Bukan Salah Ibu Bekerja

Kalimat pembuka dari saya: saya tidak setuju jika perempuan/istri/ibu tidak boleh bekerja. Penjelasan dari saya akan panjang, jadi silakan bersiap dengan cemilan dan minuman hangat.

  1. Jangan menghakimi perempuan yang bekerja di luar rumah sebagai ‘memilih karir di atas keluarga’.
  2. Bekerja tidak sama dengan mengejar karir dan PASTI belum tentu melalaikan keluarganya.
  3. Jangan hibahkan seluruh masalah dunia ke bahu ibu.
  4. Feminis belum tentu "semata-mata hanya merasa bahwa menjadi seperti laki-laki adalah sesuatu yang hebat".

Mari kita runut perjalanan meniti rumah tangga lebih dulu untuk merumuskan masalah supaya lebih jernih untuk diamati.

Berawal dari komitmen.

Fungsi utama dari perkenalan sebelum menikah adalah mengenal calon suami *ya iya lah!* (maksud gue, fungsi utama tuh bukan aktivitas pacarannya, getoo!). Tak hanya mengenal keluarganya namun juga kepribadian dan isi kepalanya (ide dan cara pandangnya terhadap berbagai hal). Bukan hanya foto dan lembar informasi berjudul biodata.

Hal pertama yang saya tanyakan kepada suami adalah: bagaimana pandangannya tentang perempuan bekerja, dan apakah saya diizinkan untuk berkarya di luar rumah. Saya bertanya seperti itu bukan karena saya berhaluan feminis. Saya ingin tahu sampai di mana fleksibilitas sikapnya terhadap peran istri.

Jika dia ingin saya di rumah saja, saya ingin tahu tawarannya tentang bagaimana saya bisa meningkatkan kualitas diri, terutama dalam bidang keilmuan yang saya minati. Jika dia mengizinkan saya ke luar rumah, saya ingin tahu sampai sejauh mana saya diizinkan melangkah.

Pilihan untuk bekerja atau tinggal di rumah sebagai ratu rumah tangga, terlepas dari beban ekonomi yang memaksa pilihan lain, bagi saya bersifat sangat pribadi dan tergantung kepada masing-masing pasangan suami-istri.

Tipe suami/istri tidak hanya satu.

Tidak semua suami suka jika istrinya memilih bekerja, seperti halnya tidak semua suami suka jika istrinya berdiam saja di rumah. Bukan, bukan soal ‘pilihan tinggal di rumah adalah hal yang ketinggalan jaman, nggak ngetrend atau mengekang kebebasan perempuan’. Tapi tipe suami tidak hanya satu.

Ada yang pencemburu, sehingga lebih suka jika istrinya tidak banyak berinteraksi dengan laki-laki lain (yang mungkin dijumpai di tempat kerja). Ada yang sangat memahami dinamisme istri, yang semasa kuliah adalah aktivis yang tak tahan berdiam, sehingga risiko interaksi istri dengan lelaki lain telah diantisipasi baik-baik.

Suami yang baik tentu berusaha memahami pribadi istrinya dengan tidak memaksakan suatu keputusan sebelum dibahas berdua secara hati-hati. Manapun keputusan yang dipilih, cara untuk meraihnya harus tetap nyaman bagi keduanya.

Tipe istri juga tidak hanya satu. Ada yang senang tinggal di rumah, ada yang butuh adaptasi untuk bisa berdiam di rumah, ada pula yang senang bekerja (sosial maupun yang memberi keuntungan). Pilihan untuk berkarya tidak serta merta menjadikan istri sebagai penjahat komunitas. 

Tak sedikit istri yang melangkah ke luar, lalu memutuskan untuk kembali ke rumah, menjadi ibu rumah tangga purna waktu setelah merasakan kerasnya dunia kerja. Jadi suatu keputusan yang mereka buat, belum tentu menjadi pilihan hidup selamanya. Seperti tak semua orang selalu benar atau selalu salah.

Nah, sampai di sini, anda dapat memperkirakan peran di masa datang.

Apakah istri boleh bekerja?
Apakah anda siap dengan konsekuensinya?
Apakah anda siap untuk mengorbankan segala yang lain dan menjadi ibu rumah tangga purna waktu?
Apakah anda siap untuk berkarya dari rumah?
Apakah anda akan melanjutkan ta’aruf ke jenjang pernikahan dan siap menerima ‘kejutan’ lain dari isi di kepalanya?

Bekerja adalah keputusan pribadi.

Kelak, ketika pernikahan sudah ditapaki, maka dimulailah perjalanan menuju tafahum (memahami) dan ta’awun (membantu). Dan tahapan ini belum tentu dipahami oleh orang lain di luar lembaga rumah tangga dalam persepsi yang sama. Tafahum bisa disangka cuek oleh tetangga. Ta’awun bisa dituduh ditindas istri oleh bapak-bapak lain.

Di luar keputusan yang bergantung pada pribadi, tentu ada ‘paksaan’ keadaan. Ketika penghasilan suami belum mampu menopang seluruh kebutuhan pokok rumah tangga, tak sedikit pula istri yang bersedia untuk sumbang tenaga dengan bekerja di luar rumah. Tentu baik jika bisa bekerja dari rumah. Tapi akan lebih baik jika kita hargai mereka yang memutuskan untuk bekerja di luar rumah.

Istri adalah rekan suami, bukan keseluruhan rumah tangga.

Manusia, sebagaimana sifatnya, memang tidak bisa sepenuhnya obyektif dan tidak berpihak. Ada saja hal yang dipandang salah, bagaimanapun suatu keputusan diambil seseorang. Hal ini terjadi juga pada kasus ibu bekerja.

Jika anak dari ibu bekerja terkesan nakal dan kemampuan sosialnya kurang bisa diterima oleh orangtua anak lain, maka si ibu disalahkan. "Ibunya sih kerja, anaknya gak diperhatiin deh!".
Tapi jika anak dari seorang ayah yang bekerja di rumah memiliki sifat ‘nakal’, masyarakat tak lantas menghakimi si ayah sebagai ‘ayah yang tidak perhatian dan kurang bisa mendidik anak’, sebagaimana cap yang diberikan kepada ibu purna waktu yang memiliki anak yang bersifat sama.

Ibu memang madrasah pertama umat. Namun jangan bebankan semua beban generasi baru kepada ibu. Tugas utama ayah memang memberi nafkah keluarga, namun tidak berarti ayah tidak mempunyai andil penting dalam pendidikan anak.

Bekerja belum tentu lalai atas keluarga.

Bukan hal yang bijak jika kita menyalahkan ibu bekerja atas keadaan anak. Ibu bekerja belum tentu abai. Ya ya, ibu yang di rumah saja belum tentu bisa memberi ‘output’ anak yang memuaskan, apalagi yang bekerja di luar rumah. Begitu? Maaf, tampaknya belum ada hasil penelitian yang mengemukakan hubungan tersebut dengan memuaskan.

