan) beberapa vaksin yang saat ini masih wajib diberikan di negara berkembang dengan alasan yang sederhana: di sana penyakitnya sudah tidak ada. Jika tidak ada yang harus dilawan, memang vaksin tidak diperlukan lagi.
Ini juga erat kaitannya dengan herd immunity, ketika anak yang tidak divaksin turut mendapatkan ‘perlindungan’ karena teman-temannya divaksin. Namun jika SEMUA orangtua berpikiran tidak akan memberi vaksin pada anaknya dengan alasan ‘toh temannya divaksinasi’, yang terjadi adalah tidak ada anak yang divaksinasi dan semua anak terbuka terhadap infeksi (yang dapat dicegah oleh vaksin). Karena itu, IMHO, ketika belum dinyatakan ‘punah’ atau bebas dari penyakit tertentu, vaksin sebaiknya tetap diberikan.
Urusan vaksin (dan hampir semua urusan kita sehari-hari lainnya) adalah pertimbangan antara risk and benefit. Ketika risk tinggi namun benefitnya lebih berat, maka akan rasional jika benefit tetap dipilih. Ketika di negara maju penduduknya sudah berada dalam posisi ‘benefit kurang, risiko ada’, maka di negara berkembang posisinya masih ‘benefit tinggi, risiko ada’.
Yang menjadi masalah, sebagian penduduk negara berkembang ‘lupa posisi’. Ketika sebagian vaksin tidak lagi diwajibkan dan wacana telah berkembang ke arah yang Fenty ajukan, di sini kondisinya ‘belum sampai’. Ketika banyak orang berpikir ‘vaksin tidak berguna dan cuma bikin sakit’ maka dampaknya adalah wabah. Dan sesudah wabah baru heboh. PIN.
Semoga dengan tingginya kesadaran vaksinasi, Indonesia lekas bebas polio (dan penyakit lainnya) sehingga semakin sedikit vaksinasi yang perlu dilakukan dan tingkat kesehatan semakin tinggi (dus dana penanggulangan penyakit bisa difokuskan pada pendidikan dan sarana transportasi, misalnya).
Terakhir, soal netralitas. Dear Fenty, di sinilah saya memosisikan diri dan blog saya sebagai ‘opinionated’. Banyak kali saya terang-terangan menyatakan keberpihakan dan sesekali saya menyembunyikannya. Tak harus selalu berpihak, dan tak harus selalu netral.
Saya menyadari keberbedaan blog dari pers/jurnalisme yang memiliki aturannya sendiri, yaitu menyuguhkan pro-kontra dalam bentuk berimbang agar pembaca yang menyimpulkan sendiri. Sedangkan blog ini memang saya (kami) buat untuk menyuarakan opini saya pribadi (as you can read in disclaimer).
It is the press’s conduct to inform, to give their readers both side of the story. And it is also the government’s obligation to educate and inform the citizen as well. And here, I am using my right as a citizen 🙂
I am so sorry if I disappoint you but we may not have the same expectation. Thank you for sharing your thoughts 🙂
Fenty
April 23, 2008 at 4:47 pmThanks for your advice about Dr Mercola 🙂 I only found his website last night. Most of my decision of vacs came about after reading various journal articles during my time in university. I’ve got a restless mind (spending too much time with kids) and need more stimulating reading but can’t access pubmeds until back to uni 🙁
refi
June 2, 2008 at 4:38 pmSebagai seorang muslim jangan sampai bayi ataupun tubuh kita makan atau diisi oleh barang yang HARAM.
Bahan – bahan yang terkandung dalam vaksin Halal atau Haram??
Mungkin bisa disebutkan kandungannya
Imunisasi dan Vaksinasi: bahaya atau berguna??? « Inspirasi Weblog
June 10, 2008 at 3:19 pm[…] http://litamariana.com/health/lita/ajakan-menolak-imunisasi/ […]
ibu nana
September 1, 2008 at 12:01 pmKalau bahan vaksinya banyak yang ga halal gimana tuh mba Lita? sementara efeknya kita ga tau, dibilang bisa sakit bisa engga, ga pasti sehat, sementara bahannya jelas-jelas ga halal, gimana tuh ya mba Lita?? Tks
Lita
September 1, 2008 at 5:17 pmIbu Nana, artikel saya tidak (dan tidak ada) yang membahas halal-haram, ya. Jadi jika ibu ingin jawaban yang jelas, monggo bertanya ke yang mumpuni ilmunya 🙂
Efeknya ngga tau, ya? Kalau ngga diberi vaksin, pasti tau efeknya juga ndak? Kayanya jawabannya sama 🙂 Sama-sama ngga pasti.
Bisa sakit bisa ngga. Persentase kan membantu, ya. Kalau dikatakan efektivitas 90%, statistik berkata kemungkinannya 90% terlindungi dan 1 dari 10 tidak efektif. Kalau tidak divaksin, tentu jatuhnya PASTI ke yang tidak efektif dong, ya 🙂 Jelas-jelas tidak ada perlindungan yang bisa diklaim dari sesuatu yang tidak diberikan.
Kalau bisa cari yang halal, ya cari yang halal saja. Ngga semua vaksin haram, kok. Yang sudah ada jalan keluarnya jangan dipersulit dengan mempertanyakan yang membingungkan, padahal jumlahnya jauh lebih sedikit 🙂
Ini membicarakan vaksin polio IPV kah? Yang direkomendasikan digunakan di Indonesia itu vaksin polio tetes (oral), kok. Itu halal. Kecuali akan diberikan pada orang (atau anak ibu) dengan kelainan imunitas, bagian ini tidak perlu dikhawatirkan.
Vaksin MMR juga ngga hanya satu.
Vaksin yang sudah dapat dibuat lokal dapat ditanyakan kehalalannya ke Biofarma di Bandung. Nomer teleponnya bisa didapat dengan mudah.
suci
September 5, 2008 at 11:05 amMom Lita salam kenal, TOP bgt postingannya… Hampir lengkap… Knp saya bilang hampir, krn ada satu permasalahan yg saya alami tp ga masuk di postingannya mba lita, yaitu mengenai vaksin combo. Dari bbrp informasi yg pernah saya baca vaksin combo (Hib + DPT) adalah vaksin yang diberikan dalam satu suntikan dan dalam satu vial (bener ga istilahnya, cmiiw). Tapi yg terjadi pada anak saya, vaksin combo itu adalah pemberian vaksin DPT (biasa –> panas) yang DICAMPUR dengan Hiberix. Apakah hal seperti ini cukup efektif atau malah akan menimbulkan dampak negatif thd daya tahan tubuh anak saya? Saat ini saya sdg browsing ttg masalah ini, tapi barangkali mba lita bs memberi penjelasan juga, saya sangat berterima kasih sekali.
Khurie
October 21, 2008 at 9:43 pmSalam kenal mba Lita. Salut deh dengan blognya, juga tentang uraian mengenai pro kontra imunisasi. Saya awam dengan imunisasi, dan memang belum canggih infonya tentang itu. Tapi , saya insya Allah yakin, memberi imunisasi adalah bentuk usaha saya melindungi Zhafi, pangeran kecilku. Dan dari banyak diskusi di atas, saya semakin terlecut untuk mempelajari labih banyak lagi ttg imunisasi, agar bisa lebih aware dengan efek-efek yang tidak diinginkan, walau katanya probabilitasnya kecil.
salam sehat…
Lita
October 22, 2008 at 7:26 amSalam sehat juga, mbak Khurie.
