Mengajar untuk Belajar
Sudah satu setengah tahun ini aku menyediakan waktu sore untuk tutorial privat. Selesai mengajar, ganti baju dengan yang lebih santai (supaya lebih segar juga), lalu berangkat ke tempat mengajar kedua. Tak jarang dikomentari, “Wah, rajin, ya!”, yang biasanya kubalas dengan senyum saja. Bukan tentang rajin atau semata karena uang, ini tentang menjaga kewarasan.
Mengajar, bagiku, sudah menjadi kebutuhan. Sejak punya BananaTalk (di sana dari circa 2005), aku suka berbagi. Menjelaskan, bertanya, menjawab pertanyaan, dan -yang paling seru- berdiskusi. Tak selalu berjalan seperti yang diinginkan, tapi ya begitulah. Namanya juga manusia. Anak orang. Anak sendiri saja tidak bisa selalu diatur-atur, toh. Begitu pula dengan di kelas. Tak bisa semua berjalan persis seperti yang direncanakan. Tak tahu juga apa yang ada di kepala murid, kecuali mereka katakan. Tak tahu pula suasana kelas akan bagaimana pada hari itu.
Sejak mengajar kelas RSBI, aku merasa lebih banyak energi yang dikeluarkan, karena jumlah murid yang lebih banyak dan alur pengajaran yang harus mengikuti irama team-mate (karena pengajaran diberikan secara team-teaching, jadi selalu punya partner, kelas tidak dipegang sendirian). Katanya, kalau mau mencapai target lebih cepat, berjalanlah sendiri. Kalau mau menggapai lebih jauh, berjalanlah bersama. Katanya. Entah bagaimana, rasanya ‘laju pengosongan’ lebih cepat daripada ‘laju pengisian’ bagiku. Dan tidak lebih cepat mencapai target juga…
Karena sistem tidak bisa kuubah, berarti aku yang harus merancang jalanku untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. *ya kalau bukan aku yang memikirkan diri, siapa dong yang mikirin?* Prinsipku tetap sama: tidak mau mengajar murid kelasku sendiri. Sempat ‘compromized’ sementara, akibatnya aku mengajar dengan perasaan bersalah dan tidak menikmati. Lega sekali ketika dapat mengakhiri permintaan itu. Jadi syarat jadi murid tutorial privatku ya guru kelasnya harus selain aku.
Aku mengajar Advanced Level Chemistry untuk murid-murid yang berniat serius untuk mengambil ujian A-level. Belakangan ini kuamati murid-muridku tipenya seperti itu. Mereka yang ikut tutorial ‘hanya’ untuk lulus Ujian Tengah/Akhir Semester tanpa remedial, biasanya tidak bertahan lama denganku. Tidak sinambung. Walau aku tidak mensyaratkan target tersebut untuk ikut belajar denganku.
Bagiku, tutorial privat ini adalah saranaku belajar. Karena murid yang -paling banyak- hanya 3, maka komunikasi menjadi rapat dan diskusi menjadi intens. Pertanyaan ‘mengapa’, yang biasanya paling disegani oleh guru, harus kuhadapi dengan frontal tanpa penghalang jarak seperti di kelas. Kalau tidak bisa jawab, saat itu juga akan buka laptop atau ponsel, menjelajah internet untuk menemukan jawabannya. Kalau penjelasannya di atas kemampuan murid yang sedang belajar, harus kusederhanakan. Kalau mentok, ya kami akan ‘mengarang’ alasan-penjelasan yang menurut kami bisa memuaskan saat itu. Tak jarang menjadi canda. Tak apa.
Karena ini mengajar adalah juga saranaku belajar, maka pertanyaan murid seringkali kubalas dengan pertanyaan. Murid bertanya tak selalu karena tidak tahu. Mereka sering sudah punya asumsi awal, jawaban yang berbeda, atau menantang kemampuan gurunya. Manapun itu, pertanyaan harus diladeni (kecuali yang sifatnya pribadi). Tak semua murid siap ditanya balik. Yang defensif atau malas ‘berjalan sendiri’ untuk menemukan jawabannya, biasanya jadi enggan bertanya lagi. Untunglah mayoritas tidak kapok. Tapi ini jadi ‘seleksi’ sendiri bagi murid yang siap belajar bersamaku dengan jarak yang dekat seperti tutorial privat.
Karena saat-saat itu adalah ajangku belajar, mengajar privat seperti ini jadi kebutuhanku -seperti kubilang tadi. Ini adalah saat aku mengisi teko, memenuhi hausku sendiri dan menyediakan energi dan -kadang- sudut pandang baru untuk dibawa ke kelas. Keuntungan bagiku, keuntungan bagi muridku di kelas, dan keuntungan langsung bagi murid privatku yang bisa berkembang lebih leluasa tak dibatasi tembok kelas dan tenggang rasa pada teman sekelasnya yang lain -yang mungkin penguasaan ilmunya lebih rendah.
Semua ada harganya. Waktu, tenaga, dan keluarga. Harus ada kompromi. Harus ada ruang toleransi. Tak apa-apa. Hidup tak selalu untuk orang lain, kan?
Leave a Reply