Yang lebih tepat sebenarnya adalah, ibu tidak boleh melalaikan keluarga. Mengejar karir boleh-boleh saja. Asalkan perannya sebagai ibu tetap dilakoni dengan baik.

Sulit sekali memang, untuk menjalani dua peran sekaligus. Tapi teman-teman yang pernah merasakan -dan berbagi dengan saya- mengatakan bahwa menjadi ibu rumah tangga purna waktu sungguh suatu ‘pekerjaan’ yang sangat berat. Bahkan sebagian mereka lebih suka menjalani peran ganda daripada menjadi ibu purna waktu.

Ketenangan hati dan kesiapan batin sebagai syarat utama pengasuhan.

Mengapa menjadi ibu purna waktu itu sulit? Karena sepenuh waktunya dihabiskan di hal yang ‘sama’, di tempat yang ‘sama’. Sedikit sekali hal yang dapat mengalihkan perhatiannya. Konsentrasi dituntut tinggi, dengan demikian tekanan juga tinggi. Kata siapa ibu rumah tangga lebih rendah stresnya daripada ibu bekerja?

Apakah ibu bekerja itu suatu hal yang buruk? Apakah ibu bekerja itu lantas menjadikan si perempuan menjadi perempuan yang buruk, yang dituju oleh hadits Jika kaum wanitanya baik maka bangsa itu akan baik, sebaliknya jika wanitanya buruk, maka bangsa itupun akan buruk pula ?

Ibu bekerja umumnya beroleh -setidaknya- satu keuntungan selain finansial, yaitu teralihnya perhatian mereka dari masalah rumah tangga. Nah, jangan dihakimi sebagai melarikan diri. Semua butuh pelarian. Hati pun butuh penyegaran.

Jika dengan bekerja si ibu jadi lebih bahagia, maka dia akan punya banyak ketenangan dan kebahagiaan yang cukup untuk dibagi kepada anak-anaknya. Hal penting yang didamba anak dari ibu.

Jika dengan tinggal di rumah si ibu menjadi sungguh tidak bahagia dan tertekan sepanjang waktu, maka dia tak punya lagi cukup kebahagiaan dan sakinah yang dapat dibagikan kepada keluarganya. Jika ini terjadi, ibu purna waktu sama sekali tidak lebih baik daripada ibu bekerja.

Dari cerita sepanjang ini, yang saya maksud cukup sederhana: inti masalahnya bukan pada bekerja atau tidaknya si ibu, tapi kesiapan dan ketenangan batin dalam me
njalani perannya
.

Sekian, semoga dimengerti. Terimakasih bagi siapa saja yang bersedia menyimak sampai habis walau sepanjang ini :mrgreen:

101 Comments

  1. dental

    June 22, 2006 at 11:04 pm

    “bekerja” itu identik dengan “mendapatkan penghasilan” dalam hal ini uang ya?
    bukannya mengurus rumah / anak dirumah juga juga bisa disebut ‘bekerja’.

  2. ebonk

    June 23, 2006 at 3:24 am

    Feminis belum tentu “semata-mata hanya merasa bahwa menjadi seperti laki-laki adalah sesuatu yang hebat”.

    Yang ini dalem banget nih, Bu!

  3. Hadi

    June 23, 2006 at 7:34 am

    Hmmm..bisa jadi referensi bagi yang belum nikah (mode manggut2).

  4. Lita

    June 23, 2006 at 8:55 am

    Dental
    Dalam lingkup bahasan tulisan ini, YA, bekerja aku identikkan dengan mendapat penghasilan. Mengurus keluarga -bagiku pribadi- adalah sebuah pengabdian, sehingga rasanya kurang pas jika disebut bekerja.

    Walau begitu, aku juga tetap membahasakan “Mentang-mentang gue di rumah doang, trus gue gak punya kerjaan?”. Hehe… itu pekerjaan rumah namanya :mrgreen:

    Ebonk
    Yang di dalam tanda kutip itu berasal dari seorang teman di milis yang menyatakan demikian.
    Aku yakin tidak semua feminis berpikir demikian. Masa iya kehebatan perempuan hanya sebatas perbandingan dengan laki-laki?

    Hadi
    Yoi, silakan diambil :mrgreen:
    Sebagai referensi dan koreksi juga bagi mereka yang memandang sinis pada ibu bekerja.

  5. Mbilung

    June 23, 2006 at 8:59 am

    Jos gandos setuju.
    btw, terima kasih buat cipika cipikinya … huhuuuy *ngacir kenceng*

  6. Dhika

    June 23, 2006 at 9:04 am

    :), cross posting everywhere je… *tapi emang layak!

  7. Irma Citarayani

    June 23, 2006 at 9:26 am

    Waiya!!!setuju banget deh sama semua opininya lita!!

  8. fatimah

    June 23, 2006 at 9:34 am

    setujuh… :D, eh..eh…mau mulai kerja ya.. πŸ˜›

  9. fatimah

    June 23, 2006 at 9:35 am

    wah..kurang tanda tanya,
    “eh..eh…mau mulai kerja ya? :P”

  10. yanti

    June 23, 2006 at 9:38 am

    As I said in your Multiply, I love your post. It’s like you wrote down my mind, word by word.. hehehe…

    Gw sampe hari ini masih memilih untuk bekerja di luar rumah. Capek emang, dan kadang ga fokus. Tapi at least gw punya penyegaran. Jenuh di kantor, di rumah ada anak. Jenuh di rumah, di kantor ada temen kantor.. ehhh.. ups… maksudnyaa… ya gitu deh :P.

    Setuju banget sama point “tipe suami ga cuma satu, tipe istri ga cuma satu”. Setiap keluarga itu unik, terdiri dari dua kepala yg unik, memiliki masalah2nya masing2, dan tentunya memiliki solusi yg unik juga. Ga ada satu solusi “mantera ajaib” yg bisa applied untuk semua πŸ™‚

  11. Lita

    June 23, 2006 at 10:49 am

    Mbilung
    *timpuk pakde* He, cipika-cipiki itu untuk istri sampeyan yang ultah, lho!