Semoga kita selalu dimudahkan untuk belajar, ya.
Boleh banget di-link. Maaf ya, sementara ini saya tidak punya blogroll 🙂
Terimakasih sudah berkunjung ya, mbak Khurie 🙂
Khurie
October 21, 2008 at 9:47 pmoya, mba saya link ya blognya….:)
DR. Ahmad Gazasky
November 3, 2008 at 10:02 amAssalamu’alaikum…
saya sedang bergelut dalam dunia perobatan Rasulullah…
yang saya tahu bahwa sesungguhnya Muhammad SAW, tidak pernah memberikan Vaksinasi buatan, tapi Rasulullah dan para Sahabatnya selalu memberikan Vaksinasi alami, merekalah generasi pilihan dengan selalu dapat bimbingan lansung dari Allah SWT, tidak ada keraguan padanya.
vaksinasi alami yang Rasul lakukan adalah memberikan kunyahan lembut kurma pada bayi yang baru lahir, dengan tak lupa mendo’akannya. madu dan susu Ibu adalah obat terbaik, imun terbaik yang diberikan Allah pada manusia.
“kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. ” ( AQ. Surah An-Nahl :69 )
Jika antum semua adalah muslim, yakinlah akan ayat ini. buat apa kita mempersulit diri dengan vaksin buatan manusia, cukuplah kita ambil vaksin buatan Allah SWT.
Ya Allah..Berilah petunjuk pada kami, agar kami tidak mengingkari ayat-ayat’-MU. amin
dari hamba Allah yang Dho’if
Wassalam…
DR. Ahmad Gazasky
tyas
November 11, 2008 at 1:42 pmLit, aku lagi buka-buka blogmu lagi nih dan nemu nulisan ini. Bagus banget. Thanks! (Anak-anak AS level juga belajar imunisasi, usul aja ke Meli buat baca tulisanmu ini hehehehe…)
Aku hanya ingin menambahkan, aku sepakat bahwa memang ada baiknya anak dicek apakah ia mengidap alergi terhadap sesuatu sebelum menjalani vaksinasi, apalagi jika diketahui bahwa vaksin tertentu sering menimbulkan reaksi pada sebagian orang. Namun ini bukan berarti imunisasi lantas sepenuhnya harus dijauhi.
Vaksinasi penting juga jika kita memikirkan keselamatan seluruh umat manusia: Bila kita menolak diimunisasi, kita membantu penyebaran penyakit tersebut ke anak-anak lain.
Kerja sama umat manusia dan imunisasi ekstensif berhasil memusnahkan salah satu penyakit paling mematikan di dunia ini: cacar api. Kini tak ada lagi anak-anak dan orang dewasa yang harus mati dan menderita akibat cacar api.
Dr Ahmad Gazasky, maaf, jika Anda betul dokter, oh atau Anda Doktor di bidang non-medis?, semestinya Anda tahu pengertian vaksin. Dan jika Anda punya bukti kuat yang mendukung pernyataan Anda itu, alangkah baiknya disertakan. Saya sendiri berpendapat kemajuan dalam pengobatan tidak boleh ditolak jika ternyata terbukti bisa menyelamatkan nyawa manusia dengan lebih baik.
Saya sendiri tidak yakin mengisap kurma lembut atau minum madu tok ampuh mengatasi penyakit seperti meningitis, kolera, ebola, misalnya.
Mari kita bahas dulu mengenai imunitas (kekebalan tubuh). Kita mengenal beberapa macam imunitas:
1. Kekebalan aktif
Diperoleh jika tubuh membentuk sendiri antibodi, yaitu sejenis protein untuk melawan suatu antigen (zat yang dikenali sebagai benda asing oleh tubuh dan harus dimusnahkan).
Ada kekebalan aktif alamiah, yang kita peroleh jika kita terpapar pada kuman/bibit penyakit, dan tubuh kita membangun kekebalan tubuh serta mengingat antigen tersebut. Lain kali setelah kita sembuh dan terinfeksi kuman itu lagi, tubuh kita dengan cepat ‘mengingat’ dan ‘memanggil’ respons kekebalan yang sama, sehingga kita tidak sampai jatuh sakit.
Vaksinasi adalah bentuk kekebalan aktif buatan, yaitu kita dengan sengaja memasukkan bibit penyakit yang sudah dilemahkan atau antigen kuman suatu penyakit, agar tubuh mengingatnya sebelum kita benar-benar terserang penyakit itu. Jadi jika penyakit tersebut berjangkit, tubuh sudah punya kekebalan tubuh.
Kekebalan tubuh spesifik untuk setiap agen penyakitnya. Jadi bisa saja kita kebal TB, tapi belum kebal hepatitis karena memang belum disuntik anti-hepatitis.
Jadi nggak ada yang namanya minum/makan satu macam ‘obat’ saja (madu misalnya) lantas kita kebal semua penyakit.
2. Kekebalan pasif, diperoleh jika antibodi diproduksi oleh individu lain.
Kekebalan pasif alamiah diperoleh dari ibu. ASI mengandung sebagian antibodi (tapi tidak semua) yang dihasilkan Ibu, sehingga selama masih menyusui anak akan kebal terhadap penyakit-penyakit yang dilawan oleh antibodi tersebut. Tapi jika anak sudah disapih/berhenti menyusu, jika tubuh anak belum bisa/belajar membuat antibodi itu sendiri, kekebalan ini pun hilang.
Kekebalan pasif buatan diperoleh dari darah hewan lain (misalnya kuda). Serum untuk melawan bisa ular banyak diproduksi dari darah kuda. Biasanya kekebalan pasif buatan diberikan jika suatu penyakit parah berjangkit di suatu daerah, dan tidak ada cukup waktu untuk menunggu kekebalan aktif (baik alamiah maupun aktif) bekerja, atau dalam kondisi darurat, misalnya Anda digigit ular berbisa.
Mengapa vaksin tidak bekerja? Ada beberapa sebab.
Mikroorganisme dan virus penyebab penyakit terus berubah. Vaksin yang tahun ini masih bekerja, tahun depan bisa saja sudah tak ampuh lagi. Contohnya virus flu yang cepat sekali mengalami perubahan, sehingga kekebalan tubuh kita kewalahan, tak dapat mengikuti perubahannya. Tak heran kita bisa berkali-kali kena flu dalam kehidupan kita.
Seperti juga kekebalan tubuh alamiah, kekebalan tubuh yang diperoleh vaksin perlu waktu beberapa lama sebelum bekerja. Sehingga jika sebelum/beberapa lama setelah memperoleh vaksin seseorang ternyata kena penyakit tersebut, tubuh belum punya kekebalan tubuh untuk melawan.
Kalau karena kelalaian kita anak menderita penyakit parah seperti polio akibat kita menolak imunisasi, tidakkah kita sudah menzalimi anak?
