Waktu yang Berkualitas
Posting ini membicarakan tentang ibu. Tapi bapak-bapak, mas-mas dan mbak-mbak juga boleh baca. Sekadar berbagi resah, yang mungkin tak hanya diriku yang merasakan *duh… kedengeran melankoli yak? hihi..*
Tahun lalu -kalo gak salah inget- aku baca buku menarik tentang ibu bekerja. Buku itu menggambarkan kegelisahan sang penulis -yang adalah seorang ibu- mengenai banyak hal di seputar ibu yang bekerja. Working mom banyak dikonfrontasikan dengan ibu rumah tangga -bekennya: full-time mom– dalam hal efeknya terhadap anak. Banyak penelitian, banyak kesimpulan. Namun tak banyak yang bisa menjawab kegelisahan dengan tepat.
Aku, sebagai yang akan menapak jalan yang sama, punya kekhawatiran. Tentang bagaimana ‘nasib’ anak-anakku kalau kutinggal kerja. Selama ini, media dan masyarakat cenderung punya tanggapan negatif terhadap ibu bekerja.
How come? Yah… kalo ada anak yang bandel dan ibunya pekerja, sangat mungkin tanggapan orang adalah, "Oh, pantes. Ibunya kerja, kurang perhatian". Mom’s fault. Kalo ada anak prestasinya kurang baik (dibandingkan temen-temennya) atau menurun dan ibunya bekerja, kata guru, "Ibunya kerja sih, jadi anaknya kurang diperhatikan". Again, mom’s fault. Kenapa bapak gak disinggung-singgung seh? Emangnya soal kematangan emosi dan kecerdasan kognitif anak hanya urusan ibu? Emangnya bapak gak punya tanggung jawab di bidang ini ya?
Baiklah, bapak bekerja untuk menafkahi keluarga. So what? Otomatis terlepas dari urusan ‘domestik’? Nah.. yang berpikir seperti ini bisa digiling sama feminis. Ah ya lupa, banyak feminis yang memilih ngga nikah karena enggan berada ‘di bawah’ dominasi suami…
Apakah urusan anak -baik pendidikan, kesehatan, pembinaan emosi, dll- itu cuma kerjaan ibu? Hingga tega-teganya masyarakat ini memberi vonis bahwa ibu bekerja berdampak kurang baik bagi perkembangan anak. Apa iya kalo ada anak yang ‘manis’, pinter, dan ibunya ngga kerja lalu tanggapan orang, "Oh ibunya ngga kerja sih, jadi anaknya diperhatikan"? Sepertinya, ibu itu jadi ‘keranjang sampah’ dunia. Kalo ‘kualitas’ anak kurang, ibu-bekerjalah yang paling segera disalahkan.
Yang melegakan dari buku itu adalah bahwa ternyata jawaban bagi permasalahan anak bukanlah ibu-bekerja harus berhenti dan ‘masuk kandang’. Dan permasalahan anak bukan disebabkan oleh bekerjanya sang ibu, melainkan kurangnya keahlian ibu dalam menjalani peran ganda itu.
Solusinya? Menjadi ibu-bekerja yang ideal adalah dengan berperan sebagai pekerja sekaligus sebagai ibu rumah tangga. Mungkin tampak mustahil. Ini ngga berarti ngga boleh punya housekeeper lho! Usaha menuju ideal akan dihargai oleh siapapun, terutama oleh anak-anak yang melihat ibu mereka berpeluh sepulang kerja dan tetap tersenyum menanyakan hari yang mereka lewati. Ibu yang bekerja namun tetap berusaha menyediakan waktu yang luas DAN berkualitas bagi anak-anaknya tentu akan disayang dan dimengerti kesulitannya oleh anggota keluarga. Tentu saja tidak dengan pengorbanan yang tanggung. Lelah luar biasa jangan ditanya.
Untuk topik ibu-bekerja ini, sering beredar kalimat sakti: ‘waktu yang berkualitas‘. Percaya? Aku ngga. Kamu gak setuju? Ya boleh dong, pendapat pribadi kan boleh aja toh? hehehe…
Biasanya, frase itu dipakai oleh orangtua yang mencari dalih. Kok begitu? Ya karena mereka yang tak mencari dalih tentu sadar betul bahwa waktu yang berkualitas hanya dapat dicapai setelah ‘buang waktu’ bertahun-tahun untuk mengenali anaknya. Setelah ‘kenal’, barulah bisa mengenali suasana hati tanpa harus bertanya dan nyaman untuk berinteraksi walaupun dalam waktu singkat.
‘Waktu yang berkualitas’ ini -untuk anak- bisa jadi paling ngga laku untuk 2 fase: bayi dan remaja. Menafsirkan arti tangis bayi dalam waktu singkat yang ‘berkualitas’? Haha, big joke! ‘Waktu berkualitas’ dengan anak remaja? Right… Orangtua -kebanyakan- adalah mahluk terakhir yang tahu detil kehidupan pribadi anak remajanya. Jarang banget remaja yang mau curhat sama orangtuanya. Contohnya aku :p Ngga musuhan sih, setidaknya aku masih nanya, "Mah, Ita boleh pacaran ngga?", yang disahuti ibuku dengan, "Dilarang juga tetep aja kan?". Dan kami berdua nyengir.. *doh, masa lalu… SMP!*
Seberapapun sayang, tak akan terjadi dialog jika satu pihak tak mengerti bahasa yang digunakan pihak lainnya. Seberapapun cinta, akan sulit mengerti dan mempertahankan pernikahan jika telinga tak dibuka untuk mendengar kesah. Dan siapapun orangtua, dia butuh waktu yang berlimpah-limpah untuk dapat mengerti apa yang diinginkan oleh anaknya dan ‘bahasa’ apa yang digunakan; terutama bayi. Belajar menguasai bahasa dan menyimak arti di balik perbuatan inilah yang memakan waktu lama.
Terlalu muluk jika orangtua berharap anak akan mengerti arti ‘waktu yang berkualitas’. Yang anak mengerti; orang yang menyayangi akan ada saat mereka butuhkan. Ya ya.. silakan saja bilang, "Ngga main bareng mereka sepanjang hari kan ngga berarti kita ngga sayang mereka". Katakan itu pada mereka dan dengar jawabannya beserta ekspresinya. I won’t tell.
Kamu bilang anak suatu saat akan mengerti? Ya, mungkin kelak mereka mengerti; ketika telah dewasa dan mengulangi pola yang sama.
yanti
January 30, 2006 at 3:00 pmibu yg bekerja harus bisa berperan ganda, dan harus punya suami yang mau bekerja sama (emm.. moga2 solusinya bukan dgn ‘ganti suami’ :P).
ibuku juga kerja di luar rumah dari sejak aku kecil sampe hari ini. tapi papa malah jam kerjanya lebih fleksibel. jadi kita anak2 lebih deket ke papa ;).