    Dhika
    Ini namanya propaganda :mrgreen:
    Gak saklek sama, kok (baru kelihatan kalau disandingkan langsung). Tentu yang di sini yang paling rapi karena dimuat belakangan dengan edit yang maksimal hehehe…

    Irma
    Jangan semua dong, ntar kalo aku salah siapa yang mengoreksi? πŸ™‚

    Fatimah
    Belum. Masih menikmati jadi ibu rumah tangga nih πŸ™‚

    Yanti
    Oh, iya betul. Ada temen kantor. Kalo di rumah gini, ada temen blogger :mrgreen:

  12. eka

    June 23, 2006 at 10:54 am

    ehem..ehem…seperti biasa, ga asik kalo ga dikomentarin

    li, ini bukan pengalaman pribadi toh..yg bikin belakangan suka bt??? heheheh becanda atuh jeng!..
    soalnya dalem banget, gw cuma manggut2 doang
    BENER li, smua yg dikau tulis BENER! SETUJU!!!

    diluar suami dan istri, ada pihak lain yg bikin ibu bekerja punya dilema li, ANAK. rafa-ku contohnya..abinya ga masalah istrinya kerja,berakualisasi & mencari mahisah buat keluarganya..tp anaknya makin besar makin susah ditinggal.tiap hari nangis bombay,ampe uminya ikutan nangis
    “aku kangen ma umi, umi libur aja..ga boleh kerja”…
    tiap hari, tiap pagi..siangnya dia tlp “umi pulang jam berapa? cepet pulang ya…jgn pulang malem”
    hiks! lama2 gw tertekan juga neh

    duh maap maap kok gw jadi curhat!
    abis postingan pas banget ma suasana hati

    btw, YMku error banget neh..ga bisa send pesan,ga bisa bales juga ..dah download ulang ttp gitu! bt…

    sori bu kepanjangan πŸ™‚

  13. Fernando

    June 23, 2006 at 11:22 am

    Artikel yang bagus.
    I love banana.

    *salaman sama Lita*

  14. felina

    June 23, 2006 at 1:30 pm

    … Nothing new, actually. It’s been in my mind ever since I was born πŸ˜€

  15. Pipit

    June 23, 2006 at 5:09 pm

    Mama saya perempuan karir, saya dulu ketemu sama mama kadang kurang dari 5 jam setiap harinya. Tapi saya tidak pernah merasa terlantar atau jadi produk ‘broken home’.

    Hidup saya normal, masa kecil dan remaja bahagia, dan tidak terseruduk berbagai masalah yang kata orang rawan buat anak yang ibunya bekerja.

    Seingat saya, saya dari dulu terurus sekali, lebih terurus dari teman2 saya yang ibunya adalah ibu purna waktu. Jadi memang tidak benar ibu pekerja menelantarkan keluarga. Kalau tidak ada mama, nilai rapor anaknya tidak akan sehijau itu.

    Ngomong-ngomong kok tulisan kita idenya sama ya, sama-sama tentang wanita pekerja. πŸ™‚

  16. dianika

    June 23, 2006 at 6:26 pm

    Keren juga tulisannya. Ada hal yang menarik. Intelek dan kritis. Manis gaya tulisannya.
    NIce blog. Congratulation ya!!

  17. Aswad

    June 23, 2006 at 7:49 pm

    Tapi bu…
    Wanita memang dianjurkan tidak terlalu banyak keluar rumah, kecuali untuk keperluannya, atau bersama mahramnya. Karena rawan menimbulkan fitnah…
    Kapan2 diskusi sm saya deh…

  18. ndoro kakung

    June 23, 2006 at 8:22 pm

    oh…pantes kemarin ada yg ngajak diskusi soal pekerjaan…ada yang nanya suka-duka jadi pedagang sapi… emang mau jadi blantik juga bulik? *ngakak mode on*

  19. Lita

    June 23, 2006 at 9:01 pm

    Eka
    Gak papa, jatah hosting masih cukup banyak untuk nampung curhat mbak Eka :mrgreen:

    Yang pengalaman pribadi itu bagian lamaran aja. Bukan penyebab BT juga. PMS kayanya.
    Hauhauhau…. miris ya kalo denger anak nanya gitu? πŸ™

    Fernando
    Terimakasih. Selamat bergabung dengan pecinta pisang di sini πŸ™‚
    *terima salam dari jauh*

    Felina
    Nothing new under the sun, they say.
    But many times, you don’t know something until somebody else say it for you.

    Pipit
    Iya ya, mbak. Padahal gak janjian dulu ya πŸ™‚
    Daleeemmm euy tulisan mbak Pipit.

    Dianika
    *pegang hidungku*
    Haduh mbak, jangan banyak-banyak mujinya, ntar idungku tambah panjang nih :mrgreen:
    Saya masih belajar untuk curhat dengan terstruktur, rasanya lebih enak bilang begitu πŸ™‚

    Aswad
    Komentarmu agak melenceng dari topik ya.

    Aku hanya meluruskan opini bahwa masalah ummat disebabkan oleh ibu yang bekerja.

    Inti masalahnya bukan pada bekerja atau tidaknya si ibu, tapi kesiapan dan ketenangan batin dalam menjalani perannya.

    Jangan melarikan semua kesalahan rumah tangga ke bahu ibu yang bekerja, sebab lain juga harus diperhatikan.

    Tidakkah bekerja itu suatu keperluan? Mendesak atau tidaknya tentu keluarga yang bersangkutan yang lebih tahu. Maksud fitnah di sini tentu ‘cobaan’ dan belum tentu berupa gunjingan ya?

    Ndoro kakung
    Halah halah… Ada pedagang sapi yang GR. Saya bukan mau jadi pedagang sapi pakdhe, tapi pemilik peternakan hihihi…
    Masih betah jadi ibu rumah tangga kok, atau pakdhe punya tawaran menarik? πŸ˜‰

  20. Hedi

    June 23, 2006 at 9:15 pm

    wanita bekerja sah² aja apapun motivasi dan alasannya
    bekerja kan ga harus di kantor, di pabrik, di rumah…bekerja bisa di mana aja…

  21. Aswad

    June 24, 2006 at 12:21 pm

    Ya, fitnah dlm bahasa Al-Qur’an itu artinya bencana/bala.
    Melenceng ya? Soale kalo sy baca seolah2 jadi pembenaran bagi wanita untuk berkarir di luar rumah.

  22. khairulu

    June 24, 2006 at 1:52 pm

    yang penting tetap romantis dengan suami, dan juga anak-anak.

    problem utama pasangan adalah semakin berkurangnya waktu untuk saling menghibur (bercengkerama, ngobrol santai, dll).

  23. Lita

    June 24, 2006 at 10:08 pm

    Hedi
    Ya, berkarya tak mengenal batas ruang πŸ™‚

    Aswad
    Saya tidak sedang membenarkan atau menyalahkan suatu pilihan. Saya meluruskan pendapat mereka yang menuding ibu bekerja sebagai akar masalah keluarga, bahkan negara. Jadi pokok masalah yang saya bahas adalah penilaian yang tidak adil.

    CMIIW. AFAIK, Rasulullah tidak melarang perempuan untuk berkarya di luar rumah, apalagi untuk melangkah ke luar rumah dalam memenuhi kebutuhannya.

    Karir -IMHO- adalah efek dari bekerja. Suatu jenjang, fasilitas untuk berkembang, yang disediakan oleh perusahaan bagi karyawannya yang memiliki jejak kerja yang baik. Biasanya berupa kenaikan tingkat dan renumerasi.