Lita
November 12, 2008 at 6:18 amVery big thanks, Tyas 🙂
DR Ahmad, memang pada zaman Rasulullah belum ada vaksin kan, ya? Biologi molekuler serta teknologi mikroskop dan rekayasa genetik juga belum seperti saat ini. Tentu dapat dimaklumi jika pada saat itu belum ada vaksin buatan yang dapat diberikan 🙂
Dan saya setuju sekali, ASI ibu adalah yang terbaik untuk imunitas bayi yang baru lahir.
allysa
December 15, 2008 at 3:45 pmkalo aku di imunisasi,aku hindari orang penyuntik imunisasi memakai tendangan karate/kungfu.aku bisa marah!!!!!!!!!!
ummu Mesia
December 17, 2008 at 11:06 pmsalaam..
nice article..
Salam kenal Mbak.
Sekedar share, anak pertama saya sekarang jalan 7 bulan.. Dan saya sama suami memutuskan tidak memvaksin sejak saya mengandungnya. Alasan terberat saya, saya belum menemukan rekomendasi halal yang valid akan vaksin-vaksin itu, selain juga bahan-bahan berbahaya yang terkandung di dalamnya, seperti timerosal.
Meski seorang dokter bilang, resiko jika terpapar penyakitnya, maka biasanya akan berlangsung lebih hebat.
MAka, untuk memperkuat imunitas anak dan ibunya, kami sekeluarga menjaga pola hidup terutama pola makan. Kami rajin berjemur matahari pagi, sangat meminimalisir food aditif sintetis, tidak jajan makanan diluar, konsumsi kurma tiap pagi, minum madu, habbatussauda, stop konsumsi ayam suntik, rutin berbekam pada tanggal yang dianjurkan, rajin makan sayur buah, tidak minum obat-obatan kimia sintetis, konsumsi herbal penguat imun kaya meniran, temulawak, dll. Tidak lupa zikir pagi petang, allohumma ‘aafini fi badani..
Memang tidak nyaman, palagi menghindari food aditif sintetis, ya pengawet, pewarna, emulsifier, penyedap, perisa, bwtul-betul susahnya masya alloh, tapi alhamdulillah terasa manfaatnya.
Jadi sangat terasa sekali bahwa kesehatan itu anugerah terbesar setelah iman dan islam, maka kami ingin menjaganya sebaik mungkin, dengan menjaga makanan dan pola hidup agar kesehatan ini berkah, jadi umur juga berkah.
Oya, boleh minta link info tentang vaksin yang sudah terekomendasi halal? Coz, kalo yang biofarma, penjelasan dalilnya aneh.. Disamakan hukumnya dengan air PAM yang diolah dari sungai. Ya..klo air sungai mah hukum asalnya memang halal.
Jazakumulloh khoiron..
ummu salamah
March 28, 2009 at 7:23 pmAlhamdulilah, senang membaca berita dari UMMU MESIA, inilah ibu cerdas yang mampu menyelamatkan generasi sesuai Rumusnya ALLAH…
Semoga ibu-ibu yang lain segera mengikuti apa yang telah di jalankan oleh UMMU MESIA.Oh..ya.. Apakah ibu sudah menjalankan Tahnik..buat anak ibu, yaitu mengunyah kurma, atau boleh dengan madu, sarikurma yang di kunyah oleh ibu, lalu di berikan sedikit (dicoelkan dari mulut ibu) ke pada anak ibu di langit-langit mulut bayi…
Inilah tata cara yang di ajarkan oleh RASULULLAH, untuk Imunisasi ALAMI.
Rumusnya kesehatan manusia, salah satunya ada di AL Quran Surah Al Baqarah ayat 168. “Wahai seluruh manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang ada di bumi….
AL Hadits:
Inaloha lamyaj’al syifaakum fima haroma ‘alaikum. Sesungguhnya Allah tidak menciptakan kesembuhan dari hal yang di haramkan atas kalian.
Inilah rumus kesehatan manusia dari ALLAH SWT, pencipta manusia, alam dan kehidupan.
Rumus ini berlaku bagi seluruh manusia baik muslim atau non muslim.
Jadi mensikapi pendapat tentang Vaksin HALAL, maka saya pikir, tidak cukup HALAL SAJA, HARUS HALALAN TOYIBAN.
Karena bila rumus ALLAH di kurangi TOYIBAN di ABAIKAN… maka itu menyalahi RUMUS KESEHATAN, ARTINYA APA?….akan ada kemungkinan masuknya ZAT YANG TIDAK TOYIB, misalnya TIMEROSAL,ini tidak HARAM, tapi ini TIDAK BAIK/TIDAK TOYIB. ada kemungknan celah bagi pengerusakan organ tubuh
Jadi menurut saya kalau pemerintah baik, sayang kepada rakyatnya… maka IMUNISASINYA dengan cara SUPLAI MAKANAN HALALAN TOYIBAN kepada RAKYAT, misalnya madu, kurma, habatusauda,Agar ibu-ibu hamil sehat..IBU menyusui sehat….Anaknya kuat disuplai makanan bergizi agar tentara alami dalam tubuhnya kuat, sehingga dapat melawan virus-virus, atau penyakit lain yang beterbangan di udara.
BUKANKAH ANAK-ANAK, atau manusia YANG SEHAT BISA LANGSUNG MINUM, MADU..HABATUSAUDA, ATAU JUS BUAH..SAYURAN…
Jadi bukannya DISUNTIK DENGAN VAKSIN2 YANG DIBUAT DENGAN CARA HARAM LAGI BERACUN.Seperti yang sekarang ini.
Kalau memang mau BISNIS, boleh saja… tapi gunakan VAKSIN YANG HALALAN TOYIBAN… APAKAH ITU..? misalnya masukkan saja dalam suntikan itu madu, minyak HABATUSAUDA, atau AIR ZAM-ZAM, atau cairan Kunyit, temulawak… tentu dengan penelitian terlebih dahulu dari ahli farmasi…bagaimana formula yang terbaik. JADI BISNISPUN BERKAH..TIDAK MERUSAK MANUSIA…
Tapi sebaiknya hal tentang IMUNISASI HALALAN TOYIBAN pun tidak boleh di paksa.. tapi sebagai pilihan bagi yang mau saja..
Seperti yg tadi saya katakan… Bukankah bila manusia itu dalam kondisi sehat bisa langsung mengkonsumsinya.
Lain halnya bila yang sudah sakit…
Ya.. mudah-mudahan generasi sehat berkwalitas akan segera terlahir di Indonesia yang kita cintaiini. Jazakilah Khairn Katsirn
Lita
April 11, 2009 at 9:03 am@ UMMU SALAMAH (siapapun anda)
OK cukup sudah saya memberi toleransi pada anda.
Anda datang memberi pendapat. Baik, saya terima.
Lalu tiba-tiba anda mengomel-ngomel, bilang tulisan anda saya hapus. Saya bilang, teliti dulu baik-baik, anda sebelumnya menulis di artikel lain, jangan menuduh sembarangan.
Sekarang anda kembali lagi, dengan netiket yang tidak bisa saya katakan baik. Anda tidak perlu berteriak-teriak di sini.
Saya tidak membalas komentar anda semata karena apa yang perlu saya katakan sudah saya katakan. Jelas anda tidak mengerti bagaimana sistem tubuh bekerja. Jika ya, anda tidak akan mengusulkan menyuntikkan madu atau habbatussauda ke dalam peredaran darah. Dan anda juga tidak mengerti bagaimana sistem imunitas bekerja, jadi percuma saya berbincang dengan anda. Anda hanya ingin didengar, tidak ingin mendengar apalagi menyimak baik-baik.
