UN dan Ujian Kejujuran

Setelah melalui pekan-pekan menegangkan, saya mulai mengurai kekusutan satu per satu. Ujian nasional adalah topik terhangat. Baik UN maupun hasilnya, sama-sama memiliki banyak sisi yang dapat digali untuk belajar. Guru -dan tentunya penentu kebijakan sistem pendidikan Indonesia- harus introspeksi. Murid tak kalah wajib untuk menilai ulang ke dalam diri.

Untuk pertama kalinya -setelah entah berapa lama- SMA Negeri 8 Jakarta tidak meluluskan beberapa siswanya. Begitu juga banyak SMA yang diunggulkan lainnya. Penyebab ketidaklulusan bukan hanya nilai UN, tapi juga Ujian Sekolah. Jika lulus UN namun tidak lulus US, penilaian yang diberikan tetap ‘tidak lulus’.

Tahun ini pula, pertama kalinya UN digelar dalam 3 kesempatan. UN -jadwal- utama, UN susulan, dan UN ulangan. Bagi murid SMA yang dinyatakan tidak lulus per 26 April 2010 kemarin, diberikan kesempatan untuk melakukan ujian kembali pada tanggal 10 Mei 2010. Karena itu, status ‘belum lulus’ lebih disukai karena kesempatan lulus UN belum tertutup.

Sebagian media menurunkan berita tentang menurunnya tingkat kelulusan sebagai tanda meningkatnya kejujuran. Jadi indikator jujur adalah tidak lulus? Lalu kalau murid saya lulus lalu saya/sekolah/sistemnya tidak jujur? Apakah ‘tidak boleh’ saya berhasil mengajarkan topik sehingga dimengerti & menghantar murid untuk berhasil juga di ujian?

Ironisnya, saya mengerti mengapa kesimpulan ini dilontarkan. Tekanan untuk lulus (sekali jadi) dan menjaga ‘nama baik sekolah’ (yang disetarakan dengan peringkat sekolah) sangatlah tinggi. Sekolah ditekan untuk mempertahankan peringkat, murid ditekan untuk lulus dengan nilai gemilang. Dan di ujungnya ada nurani anak didik dan guru, yang ditekan demi kepentingan ini semua. Membeli soal dan atau kunci jawaban hanyalah satu dari banyak metode kecurangan menuju lulus UN.

Saya tidak ingin menuding siapa dan apa. Refleksi pertama adalah diri sendiri. Mungkin selama ini saya juga kurang memberi pujian pada mereka yang jujur. Yang berusaha sekuat yang mereka bisa, walaupun tertatih dan dari segi nilai ‘melata’. Tapi jika saya berkata ‘Honesty is the best policy’, sedangkan saya hanya dapat memberi penilaian kognitif, kejujuran tak mendapat ‘tempat’ di raport dan semua jadi gombal semata.

Tentunya tidak sedramatis itu di keadaan nyata. Banyak peluang bagi guru untuk memberi penghargaan bagi yang jujur dan ‘hukuman’ bagi yang belum bisa jujur (agar ‘terpaksa’ belajar jujur dan bertanggung jawab atas konsekuensinya). Tinggal bagaimana melaksanakannya. Tidak ‘tinggal’ juga, sih. Karena tidak mudah.

Ini adalah proses panjang semua pihak. Jujur bagi murid bisa berarti berakhir di ‘remedial’. Daripada ribet belajar lagi, ya lebih baik tidak ujian ulang, toh? Sekali-dua masih ada rasa bersalah. Banyak kali, sudah jadi kebiasaan saja. Kebas. Makin lama makin besar skala curangnya. Dan kita tinggal lihat di televisi tentang berita korupsi. Tak perlu lagi kita tanya kenapa.

Tak apa, kita besarkan hati mereka yang ‘terpojok’ dengan kejujurannya, dan bimbing mereka untuk kuat dan bersabar dengan prinsipnya. Bahwa nilai adalah di atas kertas. Bahwa ujian ulang tidak ‘bikin malu’. Bahwa kejujuran membekas di jiwa, sebagai nilai yang akan mereka bawa dan wariskan untuk generasi selanjutnya.

Pada akhirnya, saya hendak mengutip perkataan Marsya Christyanti, murid saya: “Terima kasih Tuhan, aku lulus ujian kejujuran.”

Kita butuh anak-anak seperti ini. Yang ‘naif’, idealis, dan tak takut berhadapan menentang dan menantang temannya sendiri untuk berbuat jujur. Malulah pada Marsya-Marsya yang bertebaran di negeri ini, jika kita, GURU, tidak punya kekuatan hati untuk memberi contoh berbuat jujur.

Semangat, nak! Selamat untuk yang sudah lulus UN. Bagi yang belum lulus, masih ada kesempatan. Semoga dikuatkan dan sukses UN ulangannya.

Tulisan ini dimuat juga di AksiGuru.org dengan judul yang sama.

5 Comments

  1. maya chan

    April 28, 2010 at 1:45 pm

    setuju dengan artikel diatas !! kejujuran juga penting..

  2. Rama

    April 30, 2010 at 7:55 am

    Terkadang guru pun gak jujur..
    Teman saya kuliah ekstensi yang teman2 sekelasnya
    banyak yg guru, pas ujian semester, sang guru malah minta contekan
    atau nanya ke temen saya ini..

    lha gimana ini? sang guru pun jika status-nya sebagai siswa
    ternyata gak jujur..

  3. Team Ronggolawe

    May 5, 2010 at 8:10 pm

    Berkunjung menjalin relasi dan mencari ilmu yang bermanfaat. Sukses yach ^_^ Salam dari teamronggolawe.com

  4. puti

    May 10, 2010 at 7:57 am

    mbak lita…, saya setuju sekali ! Kejujuran itu sangat penting sekali. karena itu modal pertama untuk membangun bangsa ini *tsaahh..

  5. Bruce

    May 22, 2010 at 5:28 am

    mbak lita…, saya setuju sekali ! Kejujuran itu sangat penting sekali. karena itu modal pertama untuk membangun bangsa ini *tsaahh..

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.