    Bekerja tidak selalu sama dengan mengejar karir.
    Sayangnya kita (saya dan sebagian orang) banyak melihat mereka yang karirnya baik (gemilang) sebagai orang-orang yang ambisius, rela mengorbankan keluarga demi pekerjaan.

    Karena itu, saya berpendapat bahwa seorang ibu bekerja yang mengejar karir DAN tetap memberi prioritas pada keluarga sebagai pilihan yang baik-baik saja. Fungsi ibu toh terpenuhi.

    Seorang ibu yang bekerja tidak berhak disalahkan atas ‘keburukan’ anak-anak ibu bekerja lain yang MUNGKIN kurang sempurna dalam perannya sebagai pengasuh dan pendidik.

    Ini pun masih belum tepat, karena orang tua tidak dapat sepenuhnya mengendalikan perilaku anak. Jika orang tua sudah berusaha semaksimal yang dia bisa, tak patut pula dia disalahkan jika anaknya ‘nakal’.
    How could someone be judged over something beyond his control?

    Khairulu
    Huhu… soal romantis-romantisan mah teuteup πŸ˜‰
    Ya betul, jatah waktu yang berkurang harus disiasati dengan baik. Dan ini tidak hanya terjadi pada ibu bekerja, ibu rumah tangga juga bisa kehabisan waktu untuk dinikmati berdua suami lho πŸ™‚

  24. Jukri

    June 25, 2006 at 1:05 pm

    “How could someone be judged over something beyond his control?”
    jangan jadikan ‘beyond control’ sebagai wedhus gembel lho mbak

    jadi inget pendapat Muhammad bin Idris, semua ‘kejahatan’ kita langsung ataw tidak adalah faktor penyebab dari hal buruk yang menimpa kita kelak [teks aslinya lupa, intinya gini lah]

    jadi kalo ada something wrong with our life, salah satu faktornya adalah adanya something wrong with what we’ve done.

    untuk urusan keluar rumah kayaknya perlu dikasi referensi niy mbak, juga perlu diperinci.

    untuk urusan kewanitaan yang itu bisa direfer di http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=197

    *nggak bisa ngomong banyak, belom pernah punya istri sih =)

  25. Lita

    June 25, 2006 at 2:53 pm

    Jukri
    Begini analoginya.

    Ada sepasang suami-istri shalih yang mengasuh anak dengan kesabaran luar biasa. Apapun sudah mereka usahakan demi pemahaman dan perilaku baik dari anak-anaknya. Semaksimal daya. Dan jika kelak mereka ternyata jadi anak durhaka, atau melakukan kejahatan, apa ya orangtua macam ini PASTI adalah orangtua ngga bener karena anaknya ‘ngga bener’?

    Ketika seseorang jatuh bangkrut, apakah karena dia PASTI tidak becus mengurus keuangan? Belum tentu, bisa jadi dia ditipu. Tidak hati-hati? Bagaimana kalau dia sudah mengusahakan segala kehati-hatian tapi ternyata si penjahat lebih lihai?

    Dan apakah ketika seseorang dinilai bernasib baik -relatif menurut pandangan orang lain- seluruh hidupnya, apa bisa ditarik kesimpulan bahwa itu karena dia TIDAK PERNAH melakukan kejahatan sekecil apapun? Tidak juga toh. Mungkin ya, mungkin tidak. Hanya ALlah Yang Tahu yang tersembunyi.

    Bukan menafikan bahwa apa yang kita tuai tergantung apa yang kita tanam. Tapi:
    Jangan lupakan bahwa kita tidak bisa memegang kendali atas segala sesuatu.
    Jangan lupa bahwa ALlah punya mau.
    Jangan lupa bahwa ada kehendak di luar kuasa manusia.
    Jangan menutup kemungkinan lain di luar sepengetahuan kita.
    Jangan hakimi seseorang di luar yang kita ketahui.
    Tidak semua orang selalu benar atau selalu salah.
    Buruk di mata manusia belum tentu buruk di mata ALlah, bukan?

    Nasib ‘buruk’ nabi Ayyub a.s. tidak berarti beliau ‘jahat’ pada waktu sebelumnya kan? Apakah nabi Yusuf a.s. adalah seorang yang jahat makanya beliau dicemplungkan ke sumur, dijual, dijadikan budak, dijebloskan ke penjara untuk waktu yang lama, dst.

    Tentu tidak ada yang bilang bahwa nabi Nuh a.s. adalah ayah yang buruk karena salah satu anaknya KAFIR, dan tentu tidak ada yang bilang bahwa nabi Luth a.s. adalah suami yg buruk karena ISTRInya kafir.

    Nah, sebelum saya dibilang tidak tahu diri karena membandingkan nabi dengan manusia biasa: nabi memang manusia biasa (justru di situ esensinya, supaya bisa ditiru oleh manusia lemah macam saya).

    Jadi? Jadi, tetap: kenakalan remaja (atau masalah lain, sebagai contoh masalah masyarakat) bukan karena seorang ibu memutuskan untuk bekerja.

    Berikut adalah rangkaian sumber yang diberikan oleh Hendra di milis muslimblog:
    http://www.syariahonline.com/new_index.php/view/fatwa/id/9/cn/13
    http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/9/cn/4067
    http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/9/cn/3050
    http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/6/cn/4830

  26. dini

    June 25, 2006 at 3:26 pm

    Salut sama “kekonsistenan” mbak Lita ngeladenin komentar yang masuk, hehe. πŸ˜›

    Untuk nambah deretan “curhat” yang masuk, kerja di rumah (pengabdian?) itu jauh lebih capek daripada kerja di kantor lho… ;P

  27. yanti

    June 26, 2006 at 8:46 am

    Sayangnya kita (saya dan sebagian orang) banyak melihat mereka yang karirnya baik (gemilang) sebagai orang-orang yang ambisius, rela mengorbankan keluarga demi pekerjaan.

    Dan juga, sayangnya kita banyak melihat mereka yang keluarganya ‘bermasalah’, semata2 karena ibunya bekerja di luar rumah.

    Maksud Lita begitu kan ya?

    Sepakat.. dan gw salut sama semangatmu berdiskusi. Menjawab semua komentar dengan itikad baik & dasar pemikiran yg kuat.

    Gw rasa, balik lagi ke premis awal bahwa setiap kepala punya pendapat yg berbeda, thus setiap keluarga. Kalau ada yang mau berpendapat bahwa untuk keluarganya, dengan alasan apapun baik dalil maupun dalih, sebaiknya istri/ibu ga bekerja di luar rumah, ya silakan.

    Pointnya adalah yang sering kamu ulang2 :D, jangan ngejudge.

  28. achedy

    June 26, 2006 at 9:08 am

    Ibu bekerja kan memang seharusnya. Yang nggak boleh adalah ibu nggak mengerjakan apa apa. he.. he..

