Teori: Bukan Asal Cakap

Ribet, Langsung Praktik Saja, lah!

Sekilas lintas, ada saja murid yang berceletuk, “Ribet amat sih pake teori. Udah, ajarin ngitungnya aja gimana.” Atau sesuai dengan menggejalanya bimbingan belajar, “Ngapain susah-susah. Pake cara cepet aja!”. Negeri kita menjadi negeri instan, ketika komentar yang sering tersembur adalah “Gitu aja kok repot”.

Untuk apa repot antri, untuk apa paham teori, untuk apa susah-susah memakai jembatan penyeberangan. Pada kenyataannya, toh menyela antrian tak berbahaya, cepat dan tak selalu diprotes. Menyeberang di bawah jembatan penyeberangan juga tak apa, toh kendaraan bermotor punya rem, mau tak mau mereka pasti mengerem. Dan untuk apa tahu teorinya kalau kita sudah tahu bagaimana cara menghitungnya, apalagi ada cara cepatnya?

Teori dan Pengasahan Logika

Kurikulum nasional kita padat dan standar penilaiannya tinggi. Murid dituntut untuk menguasai banyak sekali pokok bahasan dari banyak mata pelajaran. Tak ada pilihan, tak ada keleluasaan di sekolah negeri.

Karena materi dan mata pelajaran yang harus diajarkan banyak sedangkan waktu belajar hanya 5 hari, murid harus banyak belajar sendiri. Terutama untuk yang ‘bisa dibaca sendiri’, biasanya bagian teori. Padahal hitungan bisa dilatih, sedangkan penguasaan teori butuh bimbingan dari gurunya.

Ini menjadi kelemahan yang penting ketika murid (terutama tingkat SMA) hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ketika berhitung diperbolehkan menggunakan kalkulator dan tabel periodik serta deret Volta tak perlu dihafalkan dan penguasaan dasar teori lebih penting, logika pemecahan masalah lebih dikedepankan daripada masalah hitungan.

Hitungan dapat diselesaikan oleh komputer namun data tetaplah data, tak akan menjadi informasi yang berguna jika tak diolah oleh manusia. Jika hasil perhitungan arus listrik dari PLN untuk rumah saya menghasilkan nilai 200 Ampere, (saat ini) logika manusialah yang dapat berkata itu salah. Hasil hitungan kalkulator benar, tapi nilainya tidak realistis. Dan bobot kurikulum kita tidak bertumpu di analisis dan pemecahan masalah seperti ini.

Ketika dasar teori cukup kuat, kerumitan hitungan dapat diurai dan penyelesaiannya dapat dibantu alat hitung. Namun jika arah pertanyaan dan dasar teorinya goyah, kita hanya mendidik mesin hitung. Cepat, akurat, canggih, tapi arahnya ke mana dan tujuannya apa?

Juara = Mesin Hitung Tercepat?

Film 3 Idiots tak hanya berisi romansa dan komedi, tapi juga drama pendidikan. Tidak hanya kritik terhadap sistem pendidikan India namun Indonesia juga dapat mengambil hikmahnya. Ketika kita sibuk berlomba menjadi nomor satu, yang terbaik, namun tak mengerti apa sebetulnya yang dipelajari (semata menghafal) dan arahnya ke mana, ya kita hanya akan menjadi peserta lomba. Sudah menang lomba, lalu untuk apa?

Pemenang Olimpiade Sains Nasional, peraih medali olimpiade internasional, akan dikemanakan di negeri ini? Tak perlu heran jika mereka ‘lari’ dari genggaman negeri ini. Mereka tak mendapatkan arah, manfaat dan penyaluran di sini. Mereka bukan mesin hitung, mereka mencari arti ilmunya.

Pertanyaan Penting: Mengapa? dan Bagaimana?

Tak akan berubah jika kita hanya berpasrah. Langkah-langkah pertama selalu tak mudah. Kaku. Namun pertanyaan ‘mengapa’ dapat menjadi awal agar murid mengerti apa yang mereka lakukan dan untuk apa. Bagaimana menghubungkan apa yang mereka pelajari dengan kehidupan kesehariannya. Bagaimana caranya membuat es krim dan mengapa pengadukan yang terus menerus dapat membuat es krim menjadi lebih lembut. Mengapa bisa begitu? Reaksi, ikatan kimia dan proses kristalisasi dapat menjelaskannya.

Teori itu penting. Bukan segalanya, karena jika teori tak dikembangkan menjadi aksi ia hanyalah baris-baris kalimat dalam buku. Bimbingan belajar tak dapat melakukan ini. Hanya guru yang bisa. Dan inilah peran sekolah yang sebenarnya: mendidik. Hanya dengan begini murid dapat merasakan manfaatnya bersekolah dan tak lagi berkata “Les di sekolah, sekolah di bimbel.”