SEMUA komentar anda yang diberikan menggunakan huruf kapital telah dihapus. Semoga ini jadi pelajaran bagi anda bagaimana seharusnya ‘bertamu’ di tempat orang.
arisaja
April 11, 2009 at 9:35 amNumpang baca ya Lit… 😀
rsauqi
April 11, 2009 at 9:55 amNyuntik madu , kurma, zam-zam, habatusauda ke aliran darah? Gu-Brak!!
Inilah generasi “arab” yg suka “gosip”, bukan generasi “Islam” yg suka “mikir”, hehe..
ummu salamah
April 13, 2009 at 6:30 amOh… Bu LITA… anda lupa ya menuliskan bahwa menyuntikan madu, sari kurma dan habatusauda pun harus dengan penelitian yang cukup oleh ahli di bidang FARMASI, yang tentu dengan penelitian khusus, berapa dosis yang tepat buat PASIEN…
Anda mengabil sebagian dan menghilangkan sebagian… kalo anda mau jujur.. sebenarnya ILMU PENGETAHUAN biarlah berkembang
Terus terang saja Sya pernah di Undang ke RSCM dan berbicara dengan Prof. dr. Samsu… ahli IMUNISASI…bersama 3 orang dokter dan 6 mahasiswa kedokteran UI. beliau menanggapi dengan bijaksana dan mengapresiet nya…
Saya pikir anda janganlah terlalu AROGAN … itu tidak baik.
yahya
April 13, 2009 at 12:55 pmummu salamah yang baik (semoga)
Seperti yang sudah-sudah, tolong diperhatikan kalo berdiskusi di web2 inirumahku.com, saya dapat menerima perbedaan pendapat. Tapi spamming dan flaming, juga komentar2 yang cenderung tendensius buta, menghakimi ( tentu anda tahu mana yg saya maksud ), dan pendapat tidak berdasar kuat akan saya pantau. Dan kalau sudah melampaui batas kesopanan ber internet akan saya delete ( seperti 3 komentar anda yg semuanya huruf kapital ).
Ini adalah kebijakan yang diambil oleh website ini sejak dulu didirikan agar pembaca2 yang lain tidak terganggu.
🙂
salam hangat
Yahya
ummu salamah
April 13, 2009 at 6:36 amKalau saya katakan menyuntikan habatusauda , madu ke peredaran darah itu sebenarnya solusi bagi orang-orang yang ingin memanfaatkan TUBUH MANUSIA LAIN sebagai BISNIS.
Dan sebenarnya ini pun suatu solusi terburuk yang dapat saya tawarkan kepada PEMERINTAH.. ketika tetap mau BERBISNIS VAKSINASI… walau ini sebenarnya SANGAT TIDAK PERLU…
Karena orang sehat bisa langsung MEMAKANNYA … itu loh.. bu Lita…anda nggak perlu SEWOOT dengan hal ini…
ini wacana penyadaran rakyat kok…. gitu aja repot… Santai ..saja…
Lita
April 13, 2009 at 12:11 pmUmmu Salamah,
Yang sewot kan anda, dengan memakai huruf kapital. Memberi komentar berkali-kali berturut-turut. Ini namanya SPAMMING.
Sabar, bu. Ada yang namanya moderasi. Prosedur wajar.
Toh komentar anda saya loloskan, bukan?
Kecuali komentar dengan keseluruhan huruf kapital itu yang dihapus.
Ini juga blog saya, rumah saya.
Tentunya empunya rumah berhak untuk mendapatkan perilaku sopan dari tamunya, bukan? Tentunya anda sebagai tuan rumah yang baik juga mengharapkan tamu yang baik, ummu Salamah.
Dan kalau tidak tahu, bisa cari tahu dulu soal netiket, bukan?
Biasa saja, kok. Tidak ada sentimen tertentu terhadap anda.
Ibu yang baik, madu kan isinya gula, ya.
Pikiran saya yang sangat sederhana ini begini lho.
Kalau gula dimakan, dia kan dicerna dulu ya di saluran pencernaan, baru diedarkan oleh darah sebagai glukosa.
Kalau gula kompleks seperti madu langsung disuntikkan ke peredaran darah, apa yang akan terjadi, ya?
Begitu pula berlaku dengan lainnya. Nutrisi yang dapat dihantar oleh darah adalah yang sudah dalam bentuk sederhana alias ukuran molekulnya relatif kecil, seperti air, ion penyangga, gula sederhana, ion dari garam, dll.
Jika ukuran molekulnya terlalu besar, dia tidak akan dapat lewat dinding kapiler darah (CMIIW, guru2 biologi) dan tidak dapat dihantar ke sel-sel tubuh yang membutuhkannya.
Penghantaran molekul kecil -bagi pikiran saya yang sempit ini- juga ada hikmahnya. Bahwa pembuluh darah tidak akan mudah tersumbat oleh molekul berukuran besar. Cukup hemoglobin dan keping-keping darah saja yang ‘mengisi’ jalur sempit transportasi ini. Itu saja tetap punya potensi penyempitan pembuluh darah. Jika molekul besar seperti gula kompleks dimasukkan ke sini, dapatkah ibu bantu saya untuk menjelaskan kemungkinan yang dapat terjadi?
Terimakasih soal penjelasannya dengan dokter ahli imunisasi.
Saya juga tidak berani sok tahu kok, makanya saya mengomunikasikan ini dengan teman-teman dokter umum ataupun yang di IDAI (karena imunisasi sebagian besarnya berkaitan dengan anak).
Gitu aja kan ya, bu, ya?
Santai, kan?
Monggo disimak penjelasan teman-teman dokter yang sudah berbaik hati menjelaskan di komentar-komentar sebelum saya.
sicantik
April 13, 2009 at 8:14 amJeng lita… 10 jempol buat site ini. He.. Salut ya.. Jawabannya elegan dan berilmu. Sayang hrs dinodai oleh komen2 gak penting dan gak ada dasar ilmunya, dan berteriak2 tanpa alasan yg jelas. Ngomongin imunisasi kalau cm mentok liat dr satu sisi saja apalagi tdk ada dasar ilmunya tdk akan ada habis2nya. Mengenai kehalalan dan keharaman (jeng lita tlg koreksi) rasanya para ulama menilai dr segi kedaruratannya, artinya ada beberapa vaksin yg komponen zatnya diambil dr bahan haram (mis babi, atau sapi yg tdk diproses sesuai dng syariat islam) itu terpaksa diberikan (krn blm ada penggantinya) mengingat dampak yg terjadi bila vaksin itu tidak diberikan. Tp kalaupun berdasarkan hal tersebut tetap ragu2 silahkan tinggalkan dng catatan risiko tanggung sendiri. Saya heran dng orang2 yg selalu membandingkan dng jaman nabi tp perbandingannya salah. Lalu bagaimana dng nabi yg memerintahkan umatnya untuk memperkaya ilmu? Ilmu itu berkembang dan terus berkembang. Jadi tdk bisa semata2 lsg dibandingkan plek2 dng jaman nabi. Masalah efektivitas vaksin jeng lita sdh baik sekali analoginya seperti penggunaan helm. Tdk menjamin 100%. Tidak ada satu perlindungan yg dibuat massal dapat memberikan perlindungan 100% kecuali didesain khusus orang perorang. Tapi tentunya hal2 yg menyangkut perlindungan ini tdk akan dibuat secara gegabah. Imunisasi tentu berisiko tapi balik lg jauh lebih besar manfaatnya dibandingkan efek sampingnya. Kalau sampai ini ada orang yg diimunisasi dan sehat2 saja tdk terkena penyakit yg dicegah oleh imunisasi bisa jadi krn terlindungi dari yg sdh mendapatkan imunisasi. Tp ketika sdh mendapatkan penyakitnya apalagi komplikasinya mgkn br akan mengerti makna pentingnya imunisasi. Saya teringat dng sepupu saya yg menolak imunisasi mmr hy krn takut anaknya autis. Ya penyakit kita tdk tau kapan datangnya, jd ketika infeksi m(mumps/gondongan) m(measle/campak) datang secara berurutan menyebabkan anak jatuh ke dehidrasi berat akibat panas tinggi dan kesulitan utk makan dan minum, shg hrs dirawat di rumah sakit, memecahkan ketakutannya terhadap imunisasi mmr tsb. Beruntung ponakan tdk mengalami komplikasi berat spt radang paru dan radang otak, tp sekali lg tanpa ada komplikasi saja kondisi ponakan sdh cukup berat. Alhamdulillah adik2 tdk tertular, stlh masa inkubasi lewat adik2 yg lain pun yg blm mmr akhirnya mendapatkan imunisasi mmr.