  29. paririan

    June 26, 2006 at 9:31 am

    “Jika dia ingin saya di rumah saja, saya ingin tahu tawarannya tentang bagaimana saya bisa meningkatkan kualitas diri, terutama dalam bidang keilmuan yang saya minati”
    – ngeblog”banana talk” adl solusi bgmn bisa meningkatkan kualitas diri, terutama dalam bidang keilmuan yang diminati (hehe…tul nggak?)

    dan yg ini
    “Bukan hanya foto dan lembar informasi berjudul biodata”
    (*ngakak abiss klo inget kasus kemarenn … hahaa..ha)

  30. Lita

    June 26, 2006 at 9:46 am

    Dini
    Hehehe… saya memang senang meladeni diskusi yang sehat, mbak. Kalo dicuekin, nanti pada kabur dan blog ini jadi gak asik lagi dong :mrgreen:

    Yoih, capek *ngos-ngosh*

    Yanti
    Iyak, betul begitu maksudku. Isi kepala boleh dong beda πŸ™‚

    Heheh, semua jawaban serius dan panjang di sini adalah hasil konsultasi dengan yang lebih ‘ahli’ soal silogisme (a.k.a. admin bananaTalk) :mrgreen:

    Achedy
    πŸ˜† Iya betul, pak! Bisa dipecat, nanti hihihih…
    *iki mbales komentar saya di blog sampeyan yo?*

    Paririan
    Yoih. Menulis -bagiku- adalah cara mengasah otak supaya tidak tumpul.

    Ibu rumah tangga yang ‘dudul’ itu tidak keren, betul?
    Dan perempuan yang bicara dengan cerdas itu menarik plus seksi, kata sebagian orang (diusung juga oleh suamiku). Mau dong dipandang menarik dan seksi selalu oleh suami hihihihi…
    Huhuy!

    Melihat dan berbicara langsung memberi informasi yang lebih akurat daripada sekadar lembar biodata. Hayoo… abis ngapain hayo? πŸ˜†

  31. Jukri

    June 26, 2006 at 3:02 pm

    he..he.. jawabannya panjang dan lebar, tapi koq ada mis..mis.. niy mbakyu, kan kutulisnya salah satu faktor, sementara dijawabnya ‘PASTI karena’, keduanya beda lho. dan kutulisnya pun ‘something wrong with what we’ve done’, gak da tulisan ‘karena Ibu bekerja’ at all, mekaten. dan tidak terkungkung sebagai sebab-akibat sempit saja, tapi lebih luas. sekali lagi ‘Ibu bekerja’ itu bukan permasalahannya.

    indeed nasib kita udah ditulis, tapi itu bukan legitimasi bermudah2an berbuat salah [meskipun sehati2 apapun tetep kepleset juga] dan menutup segala celah ke arah situ adalah pilihan yang lebih menyelamatkan.

    ‘Buruk di mata manusia belum tentu buruk di mata ALlah, bukan?’
    It’s the main reason to tholabul ilm, right? semua orang bisa berpendapat dan merasa pendapat paling benar, kan? tapi bukan mereka yang menentukan kebenaran, jadi inti dari semua ketikan yang bikin capek ini adalah..
    referensi itu perlu =)

    pemisalan kasus anbiya’na menarik, tapi koq tidak ditempatkan dengan pas. Alasan pertama, sudah terjawab Mbaknya sendiri. kedua, karena hikmah yang tidak kita tahu, nabi memang manusia biasa yang punya kesalahan, tapi kesalahannya pun bagian dari penyampaian nubuwwah juga, dan sebab-akibatnya tidak sesederhana korelasi pearson [err yang ini gak usah dipeduliin aja] tapi kesalahannya juga tidak sedikitpun mencederai kenabian mereka, tidak pula posisi mereka sebagai ayah atau suami, dll. ‘something wrong’ juga tidak selalu berwujud bangkrut atau anak yang durhaka.

    further reading:Ad Da’u wad Dawa’ Libnil Qoyyim
    atau yang lebih mak cess syair ‘sakawtu ila waqi’in..’-nya Muhammad bin Idris

    sekali lagi bukan salah Ibu mengandung [lho?!] maksudna bukan masalah Ibu bekerja. Semoga bermanfaat, tetap semangat, dan Allahu A’lam

  32. Lita

    June 26, 2006 at 3:55 pm

    Jukri
    Satu, saya sedang membicarakan ibu bekerja.
    Dua, saya ingin tetap pada topik.

    Ò€œHow could someone be judged over something beyond his control?Ò€
    jangan jadikan Γ’β‚¬Λœbeyond controlÒ€ℒ sebagai wedhus gembel lho mbak

    –> Ini maksudnya apa?

    Mengenai panjang-lebar. Saya suka penjelasan rinci. Daripada penjelasan menurut silogisme yang benar sulit dimengerti, saya jelaskan dengan contoh saja. Banyak sekalian πŸ™‚

    dan tidak terkungkung sebagai sebab-akibat sempit saja, tapi lebih luas. sekali lagi Γ’β‚¬ΛœIbu bekerjaÒ€ℒ itu bukan permasalahannya.

    Ya betul.
    Memang urusan sebab-akibat itu tidak sederhana, makanya ketika ada suatu ‘keburukan’ yang kita terima, BELUM TENTU akibat sesuatu ‘keburukan’ yang kita lakukan pada masa lalu. Bisa jadi itu faktornya, bisa jadi bukan.

    Karena itu, merujuk ke topik, saya nyatakan bahwa ibu bekerja belum tentu menjadi akar masalah.

    Mengenai referensi. Saya tidak sedang menyatakan melegalkan atau mengharamkan sesuatu. Saya hanya menguraikan suatu premis -jika ibu bekerja maka akan timbul kehancuran suatu bangsa- menurut urutan silogisme.

    Saya memang membatasi (baca: mempersempit) bahasan, supaya hubungan antar item bisa dilihat lebih jelas. Dan apakah bisa ditarik kesimpulan dari sana. Begitu.

    Case closed. Yang bersangkut pada topik bahasan sudah dijawab. Selainnya, maafkan jika tidak saya tanggapi πŸ™‚

    ::edited::

  33. yahya

    June 26, 2006 at 5:01 pm

    ikutan aaah .. πŸ˜›

    Ò€œHow could someone be judged over something beyond his control?Ò€
    jangan jadikan Γ’β‚¬Λœbeyond controlÒ€ℒ sebagai wedhus gembel lho mbak

    >> saya kesulitan mengerti maksudnya ‘wedhus gembel’ .. lha kalo kambing hitam ya saya tau.

    jadi inget pendapat Muhammad bin Idris, semua Γ’β‚¬ΛœkejahatanÒ€ℒ kita langsung ataw tidak adalah faktor penyebab dari hal buruk yang menimpa kita kelak [teks aslinya lupa, intinya gini lah]

