Mereka yang Melecehkanmu
Aku beberapa kali pernah tanggapi. Cuilan cerita di sana-sini. Tapi mungkin saatnya mengulang cerita di sini. Tentang pelecehan.
Kalau kamu baca berita, atau cerita, atau dengar dari orang, tentang suatu pelecehan, reaksi normal adalah kamu marah. Selanjutnya akan bertanya, “Apakah korban melaporkan/melawan (atau sejenisnya)?”. Jawabannya sering berujung “Tidak”. Dan kamu akan gelisah, kesal, “Kenapa tidak?”. Mari kuceritakan…
Aku masih di sekolah menengah. Ingin datang ke SMP, ketemu ibu wali kelas (almarhumah). Ingin tahu kabarnya, ingin cerita. Seperti biasa, naik Metromini 54 (sekarang sudah tidak ada, sepertinya?), turun di halte Pusaka, melewati pinggiran rawa/sawah. Jalur yang lebih singkat ketimbang lewat jalan Pahlawan Revolusi dan menyusuri jalan Taruna.
Aku pakai rok sekolah (selutut) dan kaos berkerah. Kalau kamu tahu aku saat masih sekolah, kamu pasti tahu aku tidak pernah pakai baju ketat. Aku tidak bangga dengan tubuhku yang kurus dan tidak menarik. Dan aku tidak punya pikiran orang akan tertarik pada tubuhku.
Tapi tidak siang itu. Siang hari panas terik saat aku akan ke SMP. Laki-laki muda yang berpapasan denganku itu tiba-tiba menjulurkan tangannya dan meremas dadaku. Sambil lewat. Tanpa berkata-kata dan sudah itu saja. Aku nyaris tak sadar apa yang terjadi. Namun sedetik kemudian memutuskan untuk jalan saja. Jalan terus saja tanpa menoleh.
Jalan itu sepi. Aku menjerit pun tak berguna. Orang yang mendengar pun tak akan punya cukup waktu untuk melihat laki-laki tadi. Lalu apa? Dia akan diapakan? Paling aku yang ditertawakan. “Kenapa lewat situ?” Walaupun tak henti pertanyaan “KENAPA GUE???” ada di kepala.
Kuputuskan untuk berjalan tanpa menoleh karena aku takut dia akan melakukan lebih dari itu, saat itu juga, di situ. Kuputuskan untuk diam. Dan merasa terhina.
Kelas 2 SMA, kuputuskan untuk berjilbab. Meniru kakak-kakak kelasku, kuulurkan jilbabku panjang menutup perut dan punggung. Kutundukkan pandangan. Pakaian yang tadinya memang tidak pernah seksi, menjadi lebih longgar. Kurasa aku lebih tenang. Invisible.
Salah.
Siang hari, terminal Kampung Melayu. Kamu tahu ramainya terminal bau pesing itu. Dengan deretan mikrolet dan metromini ngetem di kolong jalan layang. Aku tak ingin ketinggalan metromini semata wayang ke SMA itu. Aku jalan tergesa di antara dua lajur mikrolet yang berbaris mepet ke tepi kiri dan kanan. Tak kusangka ada tangan terjulur, menggamit lengan. Segera kukibas dan berlalu. Sambil tawa-tawa terdengar riuh. Berjalan setengah berlari, aku marah. “KENAPA AKU LAGI? APA SALAHKU KALI INI??”
Bajuku? Kata orang seragam SMA menarik. Katakan apa yang menarik hasrat birahimu dari kemeja putih panjang, rok abu-abu panjang, dan jilbab terulur penuh menutupi seluruh badan atas. APA? Aku tutup tubuhku dan bentuknya yang tidak menarik dari pandanganmu. APA LAGI?
Kali lain, di terminal itu juga. Sekali ini tidak riuh supir berkumpul. Sedikit lega. Aku tidak perlu celingukan seperti maling, menatap nanar kanan kiri toleh depan belakang. Tapi seketika tangan terulur dari dalam mikrolet menjamahku, menarikku keras. Kali ini kutarik tanganku kuat-kuat dan kuteriaki, “HEY!!”. Laki-laki ini hanya menyeringai.
Sebelum para lelaki lain datang dan membuatku lebih ketakutan, aku berlalu dengan berjalan. Aku tahu aku lebih baik tidak berlari. Karena kalaupun tidak jatuh, aku bisa lebih mengundang kecurigaan. Bagaimana kalau aku yang diteriaki maling?
Aku ceritakan ini ke teman-teman Rohis saat itu tapi tidak ada yang bisa ‘menolong’. Mau apa? Dan hanya aku yang pulang ke arah Kalimalang. Teman lain ada les dulu, atau tidak naik mikrolet yang sama. Diputuskan aku akan ‘ditemani’ oleh seorang teman laki-laki. Dibuntuti lebih tepatnya. Tidak memecahkan masalah, tapi mungkin membantuku merasa aman.
Tapi pertanyaan itu tidak pernah lepas dari pikiranku. “KENAPA? KENAPA GUE? APA SALAH GUE?”
Pemahaman itu datang belum lama ini. Puluhan tahun sejak zaman TK celanaku dipeloroti oleh anak laki saat sedang bermain di mainan panjat dan diketawai bersama. Lebih tepatnya pemaafan untuk diri sendiri.