Kemarin br saja mendapati anak yg telah mendapat imunisasi mmr tp terkena gondongan krn disekolahnya byk yg terkena gondongan. Apakah imunisasi mmr tdk berhasil? Tidak. Dibandingkan dng anak lain yg gondongannya relatif lbh besar dan lbh sakit, anak ini cenderung demam ringan, kelenjar parotis yg membesar relatif kecil bahkan tdk terlihat bl tdk diraba, dan relatif tdk ada gangguan menelan. Ini menunjukan bhw meski tdk melindungi 100% tp imunisasi memperingan perjalanan penyakit. Siapa yg berani jamin kalau kita dapat terbebas dari paparan kuman penyakit? Disinilah imunisasi berperan.
Imunisasi bcg tdk mencegah penyakit tbc tp mencegah balita terkena infeksi berat tbc (milier). Setelah imunisasi sakit bahkan hrs diopname, hrs dipastikan dulu penyakitnya apa. Lagi pula panas tinggi bukan alasan imunisasi. Tdk diimunisasi bs saja mendapatkan kekebalan tapi harus sakit dulu, nah periode sakit inilah periode harap2 cemas apakah akan berjalan tanpa komplikasi atau dng komplikasi baik ringan atau berat. Ya pengalaman orang terdekat, ponakan lain sempat mengalami ensefalitis stlh sembuh tp ada gejala sisa yaitu perkembangan terlambat.Mau mengimunisasi atau tdk terserah para orang tua, tapi hrs siap dng risiko yg ditanggung. Jeng lita dpt vaksin mati bukan hidup, vaksin hidup polio oral, bcg, varicella (cacar air), campak, mmr. Good job jeng lita, even saya tdk punya waktu untuk cari bahan selengkap jeng lita. Keep on your good work ya jeng! Maap kalau ada salah2 kata.
Lita
April 13, 2009 at 12:16 pmWaah…. terimakasih atas komentarnya, jeng cantik 🙂
Soal halal-haram, saya memang SENGAJA tidak membahasnya di sini.
Selain saya sangat kurang ilmu di bagian itu, juga karena tulisan yang ini memang tidak untuk membahas soal halal-haram.
Saya cerita tentang ajakan menolak imunisasi yang sedari awalnya juga tidak menyinggung keharaman, sih. Dan sebaiknya saya tetap bergeming di jalur yang ini.
Soal kehalalan vaksin monggo bisa disimak di tulisan lain (punya orang lain juga).
Makasih ya, neng dokter 🙂
ummu salamah
April 13, 2009 at 2:38 pmmmh… bu Lita ini lucu ya… menghayal… teriak-teriak di email.. itu gak mungkin… itu fitnah namanya.. pemikiran yang dangkal… bahasa Indonesia belum lurus aja… sombong…
manusia itu gak berhak sombong… penilaian seseorang itu hanya berdasarkan keimanan… bukan yang lain.. keimana pada Allah gak ada… wah… itu mah parah…
Lita
April 13, 2009 at 4:12 pmNgga, anda lebih lucu 🙂
PASTI anda tidak menerima saran saya untuk mencari tahu tentang netiket dulu, bukan? Karena teriak di email itu mungkin: dengan menggunakan huruf kapital. Apakah anda menuduh saya sombong atas apa yang anda tidak tahu?
Bagus sekali, ummu salamah.
Andalah contoh paling tepat saat ini bagi Sesat-pikir logika. Argumentum ad hominem.
Saya pikir tulisan itu tetap relevan, walau ditulis dalam kerangka politik.
Kalau tidak bisa membalas, kata-katai saja orangnya.
Gampang, ya gak? 😉
Tidak perlu pakai mikir.
Jadi siapa memfitnah siapa? 🙂
Marah boleh. Asal kepala tetap dingin.
Ah sudah lah. Rasul bilang jangan berdebat.
Bukan, anda tidak mengajak diskusi.
Anda mengajak debat. Belok pula bahasannya.
Dari imunisasi, ke SAYA.
Saya setuju apa kata anda. Penilaian seseorang hanya berdasarkan keimanan.
Karena itu sebaiknya saya tidak meladeni anda lagi.
Selamat menikmati hari Senin. Semoga lain kali anda lebih beruntung.
yahya
April 13, 2009 at 5:50 pmBaik ummu salamah,
Ini jelas sudah keluar dari topik dan flamming.
Silakan search web, atau cari tahu tentang “nettiquette”. Sementara itu semua komen dari anda, dan alamat ip (atau identitas komputer anda di internet) akan saya tahan/moderasi.
Komentar ini sengaja saya loloskan sebagai contoh kasus. Sampai mungkin beberapa saat dan nanti akan saya delete.
Yahya
ps. (untuk semua pembaca)
Kalau anda mengharapkan diskusi yang baik lewat internet, silakan cari panduan/tata-cara serta sopan santun dalam berdiskusi ataupun berinteraksi via internet. Itu semua terangkum dalam nettiquette.
Dan iya, karena bahasa textual kita menggunakan text untuk menyampaikan maksud dan emosi kita, termasuk semantik. Jadi sangat mungkin berteriak-teriak lewat tulisan (dalam bahasa internet), misal : menggunakan huruf kapital (dalam satu kata atau seluruh kalimat), atau menggunakan huruf tebal dan kapital, etc.