    >> langsung atau tidak … ? Langsung apa tidak nih ?? πŸ˜›
    tapi saya setuju bahwa kita punya limited kontrol, dan sebagaimana Nabi Muhammad diberi tahu bahwa HIDAYAH (bukan sinetron lho) ada ditangan-NYA dan beliau tidak diberi beban atas itu (so there’s something beyond our control …. well i guess thats why we believe in GOD arent we? ) – sehingga kitapun juga tidak dibebankan atas sesuatu diluar jangkauan kekuatan manusia.
    Tapi saya juga setuju jangan menjadikan ‘out of control’ sebagai pelarian dan kambing hitam … (well considering how good We @ using things as our scapegoat) Dan kemudian tidak mengevaluasi dan mencari solusi yg lebih baik.
    Tapi ada baiknya juga kita tetap stick pada yg jelas berhubungan saja. Misalnya kalo kita gagal ujian, tentu yg kita evaluasi adalah bagaimana cara kita belajar (atau … ‘sharpening teknik mencontek a la nintama konoha’ :devil: ), kurang bijak menurut saya kalo kemudian kita mencari-2 kesalahan kita yg tidak ada hubungannya … nanti malah ngelantur dan ga mendapatkan solusi yg tepat guna sangkil dan mangkus.

    jadi kalo ada something wrong with our life, salah satu faktornya adalah adanya something wrong with what weÒ€ℒve done.

    >> hehe, kalo memang statementnya adalah MUNGKIN SALAH SATU FAKTORNYA adalah kejahatan atau kesalahan kita … ya saya setuju. Kalo dibilang PASTI SALAH SATU FAKTORNYA adalah kejahatan kita… sebaiknya saya tidak setuju. Soale kalau tautannya secara LANGSUNG ya kan bisa cepat dilihat, lha kalo secara TIDAK LANGSUNG … gimana nyari tautannya ya?
    Gak tahu ya gmn, soalnya orang jawa (dan kebanyakan org lain itu) ‘gathuk entuk’ suka nyambung-2 in yg sebenarnya gak nyambung, tanpa alasan yg jelas. Oh iya saya juga belum membaca bukunya pak Muhammad bin Idris jadi ga tahu bgmn-2 dasar pendapat beliau. Lha kalo diulik2 salahnya, namanya juga manusia lik, pasti punya salah, sekecil apapun.

    Begini analoginya.
    Ada sepasang suami-istri shalih yang mengasuh anak … -dst-

    >> ini bukan analogi, atpi lebih ke penjabaran kasus yg sesuai konteks dengan tulisan/posting. (kalo ga ngerti analogi silakan baca buku LOGIKA MATEMATIKA πŸ˜› )

    sesuai dengan topik,
    SAYA PALING GA SETUJU kalo ada anak yg melakukan kenakalan langsung dituding IBUNYA atau ORANG TUANYA PASTI gak beres atau PASTI korban BROKEN HOME… belum tentu … bagaimana DENGAN ANAKNYA SENDIRI? (jangan salah sangka, saya punya pendapat ini sejak masih kanak-2). Jelas-jelas yg melakukan kenakalan anaknya kenapa org tuanya yg lsg dihakimi… maan that’s so lame .. dan lebih lame lagi anak-2 yg sok jagoan dan ketika melakukan kesalahan kemudian melemparkan ke orang tuanya … dan kalopun org tuanya seperti yg dituduhkan then thats makes you no better than ’em. Jadinya ya gak ada ujugnnya ntar, orang tua buruk (ditanya nyalahin org tua – org tuanya), anaknya terus juga bengal nyalahin orang tuanya .. anaknya punya anak juga bengal nyalahin org tuanya … ~ (ini maksudnya bukan tilde tapi infinite πŸ˜› )

    ——————————————————————–
    now if i tell you that I ALWAYS Lie .. do you trust me ?
    – yahya –

  34. jukri but not least

    June 26, 2006 at 5:34 pm

    pertama saya juga sedang membicarakan Ibu bekerja
    kedua saya nggak [ngerasa] keluar dari topik, karena maksud dari ‘Ibu bekerja bukan permasalahannya’ adalah hubungan langsungnya tidak bisa kita tentukan.

    “Karena itu, merujuk ke topik, saya nyatakan bahwa ibu bekerja belum tentu menjadi akar masalah.”

    emang bener, bisa jadi benih, tanah, atau penanam pohon masalah, nggak mesti akar koq =).
    cuman masalahnya [misal Ibu bekerja itu akar] adakah ‘pupuk’ yang merangsang tumbuhnya masalah? apakah benih masalah yang tadinya tidak punya harapan hidup kembali punya harapan karena ada yang buka saluran irigasi? [rada ngaco sih, tapi cukup mewakili =) ]

    ataukah karena tanahnya memang tidak kondusif untuk menumbuhkan masalah [refer ke link yg kemaren] sehingga akar permasalahan tidak pernah benar2 tumbuh?

    ituw dia yang saya maksud dengan “tidak terkungkung sebagai sebab-akibat sempit saja, tapi lebih luas.”

    “ketika ada suatu Γ’β‚¬ΛœkeburukanÒ€ℒ yang kita terima, BELUM TENTU akibat sesuatu Γ’β‚¬ΛœkeburukanÒ€ℒ yang kita lakukan pada masa lalu. Bisa jadi itu faktornya, bisa jadi salah satunya karena keburukan yang laen” -> konklusi yang saya dapat dari referensi, karena mengukur korelasinya sangat susyeh

    dan mengenai referensi, halal-haram kan juga masalah salah-tidak salah, konsekwensi tidak mesti berujud itsm ataw dzanb, tapi bisa berujud [sekali lagi] keburukan di dunia ini. sekali lagi konklusi dari referensi [yang karena kegeblegan saya, entah nyelip di bagian otak mana, bsok saya tuning lagi database saya =) ]

    dan akhirnya, namanya juga manusia, boleh jadi kita sudah yaqiin bener dengan segala rupa kecangihan teknologi pengambilan kesimpulan kita, tapi berhubung bukan kita yang menentukan apapun [kita cuma ‘meraba-raba’], maka mendingan prefer ke [lagi2] referensi dari yang menentukan. Allahu a’lam

    *jadi ikutan panjang kan =)

  35. jukri but not least

    June 26, 2006 at 5:45 pm

    tambah lagi [terakhir deh, beneran niy =)]

    ‘wedhus gembel’ kalo di merapi item lho, kalo gak percaya maen aja ke jogja =)
    ‘muhammad bin idris’ adalah al imam abu abdillah muhammad bin idris asy syafi’i rahimahullah

    “hehe, kalo memang statementnya adalah MUNGKIN SALAH SATU FAKTORNYA adalah kejahatan atau kesalahan kita Ò€¦ ya saya setuju. Kalo dibilang PASTI SALAH SATU FAKTORNYA adalah kejahatan kita..”

    kejahatan kita kan banyak, hal buruk di hidup kita juga banyak, mana jadi SALAH SATU faktor yang mana itu masalahnya, dan bukan masalah gathuk-gethuk orang jawa lho, pengusulnya malah bukan orang jawa koq =)

    begitulah, [skali lagi] Allahu A’lam

  36. luthfi

    June 26, 2006 at 10:34 pm

    jadi makin berat komentar2nya.

