Hati-hati dengan Alias MSG

Salah satu zat aditif (tambahan) untuk makanan yang beken sekaligus kontroversial adalah MSG (monosodium glutamat). Pemberitaan tentang MSG -seingat saya- tidak pernah heboh (kecuali kasus Ajinomoto jaman pak Dur) dan dampaknya tidak signifikan terhadap industri. Abang bakso (dan kawan-kawannya penjual makanan keliling maupun tidak keliling) tetap setia pakai MSG dan pelanggannya juga tetap setia (sebelum merebak penggunaan pengawet dan bakso tikus).

Di Indonesia, bahkan penelitian-penelitian dikembangkan untuk mencari alternatif bahan baku pembuatan MSG.

Dari hasil cari informasi, saya mendapati bahwa untuk kasus MSG ini publik terbagi menjadi 2 ekstrim: MSG is deadly dangerous (karena itu sampai diadakan pendekatan ke pemerintah untuk menekan perusahaan pembuat MSG. note: bukan di indo sini) dan MSG aman dikonsumsi.

Ke sebelah mana anda berpihak, tentu itu hak prerogatif anda saja. US FDA sendiri berkata "generally recognized as safe": MSG aman untuk pemakaian tak berlebih, dalam kelas yang sama dengan garam, cuka, serta soda kue. Gosipnya, ada duit gede yang beredar dalam rangka sustainability produsen MSG di Amrik sono. Entah… saya tidak mencari tahu.

Saya? Saya sih adem saja, walaupun setia cerewet untuk memperingatkan orang-orang dekat untuk menjauhi MSG. *hihi, adem kok cerewet* Di rumah tak ada persediaan vetsin. Tapi kalau harus berurusan dengan mi instan, nyerah juga saya. Lha wong kalau sedang kepepet (misal jatah makan saya diembat adik yang emang napsu makannya rada gila2an), saya juga makan :p

Anda ingin diet bebas MSG? Kalau masak sendiri dan semua bumbu asli racikan dapur anda, tentu tidak ada masalah. Tapi kalau membeli makanan dalam kemasan, lain ceritanya. Dan kemasan yang bertuliskan ‘No MSG‘ atau ‘tanpa MSG‘, belum tentu benar-benar bebas glutamat. Kita tetap perlu mencermati tulisan yang tertera setelah ‘komposisi’.

Alias paling sederhana adalah mononatrium glutamat. Yang pernah belajar kimia (dalam bahasa Inggris), tentu tak berpikir dua kali untuk mencerna bahwa sodium itu bahasa Inggris-nya natrium.

Alias lainnya adalah hydrolysed protein (protein terhidrolisa), hydrolysed vegetable protein (protein sayuran terhidrolisa), sodium caseinate, autolysed yeast (atau yeast extract atau ekstrak ragi), tepung gandum terhidrolisa, dan minyak jagung.

Penyedap yang ‘seringkali‘ berisi MSG adalah whey extract (ekstrak gandum), malt extract / flavoring (ekstrak malt), seasonings (tulisan ini ada di bungkus bumbu mi instan), flavourings (termasuk yang natural ataupun rasa lain seperti daging), broth (istilah ini sering dipakai di lab. mikrobiologi untuk medium pertumbuhan bakteri, biasanya mengandung yeast extract).

Sedangkan sumber MSG yang ‘mungkin‘ di antaranya adalah carrageenan atau vegetable gum, enzim, protein (termasuk isolat atau konsentratnya), soy protein atawa protein kedelai, soy sauce alias kecap, serta whey protein concentrate.

Nama ‘alias’ dari MSG ini sudah lama digunakan (paling tidak 10 tahun yang lalu) sejak ditemukannya efek negatif dari konsumsi MSG. Produsen yang menyadari bahwa konsumen semakin ‘pintar’, tak ingin kalah pintar dengan cara menyiasati peraturan. Produsen bisa jadi memang tak bersalah. Yang ditambahkan pada makanan kemasan memang bukan MSG, melainkan bentuk lain bernama lain namun hasil dan efek sampingnya (bisa jadi) sama dengan MSG.

US FDA memperkecil kemungkinan penyiasatan tersebut dengan pengharusan pencantuman ‘contains glutamate‘ untuk aditif apapun yang mengandung glutamat dalam kadar yang signifikan (sebagai penguat rasa). Tapi rasanya keharusan ini tidak berlaku di Indonesia, karena saya belum pernah lihat ada tulisan tersebut setelah kata ‘yeast extract‘.

Lagi-lagi, sindrom negara dunia ke-3: produsen adalah raja. "Elu mau beli ya sukur, gak mau beli ya gak usah cerewet". Sadisnya, tiap hari kita bermandikan iklan yang mengaitkan makanan produk mereka dengan gaya hidup tertentu. *padahal bahan bakunya belum tentu yang berkualitas paling baik*

Coba tengok lagi simpanan makanan-dalam-kemasan (a.k.a processed foods) anda, mi instan, snack, nugget (apapun merk dan jenisnya), kecap, dll. Apakah ada bahan yang saya sebutkan? Dan ini masih di luar pengawet, pewarna, dan aditif lain.