Eep
April 14, 2009 at 9:15 amorang yang beriman mah tidak akan ngotot berantem dan marah2…
lah gimana ini.. Rasul aja ga pernah marah2..ini bawa Tuhan.. jauh banget..
mbunya noynoy
April 13, 2009 at 4:52 pm*kemaren mau komen dari hape gag bisa*…
Litaaaaaa….
gue pernah dapet tuh email itu. salah kirim rupanya si forwardernya.. dikirim ke milis jurnalisme.. yang ada dicuekin.. mana pake bawa2 israel pulak.. haiyaah.. kemana aja sih orang ini..
eniwey.. tertarik deh sama ngeliat alergi dari imunisasi.. kemaren2.. hajar aja bleh.. gag pake test alergi. tapi alhamdulillah.. aman..
dan so far gag ada keluhan sama sekali. well.. pernah sih, pas di imunisasi ama dr.cantik.. naya panas.. rewel gitu.. terus kakinya bengkak.. tapi udah kok.. 2 hari biasa lagi.
well.. benernya saya gag bisa deh kek mbake or other SEHAT parents or docters yg bisa ngejelasin sabar pentingnya imunisasi. kapan tau ada status: “ngapain gue bayar mahal2 MMR kena gondongen juga..”… gue cuma bisa bales: “yaa logiknya sama aja: ngapain lo mandi kalok kotor2 juga” hehehe.. i know itu salah..
well.. kangen juga baca2 blog mu.. :D…
Lita
April 13, 2009 at 5:06 pmKalau senada soal mandi itu, murid bilangnya gini, mbu:
“Banyak belajar banyak lupa. Ngapain belajar?”
Aku balas. Kalem aja: “Banyak makan banyak pup. Ngapain makan? Buang duit saja jadi kotoran”
Hehehe…
dewi
April 13, 2009 at 8:52 pm“Banyak makan banyak pup. Ngapain makan? Buang duit saja jadi kotoranâ€
Huahaahahahhahahaha!
jawaban yg begini gw baru denger.
sadis tapi kena banget hehe..
rsauqi
April 13, 2009 at 5:00 pmWah Bu Lita, link Anda tentang Ad Hominem g valid tuh, soalnya yg bikin bukan *lama terpercaya.. hehe melainkan “noni”…
Lita
April 13, 2009 at 5:02 pm*gubrak*
Kaga komen dah kalo udah sampe situ mah ah :p
suryanto
May 13, 2009 at 8:09 pmwaduh mbak aku kok mumet jeee…
saya punya tetangga persis sebelah rumah saya,
dia punya 7 orang anak tapi yang di imunisasi cuma satu orang itupun kalo tidak salah imunisasi hepatitis.
ternyata semua anaknya sehat aja tuh, ga ada masalah.
Bahkan yang paling besar sudah SMA.
Mungkin yang saya butuhkan adalah bahan-bahan yang dibuat untuk imunisasi itu. Biar lebih yakin lagi bahwa anak kita
patut ga tuk di imunisasi. saya tunggu artikelnya
email: addien0409@yahoo.co.id
trim’s
Lita
May 13, 2009 at 11:16 pmAda istilah yang dapat menyediakan penjelasan mengapa itu dapat terjadi.
Herd immunity, jabaran singkatnya bisa dilihat di http://en.wikipedia.org/wiki/Herd_immunity
Saya tidak tahu padanan istilahnya dalam bahasa Indonesia, maaf.
Di awal artikel saya kutip bahwa keberhasilan vaksin adalah ‘tidak terjadi apa-apa’. Jika seseorang tidak divaksin dan tidak apa-apa, mungkin ada pengaruh lingkungan di sana. Di sini berperan ‘herd immunity’.
Untuk jabaran bahan pembuat vaksin, sila gunakan Google, ya 🙂
suryanto
May 13, 2009 at 10:36 pmbingung jadinya…
aisyah
December 4, 2009 at 12:15 pmkok tambah mumet ya ???
Mudah2an Allah segera membukakan mana yg terbaik.
Salam kenal buat semua ^_^
Aringga
December 23, 2009 at 10:16 amHari ne anakku mw di imunisasi tapi aq bingung banget. Nyari2 pro dan kontranya,,,eeee malah ketemu disini. Tau ga’…tambah puyeng!! hiks..hiks..Lahaula wala quwata illla billah
Lita
December 23, 2009 at 10:41 amDi sini memang jadi lahan diskusi dan belajar saja, kok. Tidak hendak mengajari. Keputusan akhir tetap jadi hak orangtua.
Semoga pilihan kita tepat. Bismillah 🙂
hanifah
January 7, 2010 at 12:51 pmSaya adalah seorang calon ibu yg tentunya juga akan memberikan yg terbaik pd anak-anaknya. Kebetulan basic saya adalah FK.
Mengenai masalah imunisasi ini, saya punya concern yg lebih thdp polio. Dalam kasus polio,angka keberhasilan vaksin itu dicapai dgn cara berjamaah.
Satu anak yang tidak diimunisasi polio misalnya, tapi ia adalah carrier (pembawa) virus polio, dapat menginfeksi seluruh anak lain yang berada di lingkungannya yang tidak mendapatkan imunisasi polio.
Ini adalah hipotesis terjadinya heboh polio di Sukabumi tahun 2003 silam.
Ok ini masih hipotesis, tp memang ada landasan ilmiahnya.
Kita tahu sendiri konsekuensi penyakit polio itu adalah lumpuh layuh….
Apakah kita berani ambil resiko itu??
Saat ini mungkin daerah yg kita tinggali tidak endemis polio (ga ada pembawa virusnya), shg kasusnya ga ada. Tapi bukan tidak mungkin jika ini dibiarkan tjd, dan angka carier terus meninggi akibat semakin rendahnya angka vaksinasi polio, akhirnya jadi heboh polio lagi.
(Ini adalah suatu prediksi yg ilmiah, bukan prediksi tanpa dasar)
Bayangkan satu generasi kemudian cacat. Naudzubillahi min dzalik.
Itulah sebabnya saya sangat concern dgn masalah ini.
Ada semacam tanggungjawab bersama kita semua jika ini terjadi….
Nah terkait polio ni, jenis vaksinnya ada 2 yang oral dan yg IPV (injeksi). Yg disinyalir mengandung enzim babi itu adalah IPV.
Vaksin polio IPV ini biasanya dipakai untuk yang immunokompromais.
Sedang u yg normal bs mgunakan yg oral.
Dengan asumsi bahwa vaksin oral polio ini halal, (saya blm menemukan isu ttg keharaman oral polio), saya yakin tidak ada keraguan lagi dlm pgunaanya.
Dan kl pun misalnya suatu saat dihadapkan pd isu vaksin yg bahannya mengandung bahan haram, maka perlu dirinci lagi keadaannya spt apa, apakah konsekuensinya fatal, ada bahan pganti lain atau tidak, dsb.
Namun ada 1 artikel yg ingin saya share dari segi fikih, yg bjudul
“kontroversi imunisasi vaksin polio yg mengandung babi”
(ingat ini yg jenis IPV)
http://azwariskandar.blogspot.com/2009/11/hukum-imunisasi-kontroversi-imunisasi.html
simpulan akhirnya adalah bolehnya imunisasi IPV.
saya sarankan membaca dgn seksama…
saya hanya uraikan bbrp sisi pendalilan ushul fikih bhw terkadang suatu bahan yg asalnya dr najis/haram ketika berubah sifat bisa mjd halal.
ini dinamakan isitihalah.
Maksud Istihalah di sini adalah berubahnya suatu benda yang najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khamr berubah menjadi cuka, kulit bangkai yg najis ketika disamak berubah jd suci.
(himbauan untuk baca lengkap langusng lagi ya)
2. adanya kondisi istihlak.