LITA, KAMU TIDAK SALAH. BERHENTI SALAHKAN DIRIMU DAN CARI APA YANG SALAH DENGANMU.
Kalau kamu tahu aku yang sekarang, kamu akan lihat aku ‘berbeda’. Seperti kata teman-teman SMA saat reuni 17 tahun angkatan kami.
Aku kini akan menatapmu lurus-lurus. Aku tidak ragu-ragu melangkah (walau tetap berhitung). Dan aku tidak akan meringkuk ketakutan merasa terhina.
Aku mengenakan kerudung, walau tidak lagi khimar panjang berkibar seperti di komik yang kubuat saat aku SMA. Aku juga memakai jeans, yang kadang agak sempit karena berat badanku naik. Aku pakai kaos, yang kadang panjangnya tidak sampai menutup pantat, karena kadang adanya ya itu.
Aku tidak lagi diganggu. Mungkin karena usia. Mungkin karena aku tidak tampak lemah. Mungkin karena memang tidak menarik saja. Berjuta kemungkinan.
Tapi aku akan bilang percuma kamu minta perempuan menutup tubuhnya untuk mencegah pelecehan dan perkosaan. Karena perempuan ber-niqab berbaju hitam pun tidak akan membuat tanganmu terhenti menjamahnya kecuali KAMU sendiri yang menahan dirimu.
Yang bisa mencegah itu ya kamu sendiri. Kamu, yang merasa dirimu lebih kuat dan BISA. Itu kan? Sebetulnya hanya itu, kan? Membuktikan bahwa kamu bisa. Membuktikan bahwa kamu gagah. (gagah apanya, lawan yang lebih kuat baru gagah, kamilah yang harusnya dibilang gagah, bukan kamu).
Aku hanya minta satu… tidak, dua. Satu, jangan salahkan korban. Apapun yang dia pakai. Jam berapapun itu terjadi. Di manapun itu. Apapun kondisinya. Terang, gelap, ramai, sepi, baju tertutup atau mini… Jangan. Dia korban. Titik.
Dua. Tahan dirimu. Tahan temanmu. Ajari anakmu untuk menahan diri. Terlepas dari anakmu laki atau perempuan. Tidak semua harus diumbar. Tidak keinginanmu menjamah, tidak pikiran jorokmu (entah apa fantasimu), tidak kata-kata yang menurutmu pujian.
Kalau kamu memang ingin memuji (perempuan), datangi dari depannya. Baik-baik. Permisi. Tanyakan kesediannya untuk mendengarmu sebentar. Katakan keperluanmu. “Yaelah, gue cuma mau bilang dia cantik doang ribet amat.” Lalu? Setelah itu apa? Setelah dia tahu bahwa kamu berpendapat bahwa dia cantik/seksi/menarik lalu apa? Gitu aja? Diamlah. Tak ada manfaatnya untukmu. APALAGI BAGI DIA.
Apalagi kalau kamu hanya berani ‘berpendapat’ saat kamu dengan temanmu. PENGECUT. Diam kau. Keberanianmu untuk menyuiti perempuan itu tak berguna. Cengiranmu pada lekuk perempuan tak membuat mereka jadi hina. Kekuatanmu saat menjamah yang (kamu anggap) lebih lemah darimu itulah yang HINA.
Kamu yang punya niat hina dan kami yang merasa terhina? Kamu yang berbuat dan kami yang merasa salah? Pasti ada yang salah di sini. Dan tentunya masyarakat kita punya andil dalam memelihara pengalihan kehinaan ini.
Hentikan. Hentikan ini dengan mendidik anakmu, adikmu, menegur temanmu, apalah. Bicara. Jangan biarkan ketidaksetujuanmu berdiam di kepala tapi membiarkan dengan senyum-senyum saat kamu bersama temanmu.
Sekecil apapun yang kamu lakukan, sungguh dapat berbekas seumur hidup pada orang lain.
Lita
May 8, 2016 at 2:17 pmMbak, umm.. Sekolah kita samaan ya? #gapenting #tapigatahannanya
Lita
May 8, 2016 at 2:21 pmMungkin 😀 SMP atau SMA nih?
Kenampakannya agak lucu, sih.
Lita bertanya ke Lita, “Sekolahnya sama, ya?” XD
ruth
May 13, 2016 at 1:21 pmAku pernah Lit, pas masih SMP lagi jalan temenku dipegang dadanya, pas kami mengerubuti dia yang nagis eh dari belakang, cowok dari gerombolan yang sama lari megang pantatku, lalu kukejar kugebuk yang megang, berujung berantem gebuk2an trus dilerai orang, ditanya apa sebabnya. Waktu mereka tau, orang-orang dewasa itu bilang, “alah cuma dipegang doang nggak rugi, lagian kalian jangan centil-centil”
Lho?!
Minggu depannya aku daftar ikut les karate 😀 😀 😀
Lita
October 21, 2016 at 2:46 pmOrang-orang dewasanya juga digebuk aja sekalian -_-”
Gimana, sik!
Ini komennya nyasar masuk spam, lho. Maaf, ya!