    bikin pusing ++
    ini harusnya diberi tag [dewasa] ato [siap/sdhNikah]

  37. yahya

    June 26, 2006 at 10:40 pm

    πŸ™‚
    (btw saya ini tidak sedang mbolo ata ngewangi istri lho… ini karena iseng aja lagi bosen ama gawe πŸ˜› )

    Jadi begini ceritanya mas,
    untuk menggagalkan sebuah Proposisi yg bersifat umum yg diperlukan adalah cari salah satu contoh kasus dimana Proposisi tersebut tidak berlaku.
    Kalau ada proposisi : “Kalau ada anak yg nakal, keluarga yg hancur pasti Ibunya bekerja” .. well contoh yg menyangkal proposisi ini tentu sudah banyak πŸ™‚
    Kalau ada proposisi : “Kalau anak nakal, pasti orang tuanya pernah berbuat dosa” … sepertinya contoh nabi yg diberikan lita cukup untuk menyangkal ini (AFAIK nabi-2 yg mjd contoh diatas tidak diberitakan melakukan ‘kesalahan’ SEHINGGA beliau mendapatkan ‘anak nakal’ tsb).

    Basically, i tend to focus on practical ( & simple analytical ) problem solving aja. Maksudnya gini, jangan menghakimi orangnya .. kita membahas kasus/perbuatannya. Artinya,

    Kalau ada anak yg nakal, cari tahu dimana kesalahannya.. tentu anaknya salah (karena nakal … ya to? ), apakah orang tuanya juga ikut andil yg leading anak ini menjadi nakal? nah orang tuanya juga harus dikoreksi. Jangan langsung di cap, PASTI karena ibunya kerja? (perasaan bapak jadi makhluk suci dan ga berdaya banget ya kalo udah urusan rumah tangga dan perilaku anak… πŸ˜› ).
    Dan apakah kita pernah berbuat salah dimasa lalu … ya menurut saya kesalahan itu juga harus kita insafi dan tidak kita ulangi, maksud saya anak nakal ya diurusi sebaik-2 dengan metoda yg tepat… lha kalo kita puasanya bolong2 ya harus cepat-2 dibayar & tidak diulangi lagi .. that goes without saying..
    Kalo kita mikir, ‘aah pasti karena kemaren puasaku bolong makanya si anak nakal’.. dan berhenti disitu.. saya takutkan penyelesaiannya tidak tuntas dan atau kurang efektif. Memang sih, mungkin kalau kita berkelakuan selalu baik maka sang anak menjadi punya suri tauladan yg jelas, tapi memberi tauladan doang seringkali kurang efektif. Misalnya, harus jelas juga sistem tata nilai yg diterapkan ke sianak, juga ditambah dengan Reward N Punishment yg baik. etc dll dsb.

    Jadi menurut saya, stick on the problem, on the case, tidak kemudian mendiskriminasi orangnya tapi kita lihat/membahas perbuatannya. Lha kalau emg ada akar, biji, pupuk, dan lain sebagainya yg ikutan memberi andil ya harus di insafi dan dicari tahapan-2 solusi terbaik.

    Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€œ
    now if i tell you that I ALWAYS Lie .. do you trust me ?
    – yahya –

  38. Lita

    June 26, 2006 at 10:53 pm

    Yahya
    Jelas bukan membantu, soale aku ikut diinjek :p
    Gak papa deh, asal aku gak disodori buku matematikamu nan tebel bikin gak nafsu makan itu.
    *ngelirik kardus buku*

    Luthfi
    Halah, baru segini. Belom sidang sarjana, ini! πŸ˜†
    Gimana sih, sesama asisten. Gitu aja nyerah, mentang-mentang belom nikah, dijadiin alesan pula.
    *kabur*

  39. ita

    June 27, 2006 at 12:48 pm

    Halo mbak Lita, salam kenal juga. Yoih, ibu rumah tangga juga..hahaha..
    Agak nyambung dikit (atau bisa juga melenceng :P) dari entry ini. Menurutku, justru ibu rumah tangga yg gak kerjalah yg seringnya dihakimi, dibilang terkukung, kuper, gak tau dunia luar, gak luas wawasannya, tergantung suami. Nah ini gimana mbak ? πŸ˜‰

  40. Lita

    June 28, 2006 at 11:33 am

    Ita
    Wah, jauh-jauh dari Jerman nih. Senasib ya kita πŸ™‚

    Hmmm… Sepertinya status perempuan memang ‘kriuk’ untuk dikomentari. Pilihan manapun menyajikan topik untuk dicela. Yang di rumah salah, yang kerja juga salah. Ada aja salahnya.

    Jika yang menjalani merasa nyaman, tetap berfungsi dengan baik (manapun pilihan yang diambil), dan tahu bahwa yang dilakukan itu benar (menurut keyakinannya) ya show must go on.

    Jadinya, kecuali mereka (yang berkomentar) sadar bahwa yang penting itu fungsinya sebagai ibu, komentar mah jalan terussss….

    *mari kita tutup kuping dari gosipan orang usil*
    Aku dah bosen ditanyain, “Nggak kerja, mbak?”, “Kapan kerja?”, “Kok nggak kerja? Udah lama lulus, kan?”, dst.

  41. Guntar

    June 28, 2006 at 4:33 pm

    Saya mengenal seorang perempuan yg tidak bekerja. Di rumah, liat tipi mulu ama anaknya. Dan yg diliatin tu sinetron dan acara gosip2, hingga akhirnya mood dan kapasitas intelektualnya sedemikian dipengaruhi oleh acara2 yg dia liat. Amat disayangkan.

    Saya juga punya teman yg begitu dendam kpd ibunya. Dia begitu menyalahkan ibunya krn bekerja dan tidak memberikan dia perhatian yg semestinya. Sampai sekarang, dia begitu mengecam wanita yg bekerja.

    Setau saya, ibu punya pengaruh yg amat besar pada perkembangan anak, terutama di masa2 awal. Rasa percaya & khusnudzon si bayi dibangun terutama pada tahun2 pertama. Demikian juga mentalitas kreatif & suka belajar.

    Saya sendiri, sampe skr belum beristri (duh, sedih), dan pengen istri saya nanti bekerja. Tapi gimana klo tyt si istri menolak utk bekerja? apakah harus dipaksa demi kebaikan dirinya?

  42. Lita

    June 28, 2006 at 7:59 pm

    Guntar
    Pandangan seseorang memang sedikit atau banyak ditentukan oleh pengalaman pribadinya.

    Dipaksa? Khawatir jadi kurang enak di hati, ya. Nanti malah jadi sumber berantem. Lebih baik didiskusikan saja.