Istihlak di sini adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya.
Apabila benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci, berdasarkan dalil berikut :
“Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.†(Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:14)
“Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.â€
(Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:23).
Dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakn warna atau baunya maka dia menjadi suci.
tambahan dr saya–> Dr berbagai info kita tahu, disinyalir bahwa bahan dr babi tsb ad pd komponen enzim. Enzim ini dianalogikan spt itu keadannya, yakni jumlah sedikit dibanding zat pelarut, yg kemudian ianya larut dlm pelarut.
3. dan bbrp pertimbangan lain spt kondisi darurat.
Itulah mungkin yg bisa saya bagikan.
Pesan saya,
1. jika anda memilih u tidak vaksinasi anak, silahkan saja, tapi ingat juga bahwa vaksin ini tidak terlarang scr agama.
2. terbuka u informasi dan pendapat baru
3. pilih2 …saya sarankan u polio kalau bisa jangan tidak divaksin ya….
Akhir kata saya minta maaf bila ada salah kata.
Semoga diskusi ini bermanfaat.
Lita
January 7, 2010 at 4:38 pmTerimakasih untuk bagi ilmunya, mbak Hanifah.
Saya senang dapat ilmu baru hari ini.
hanifah
January 7, 2010 at 6:15 pmoh iya mbak satu lagi…ini patut disampaikan krn tggjawab ilmiah…
vaksin oral polio itu asalnya dari virus hidup yg dilemahkan, sedangkan yg injeksi dari komponennya yg sudah mati
berhubung dari virus hidup, ada resiko bila daya tahan tubuh si anak lemah (immunokompromais), atau bila si kuman bmutasi dlm tubuh, si kuman justru meneybabkan sakit polio…..
namun kejadian ini jarang…peluangnya 1;2,4 juta anak. Inilah sebabnya pertimbangan byk yg lbh memilih IPV.
‘the oral polio vaccine, which is made of a live, weakened virus, can cause polio if the weakened virus mutates, which happens once in every 2.4 million children. Although this is an extremely small chance, it led doctors in the United States to completely switch to the injectable polio vaccine.’
http://www.merck.com/mmhe/sec23/ch263/ch263l.html
des
January 11, 2010 at 11:30 pmkami pake imunisasi alami aja deh..ga ribet dan terbukti AMPUH! minyak saudah (jintan hitam) rutin. silahkan ibu2 bapak2 cari tau manfaat saudah. AMAN dan HALAL. pengalaman saya pribadi dan anak saya sudah membuktikan.
asoed
January 26, 2010 at 9:59 amRangkuman :
ada dua hal:
1. terkait perbuatan melakukan imunisasi gimana hukumnya….
2. terkait benda (vaksin) gimana hukumnya….
Kesimpulan :
1. berobat itu tidak wajib…..
2. kalo melihat dari sumber diatas ( sumber dpt dilihat di komentar penuh ), maka bahan bahan vaksin itu ternyata sesuatu yang najis dan para ulama sepakat, hukum pemanfaatan benda najis itu haram hukumnya. ada pengecualian apabila terjadi madorot (di duga kuat akan menyebabkan kematian dgn indikasi-indikasi yg sangat jelas, bukan hnya berpeluang)
Mati itu pasti… malah merupakan pintu awal untuk kehidupan yg sesungguhnya (kampung akherat) lalu untuk apa kita menggadaikan kehidupan yg sesungguhnya hanya untuk kehidupan dunia yg sementara, dan penuh tipu daya.
( kalau mau lihat komentar penuh silakan klik +show berikut ini… red. )
[spoiler]
Persoalan yg didiskusikan disini kan persoalan berobat. dengan vaksin atau kita sebut imunisasi.
ada du hal:
1. terkait perbuatan melakukan imunisasi gimana hukumnya….
2. terkait benda (vaksin) gimana hukumnya….
maka disini harus dicari hukum perbuatan dan hukum bendanya, berikut sedikit paparannya….
Alhamdulillah, secara umum berobat itu dianjurkan oleh syariat. Berdasarkan riwayat Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata: Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia telah menetapkan bagi setiap penyakit obatnya, maka janganlah berobat dengan perkara yang haram.”
(H.R Abu Dawud No:3372)
Dan berdasarkan hadits Usamah bin Syarik Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata: “Seorang Arab badui bertanya: “Wahai Rasulullah, bolehkah kita berobat?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Berobatlah, karena Allah telah menetapkan obat bagi setiap penyakit yang diturunkan-Nya, kecuali satu penyakit!” Para sahabat bertanya: “Penyakit apa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Pikun.”
(H.R At-Tirmidzi IV/383 No:1961 dan berkata: “Hadits ini hasan shahih.” Dan diriwayatkan juga dalam Shahih Al-Jami’ No:2930.)
Jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa berobat hukumnya mubah (boleh). Sementara ulama Syafi’iyah, Al-Qadhi, Ibnu Aqil dan Ibnul Jauzi dari kalangan ulama Hambali berpendapat hukumnya mustahab (dianjurkan). Berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam :
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia telah menetapkan bagi setiap penyakit obatnya, maka janganlah berobat dengan perkara yang haram.”
Dan beberapa hadits lainnya yang berisi perintah berobat.
Mereka juga beralasan: Berbekam dan berobatnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam merupakan dalil disyariatkannya berobat. Menurut ulama Syafi’iyah hukum berobat menjadi mustahab bilamana dipastikan tidak begitu membawa faidah. Namun bilamana dipastikan berfaidah maka hukumnya wajib, seperti membalut luka misalnya. Di antaranya adalah transfusi darah, untuk beberapa kondisi tertentu.
Silakan baca buku Hasyiyah Ibnu Abidin V/249 dan 215, Al-Hidayah takmilah Fathul Qadir VIII/134, Al-Fawakih Ad-Dawani II/440, Raudhatuth Thalibin II/96, Kasyful Qana’ II/76, Al-Inshaf II/463, Al-Adabus Syar’iyyah II/359 dan Hasyiyatul Jumal II/134.
Ibnul Qayyim berkata: “Dalam hadits-hadits shahih telah disebutkan perintah berobat, dan berobat tidaklah menafikan tawakkal. Sebagaimana makan karena lapar, minum karena dahaga, berteduh karena panas dan menghangatkan diri karena dingin tidak menafikan tawakkal. Tidak akan sempurna hakikat tauhid kecuali dengan menjalani ikhtiyar (usaha) yang telah dijadikan Allah sebagai sebab musabab terjadi suatu takdir. Bahkan meninggalkan ikhtiyar dapat merusak hakikat tawakkal, sebagaimana juga dapat mengacaukan urusan dan melemahkannya. Karena orang yang meninggalkan ikhtiyar mengira bahwa tindakannya itu menambah kuat tawakkalnya. Padahal justru sebaliknya, meninggalkan ikhtiyar merupakan kelemahan yang menafikan tawakkal. Sebab hakikat tawakkal adalah mengaitkan hati kepada Allah dalam meraih apa yang bermanfaat bagi hamba untuk dunia dan agamanya serta menolak mudharat terhadap dunia dan agamanya. Tawakkal ini harus disertai dengan ikhtiyar, jikalau tidak berarti ia telah menafikan hikmah dan perintah Allah. Janganlah seorang hamba itu menjadikan kelemahannya sebagai tawakkal dan jangan pula menjadikan tawakkal sebagai kelemahannya.