Sumber:

  1. isni

    January 22, 2006 at 3:30 pm

    wew.. dah lama pengen nyari artikel yg ngebahas tentang ini.. ketemu jugak… emang susah nyari makanan sehat sekarang. indomie aja ngaku2 makanan sehat.. saos.. pengawetnya barangkali ga kira2 banyaknya.. i miss jaman batu.. **halah…**

  2. danu

    January 23, 2006 at 5:10 pm

    makin syusyeh nyari makanan yang aman ya bu, kalo orang dewasa sih masih mending mungkin masih bisa toleransi, nah kalo bayi atawa balita yang kena msg terus…

  3. wandira

    January 24, 2006 at 9:11 am

    Thanks infonya .. ibu ahli kimia.. sangat berguna. Sekarang pengganti MSG apa ?? Lidah sudah terbiasa merasakan vetsin…tidak ada vetsin rasanya gak enak. Saya sendiri berusaha menghindari makanan yang ada MSG nya, ya apa daya kalau berhadapan dengan produk kemasan .. trus makan di kantin juga …

    lita: kalo gak salah, nambahin gula saat (kuah) makanan mendidih juga bisa bikin masakan gurih tanpa harus pakai MSG. gantinya? ya… bumbu dapur biasa aja kali ye… menghilangkan kebiasaan memang sulit, pak!

  4. kere kemplu

    January 25, 2006 at 11:30 am

    di rumah sih kami gak pakai msg. lha kalo makan di luar, terus msg si penjual tertabur terlalu banyak, walah… lidah saya panas dan gatal, tenggorokan juga. kalo msh dikit sih pengecepan saya agak kebal 🙂

    gak tahu ya, kenapa orang lain malah kegaihan. padahal secara sederhana saya cuma memahami msg sebagai peningkat kepekaan lidah thd rasa — mau gurih sebagai rasa kelima silakan aja 🙂

    kalo bumbunya berani proporsional, gak berhemat, masakan tanpa msg bisa enak kok. lha penusaha katering kadang terlalu berhemat bumbu. pengusaha warung makan juga gitu.

  5. paririan

    January 25, 2006 at 1:01 pm

    OK …..
    sekarang calon istri akan saya tambahin syarat……
    “pinter masak dan say no to MSG”
    hehe….

    lita: bukannya lagi jomblo yak?…

  6. Aswad

    January 26, 2006 at 1:22 pm

    hati2 lho kalo tukang baso, mie ayam, batagor, gorengan baca blog ini nanti anti di omelin lho…

    lita: lha, bapak malah lebih lengkap nyebutinnya 😀 gak takut ah, kan fakta *sambil celingukan cari tukang gorengan yg bawa palm top*

  7. Yahya

    July 17, 2006 at 2:08 pm

    Ok, that’s it…
    i had enough of it. I’ve deleted it. End of case.

    Seharusnya blog menjadi sarana yang sehat untuk berdiskusi dengan suasana yang baik.
    Buat Dedy, you’re not making a discussion man … Karena yg anda cari adalah PEMBENARAN. So, you’ve had your own right.. dead set. Dan anda tidak sedang mencoba berdiskusi tapi sedang trying to pick a fight. I can’t have it here.
    Lain kali kalau memang ingin berdiskusi, gunakan metoda dan semantik yang benar. You came up with bombastic & fantastic fact without single reference .. ?? what? r we supposed to believe just like that ? Just because you say so? Next time, if you want to contradict or saying something better back it up with a lot of reference (have to be scientifically valid of course).

    don’t bother to comment back, i’ve banned your ip address.

    .IniRumahkuAdministrator.

  8. nYam

    July 17, 2006 at 3:15 pm

    kalo dari bukunya Wolke, MSG kan penguat rasa. kalo emang rasa aslinya udah enak, ya yang muncul enak. kalo dah ga enak, mau MSG sekilo juga ga enak (eh malah tambah ga enak yah?). kalo penyedap rasa, orang Jepang pake rumput laut kan? cmiiw

    aku mungkin termasuk yang rentan MSG. makan apa aja yang MSG nya tinggi, langsung migren. sebisa mungkin, no MSG deh.

    btw, salam kenal

  9. Dhika

    July 17, 2006 at 4:21 pm

    #Yahya,
    galak juga nih adminnya 🙂

  10. Amalia

    July 17, 2006 at 10:31 pm

    lucu ya, msg itu ternyata punya banyak nama. jangan-jangan dia juga punya saudara kembar? orang jawa tengah menyebut ‘moto’ orang daerah lain ‘micin atau vetsin’. yang gak habis pikir kenapa ya kok dia bisa bikin emosi banyak orang? mohon maaf sebelumnya karena tidak dilengkapi sama referensi. maklum pendidikan saya gak tinggi2 banget. jadi malu nih. sekedar urun rembug kemawon. Kulo nggeh mboten saged ngomong inggris. Sepuntene mbok menawi wonten ingkan kalepetan.

