Kewajiban Orang Dewasa
Saat sedang leha-leha sore atau menjelang tidur, biasanya fisik dan perasaan yang santai dapat memicu percakapan acak. Kalau dari anak-anak, yang muncul adalah pertanyaan yang biasanya tidak atau jarang terpikirkan oleh orang dewasa. Ini mungkin salah satunya.
D: Bunda, apa rasanya menjadi orang dewasa?
L: Maksud Daud?
D: Ya rasanya bagaimana. Apakah enak?
L: Menurut Daud enak atau tidak?
D: *geleng* Ngga enak.
L: Kenapa?
D: Karena harus kerja.
L: *manggut-manggut*
D: Tapi enaknya bisa punya SIM, nyetir mobil, main skateboard…
L: Daud ingin cepat dewasa?
D: *geleng*
Jadi begitu baginya. Dewasa identik dengan kewajiban dan kebebasan bergerak. Tidak seperti yang sering kudengar jika anak-anak ditanya mengapa ingin segera dewasa, “Ngapain aja bisa. Ngga ada yang melarang!” Tidak ada yang salah dengan pendapatnya. Percakapan terbuka, bukan diskusi untuk mencari pemecahan masalah.
Ada perasaan lega, karena Daud tidak melihat masa kanak-kanak yang sedang dijalaninya ini sebagai masa penuh larangan, serba tidak boleh ini-itu. Juga karena sisi yang dilihat Daud dari orang dewasa di sekitarnya adalah ‘bekerja’. Tentu ada perasaan sedikit sedih jika setiap hari ditinggal orangtuanya bekerja, terbukti dari wajah sumringahnya jika jadwal mengajarku sedang kosong atau aku pulang awal. Tapi tidak tanpa penjelasan yang memadai, sehingga dia mengerti tujuan dan konsekuensi orangtuanya bekerja.
Leave a Reply