(Zaadul Ma’ad IV/15, lihat juga Mausu’ah Fiqhiyyah XI/116.)
Kesimpulan jawaban soal di atas, berobat hukumnya tidaklah wajib menurut jumhur ulama, kecuali jika mesti (tidak bisa tidak) harus dilakukan, menurut sebagian ulama. Adapun kondisi yang ditanyakan dalam soal bukanlah pengobatan yang mesti dilakukan dan secara psikologis tanpa berobat si sakit juga tidak terganggu, maka dalam kondisi begitu tidak ada masalah meninggalkan berobat. Akan tetapi si sakit hendaknya tidak lupa bertawakkal kepada Allah dan meminta perlindungan kepada-Nya. Sebab pintu-pintu langit senantiasa terbuka bilamana doa mengetuknya. Dan juga si sakit hendaknya meruqyah dirinya sendiri melalui pembacaan Al-Qur’an, seperti membacakan bagi dirinya surat Al-Fatihah, Al-Falaq, An-Naas. Pengobatan melalui ruqyah itu memberikan efek positif bagi jiwa dan jasmani si sakit, di samping pahala yang diperolehnya dari tilawah Al-Qur’an. Dan Allah adalah Penyembuh dan tiada yang dapat menyembuhkan selain Dia.
kesimpulannya :
1. berobat itu tidak wajib…..
bahan2 Vaksin :
Beberapa racun dan bahan berbahaya yang biasa digunakan seperti Merkuri, Formaldehid, Aluminium, Fosfat, Sodium, Neomioin, Fenol, Aseton, dan sebagainya.
Sedangkan yang dari hewan biasanya darah kuda dan babi, nanah dari cacar sapi, jaringan otak kelinci, jaringan ginjal anjing, sel ginjal kera, embrio ayam, serum anak sapi, dan sebagainya. Sungguh, terdapat banyak persamaan antara praktik pengobatan zaman dulu kala dengan pengobatan modern. Keduanya menggunakan organ tubuh manusia dan hewan, kotoran dan racun.
Dr. William Hay menyatakan, “Tak masuk akal memikirkan bahwa Anda bisa menyuntikkan nanah ke dalam tubuh anak kecil dan dengan proses tertentu akan meningkatkan kesehatannya. Tubuh punya cara pertahanan tersendiri yang tergantung pada vitalitas saat itu. Jika dalam kondisi fit, tubuh akan mampu melawan semua infeksi, dan jika kondisinya sedang menurun, tidak akan mampu. Dan Anda tidak dapat mengubah kebugaran tubuh menjadi lebih baik dengan memasukkan racun apapun juga ke dalamnya.â€
(informasi ini diambil dari British National Anti-Vaccination league)
kesimpulannya :
kalo melihat dari sumber diatas, maka bahan bahan vaksin itu ternyata sesuatu yang najis dan para ulama sepakat, hukum pemanfaatan benda najis itu haram hukumnya. ada pengecualian apabila terjadi madorot (di duga kuat akan menyebabkan kematian dgn indikasi-indikasi yg sangat jelas, bukan hnya berpeluang)
kesimpulan akhir :
Mati itu pasti… malah merupakan pintu awal untuk kehidupan yg sesungguhnya (kampung akherat) lalu untuk apa kita menggadaikan kehidupan yg sesungguhnya hanya untuk kehidupan dunia yg sementara, dan penuh tipu daya.
yu… kita berbuat meninggalkan hal2 yg dimurka Allah, kita semua ingin sehat, hiduplah yg teratur dan sehat sebagaimana layaknya manusia normal dengan karakteristik kemanusiaannya, gak usah di macem2in…. berobatlah dgn sesuatu yg diu halalkan…..
kalaupun telah berusaha demikian, tetapi kita sakit juga, bahkan berujung pada kematian… bertawakalah karena yg dilihat adalah usaha. dari setiap kesakitan dan derita yg kita alami, jikalau kita hadapi dgn sabar… maka itu menjadi penebus dosa…
maka kita akan mendapati riwayat2 yg muktabar bahwa sakit itu adalahg penggugur dosa bagi orang2 yg beriman ketika mereka menghadapinya dengan bersabar dan tawakal……. (berusaha jaga kesehatan dgn gaya hiudup sehat & makanan bergizi, setelah itu apapun yg terjadi, bertawakalah kpd Allah… itulah makna sabar yg sesungguhnya…)
semoga bermanfaat…..
[/spoiler]
Dear Bp/Sdr Asoed yg baik, maaf ya saya ubah sedikit tampilannya. tapi tidak saya sentuh redaksinya sedikit pun 🙂 , hanya merangkum di atas. Maksud saya adalah agar nyaman dibaca oleh pembaca yg lain. Saran saya kalau mau mengomentari dengan artikel sepanjang ini, mungkin lebih baik kalau di tulis di blog sendiri dan di trackback kesini, akan muncul kok link nya. Karena kasihan yg scrolling dg panjang segini 🙂
SalamHangat, Yahya
BananaTalk » Imunisasi: Cukup Sampai di Sini
January 26, 2010 at 1:09 pm[…] makin panjang, tidak jelas dan tak akan berujung, seperti bahasan poligami. Dan dengan ini, Ajakan menolak imunisasi saya nyatakan ditutup dari komentar lebih […]
alfianda
February 8, 2010 at 11:27 pmMbak Lita,
Please….topik tentang imunisasi ini jangan ditutup. Sharing mungkin bisa diarahkan ke kesaksian tentang pengalaman imunisasi. Hal ini penting untuk kepentingan penelitian dan perbaikan ke depan. Thanks.
O ya, aku pernah dengar bahwa vaksin imunisasi yang sudah dibuat sendiri oleh Indonesia baru DPT, BCG, Polio, Campak dan Hepatitis B tapi bukan yang untuk anak 0-7 hari. Tolong teman-teman barangkali punya sumber yang valid. banyak-banyak thanks ya mbak Lita.
Lita
February 9, 2010 at 10:53 amDear Alfianda,
Saya ingin form komentar ini ditutup bukan tidak boleh ada yang sharing, tapi supaya tidak perlu ada pertanyaan dan dugaan yang berulang-ulang. Karena ketika sudah sepanjang ini komentarnya, orang cenderung malas. Ketimbang membaca apakah ada yang sudah membahasnya, orang akan cenderung langsung saja bertanya.
Toh jawaban saya juga jadinya cuma ‘lihat komentar sebelumnya’ atau ‘baca kembali tulisannya yang teliti’. Tidak berganti, tidak berkembang.
Sekadar tidak diperpanjang. Itu saja.
Halal dan Haram? Jangan tanya kami… | Y not?
August 3, 2010 at 7:01 am[…] berhubungan dengan tulisan-tulisannya di bananatalk, dan yg paling populer salah satunya adalah urusan vaksin dan imunisasi. Tentu saja urusan kehalalan ini kami anggap serius, amat sangat serius. Saya memilih bekerja […]
Imunisasi « reysna
January 6, 2012 at 2:36 pm[…] ini juga http://litamariana.com/health/lita/ajakan-menolak-imunisasi/ Advertisement LD_AddCustomAttr("AdOpt", "1"); LD_AddCustomAttr("Origin", "other"); […]