  11. Lita

    July 17, 2006 at 11:05 pm

    nYam
    Mbak, kita udah kenalan lho waktu blog ini belum ganti kulit.
    *ah saya GR berharap selalu diingat :p *

    Iya, rumput laut dan tomat bisa jadi penyedap. MSG sekilo? Makanannya bisa kalah banyak dong? 😀

    Dhika
    Kalau Dhika mengikuti alur pembicaraan sebelum admin bertindak, mungkin akan mengerti kenapa admin segalak itu :p

    Amalia
    Ada yang barangnya sama dan namanya lain. Ada pula yang barangnya tidak sama, tapi fungsinya sama. Ada lagi yang barangnya tidak sama, fungsinya mirip, dan mengandung gugus yang sama (glutamat).

    Moto, micin, vetsin, itu bendanya sama, bahan bakunya sama, merknya saja berbeda.

    Bikin emosi? *no comment ah*

    Referensi diperlukan untuk menguatkan dasar pendapat, seringkali ketika sedang ‘diadu’ dengan pendapat lain yang bertentangan (walau tidak harus demikian kasusnya). Dan untuk saya yang tidak meneliti secara langsung, untuk bikin tulisan ini ya harus mencari referensi dulu 🙂

    Waduh, saya yang ngga bisa bahasa Jawa nih. Tapi saya jamin admin pasti ngerti :mrgreen:
    Salam kenal, Amalia.

  12. Lita

    July 20, 2006 at 11:03 pm

    Saya mendapati e-mail ini di bulk folder, tempat ditampungnya e-mail yang ‘tidak dikehendaki’.

    Mohon pengirimnya tidak tersinggung (saya katakan ‘tidak dikehendaki’), sebab e-mail tersebut berasal dari IP address yang sudah di-banned oleh administrator (lihat komentar no.8).


    Ass, wr, wb
    Ijinkan saya mengoreksi tulisan ibu yang menyatakan bahwa ‘Di Indonesia, produsen MSG merupakan perusahaan-perusahaan besar yang saling mendukung dengan cara pengembangan jaringan pemasaran yang tidak overlapping antar produsen‘.

    Adakah dasar data dari pernyataan tersebut? Saya sebagai pemerhati pemasaran selama beberapa tahun ini tidak pernah melihat secara langsung dilapangan atau referensi manapun yang menyatakan hal tersebut.

    Data lapangan memperlihatkan hampir disemua kota besar semua merk bersaing secara fair. Mereka bisa ditemui secara bersamaan. Baik secara demografi ataupun sisi harga. Harga mereka bersaing satu sama lain. Jadi tidak ada unsur kartel. Ada yang mahal ada yang relatif murah beserta promo program masing-masing.

    Implikasi dari tulisan tersebut akan memberi kesan bahwa produsen msg adalah perusahaan yang bertendensi curang.
    Dan apabila memang saudara mempunyai data yang valid saya persilahkan untuk melaporkan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yang telah ada sejak tahun 1999. Mohon untuk segera dikoreksi dan diberikan penjelasan.

    Terimakasih, Wassalam
    harry_k@xxx

    Terimakasih atas perhatian anda, pak Harry.

    Saya memang tidak memiliki dasar on the record atas pernyataan yang bapak inginkan saya untuk dikoreksi. Namun demikian, saya tidak mengada-ada.

    Informasi tersebut saya peroleh dari teman yang pernah menjalani kerja praktek di suatu perusahaan pembuat MSG, didapat langsung dari pihak perusahaan tersebut (first hand).

    Sebagai catatan, pihak perusahaan minta agar informasi ini tidak direkam (secara tertulis maupun dengan media lain). Hal ini membuat tidak adanya rekaman valid yang dapat saya bagi di sini.

    Dan sebagai catatan tambahan; ketika saya konfirmasi (pada hari yang sama saat saya mendapati e-mail dari pak Harry), teman saya membenarkan adanya informasi tersebut namun tidak bersedia membuat pernyataan (yang dapat saya rekam sehingga anda dapat lebih yakin bahwa sumber informasi ini memang ada) apapun.

    Saya dapat memahami apabila tingkat kepercayaan terhadap pernyataan saya ini bisa sangat bervariasi. Dan saya tidak menyalahkan siapapun yang memilih untuk tidak percaya atas penjelasan saya.

    Dengan penjelasan ini, saya tarik kembali pernyataan tersebut dan diskusi ditutup.

    No further comment, I closed the form.

  13. BananaTalk - Lita Mariana’s Weblog » Blog Archive » Rotten Tree(s) In The Forest

    August 18, 2006 at 6:57 pm

    […] Menanggapi aura negatif seperti ini seharusnya tidak menghabiskan energi, ruang, dan waktu berpikir yang kita miliki. Dan saya telah melakukan kesalahan. Harusnya saya menuruti saran suami untuk tidak menulis dalam keadaan marah. Marah karena diserang, tersinggung karena diejek. Jika menulis dalam keadaan demikian, maka yang hadir adalah ejekan balasan. Membuat argumentasi yang hadir menjadi kurang 'rasional' karena tertutup oleh emosi. […]

Comments are closed.