Mari kita mulai dengan bertanya, “Mengapa demikian?”. Berlanjut dengan bagaimana, kapan, di mana, dan sebagainya. Dan ini harus dimulai dari kita, gurunya. Kitalah yang harus tahu lebih dulu alasan, analisis dan penerapan topik pelajaran yang kita ampu. Jika bukan kita, siapa lagi?

Wahai Agen Perubahan, Mari Berkaca!

Penularan pengertian ini kepada murid juga tak kalah penting. Kala mereka beranjak menjadi mahasiswa dan turun ke jalan berdemonstrasi menggugat pemerintahnya yang tampak ‘gak mikir panjang’ serta kurang idealis, ingatkan: apakah jalan kalian dalam menempuh ilmu juga demikian?

Kalau penggampangan masih mengakar, contekan belum haram, titip absen masih jadi kebiasaaan, cara cepat masih jadi pegangan (teori gak penting, bikin lama!), dan tugas akhir masih dibikinin orang (terlebih lagi: ngembat), bercerminlah, dik. Kamulah yang akan menjadi bagian negara di masa depan, dik. Dan akan seperti itulah jadinya kamu: yang kamu gugat sekarang, kalau kebiasaan buruk saat ini masih dipelihara.

Tak perlu banyak bicara dan gugat. Tak hanya mahasiswa dan guru yang harus berbenah. Orangtua adalah garda terdepan bagi pendidikan keluarganya. Biarkan anak berproses demi kedewasaan logika pemecahan masalahnya. Biarkan anak melakukan kesalahan sampai tahap pembelajaran yang wajar. Dan kendalikan anak agar tetap di jalan lurus yang menjadi pegangan hidup keluarga. Jangan cuma dipasrahkan kepada sekolah lalu berlepas tangan. Ini anak kita, mari kita bertanggung jawab.

8 Comments

  1. fisto

    March 2, 2010 at 9:42 pm

    iya yah…jadi yg harus dibenahi mentalnya ya? budayanya?…
    terus terang aku skrg juga jadi care masalah gini begitu udah punya anak…sering mikir ntar kalo udah sekolah gimana…

    1. Lita

      March 2, 2010 at 11:44 pm

      Ya, punya anak sedikit banyak membuka dan terkadang menggeser posisi kita saat memandang suatu masalah.
      Dan ketika aku masuk ke sistem pendidikan, jadi lebih ‘ngeh lagi terhadap apa yang dapat diperbaiki.
      Setidaknya orangtua tidak cuek dan ikut berpartisipasi aktif dalam pendidikan anaknya.
      Bisa dimulai dari kita sendiri. Kalaupun yang didapatkan anak di sekolah dirasa ‘tidak cukup’, kita usahakan untuk menggenapi, alih-alih sekadar menyalahkan guru dan sistem pendidikan, yang waktu interaksinya dengan anak kita juga dibatasi oleh jam sekolah.

      Emailnya baru, ya? Kok masuk moderasi.

  2. josephwhite

    March 5, 2010 at 8:12 pm

    Hope our educational system can be altered into the conceptual ones, sukur2 bisa kaya A Level or IB style…(Ngarep)

  3. kelly amareta

    March 22, 2010 at 3:50 pm

    mengena sekali!
    sekolah kita memang bukan untuk orang pinter
    sekolah seolah hanya mendidik kita menjadi orang kebanyakan
    supaya kita tidak terlalu jauh melenceng dari puncak kurva normal statistik pendidikan.
    selebihnya, tergantung upaya masing-masing kita untuk mengembangkan potensi diri.

  4. ummumesia

    March 31, 2010 at 2:27 am

    jazakillah khoiron Mba, stiap buka banana talk alhamdulillah ada saja pelajaran yang bisa saya ambil.

    smg banyak guru yg seperti Mba,,amiin

  5. Tweets that mention BananaTalk » Teori: Bukan Asal Cakap -- Topsy.com

    April 5, 2010 at 11:58 pm

    […] This post was mentioned on Twitter by resti magdalena . resti magdalena said: ♥ this blog http://bit.ly/9DyztT about health,parenting,♥ and live . […]

  6. qia

    June 22, 2011 at 3:27 pm

    mbak, just wanna say hii 😀
    saya suka tulisan2 mbak…dan saya juga suka 3 idiots

  7. siti nurkhasanah

    December 7, 2011 at 5:13 pm

    sangat mencerahkan. so motherly. dibutuhkan lebih banyak lagi guru2 seperti mba lita.salam kenal y mbak.

Leave a Reply to josephwhite Cancel

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.