    Mengapa pak Guntar ingin istri bekerja?
    Apa yang diinginkan dari istri yang bekerja?
    Dan jika sang istri tidak ingin bekerja, apa juga alasannya?

    Dari sana, bisa dicari pemecahan/ jalan tengah yang -semoga- nyaman bagi keduanya.
    Jangan sedih terus, ya.

    p.s.
    Saya tidak bekerja, tapi juga gak suka nonton sinetron (kalo acara gosip, ya kadang-kadang, kebetulan aja) :mrgreen:

  43. Tamu Misterius

    June 29, 2006 at 2:16 pm

    Satu lembar saja, rambut seorang wanita dilihat oleh laki laki yang bukan muhrimnya, cukup untuk menarik 4 laki laki ke dalam neraka, bapak nya, suaminya, saudara laki-lakinya anak laki lakinya.
    Islam memang berat, kalau dipikirkan, tetapi ringan kalau di amalkan.
    Islam memang berat, penjara bagi orang beriman, surga bagi orang orang kafir.
    Maka selama di dunia ini carilah kekuatan untu kmengamalkan Agama.

  44. Guntar

    June 29, 2006 at 2:40 pm

    Tau ga, Mbak. Ba’da jamaah subuh tadi, saya masih kepikiran banget ttg issue ini :mrgreen:

    Begini, mbak Lita,

    Saya pengen istri bekerja soalnya saya Ga pengen dia (?) jadi tumpul. Kecerdasan akademik kan ndak menjamin kematangan dlm mensolusikan masalah riil & utk tetap bijak dlm proses menjalaninya.

    Saya berpikir dengan istri bekerja, maka akan tercapai juga kesekufuan dlm aspek kepahaman akan issue2 riil pasca kuliah. Jadi klo diajak ngobrol ttg fenomena dunia kerja; si istri bisa nyandak, ndak o’on. Yang bikin lemot/o’on tentu bukan krn dianya ga cerdas; tapi semata2 krn dia emg belum pernah melingkupi dirinya dlm suasana dunia kerja. Dengan istri bekerja, maka curhatan sang suami pun akan dipahami oleh si istri. Dengan begitu, si suami ndak perlu curhat ke sang sekretaris di kantor (gaya, emg punya:p)

    Dan juga, ketika istri bekerja, maka dia juga akan terkondisikan utk mematangkan mentalitas kerja keras, skill perencanaan kerja, monitoring performa, problem solve dan berlatih menghadapi persinggungan2 di tempat kerja. Dunia kerja adl tempat utk mencapai tingkat kematangan yang lebih tinggi. Dunia kerja adl sekolah lanjutan bagi sang istri.

    Sehingga di sini, uang tambahan bukanlah jadi issue utama.

    Dengan kompetensi yang terbangun & terasah dari pengalaman di dunia kerja, maka kemudian si istri bisa mendayagunakan kompetensi itu dengan berbisnis di rumah. Jadi di sini bekerja adl pencapaian pembelajaran utk BeKaL, dg maksud utk meningkatkan mentalitas & skill profesional, yang akan digunakan dlm ngerumat keluarga dan bisnis di rumah.

    Begitu, Mbak ^_^

  45. Lita

    June 29, 2006 at 7:53 pm

    Guntar
    Hihihi… untung masih bisa tidur ya, pak.
    Terimakasih sudah berbagi pikiran dengan saya. Panjang juga ya, kaya proposal penawaran diklat :p (jangan dimasukkan ke hati lho)

    Ya terserah pak Guntar, ta’ iye?
    Kan bisa dikompromikan saat ta’aruf. Kalau tidak sreg, ya jangan lanjut. Kalau sreg tapi ada yang kurang, terserah sampeyan, mau bertoleransi terhadap yang kurang atau pindah ke lain hati.

    Hanya, pesan sponsor dari saya, kepengenan-nya jangan terlalu tinggi, nanti kuciwa kalo ndak kesampean. Bagaimanapun ta’aruf bisa menyingkap tirai, keadaan seutuhnya hanya akan terlihat saat pernikahan sudah dijalani.

    Jangan terburu menutup kemungkinan atas potensi calon istri, tapi juga jangan berharap terlalu tinggi. Menyiapkan ruang hati yang lebih lapang untuk menerima ke-kurang-an dan meminimalkan ekspektasi akan mengurangi risiko kecewa di kemudian hari. *halah, kok kaya dialog sinetron kiy*

    Oh ya, sekadar mengingatkan juga. Sukses di kantor belum tentu jaminan untuk sukses di rumah lho ya. Mental dan keahlian boleh tebal, tapi dukungan suami juga penting.

    Nah, begini pendapat dari saya yang merujuk pada pengalaman pribadi.
    – Istri tidak bekerja belum tentu jadi tumpul.
    – Sekufu bisa diusahakan, tidak melulu dengan meminta istri mendalami dunia yang sama (dunia kerja, maksudnya).
    – Mental kerja cerdas, perencanaan, dan problem solving, tidak hanya berasal dari pengalaman kerja.
    – Istri yang bekerja belum tentu lebih matang daripada ibu rumah tangga purnawaktu.

    Sekian, sebelum saya dikira berprofesi sebagai konsultan pra/pernikahan :mrgreen:

  46. Guntar

    June 30, 2006 at 10:17 am

    Terlambat, saya sudah kadung berpikiran bhw mbak Lita ni konsultan pra/pernikahan :-p

    makasih udah memperluas cara pandang saya :-). Alangkah baiknya bila mbak Lita kemudian ngasih penjelasan ttg kok bisa dg ndak bekerja, istri jadi ndak tumpul.

    mbak Lita byk menggunakan kata “belum tentu”. apakah artinya kebanyakan memang “iya” menurut mbak Lita? dan kemudian faktor apkh yg menjadikan kondisi “belum tentu” ini terjadi.Saya pikir ini yg penting.

    mbak Lita kan sudah memperluas cara pandang saya. nah, sekarang saya berharap mbak Lita mau lebih melengkapinya.

    makasih πŸ™‚

  47. Lita

    June 30, 2006 at 10:04 pm

    Guntar
    Haiya… ternyata benar pak Guntar ini orang diklat πŸ˜€

    Waduh, telat. Baiklah, kalau begitu biaya konsultasi bisa dibayar belakangan kok. Masukkan saja ke rekening saya, ya πŸ˜†

    Belum tentu ya tidak pasti. Bukan berarti mayoritas atau minoritas. ‘Belum tentu’ sebagai sebuah kemungkinan yang terbuka, berapa persen saya tidak tahu.

    Sebenarnya saya agak tidak enak mau menjawab dengan rujukan pengalaman pribadi, nanti dituduh GR, padahal maksudnya mau membela teman-teman sesama ibu rumah tangga yang -saya tahu- cerdas tur tidak tumpul.

    Soal ketumpulan saya sebagai ibu rumah tangga, biar saya panggil suami untuk menambah panjang deretan komentar di sini. Dia yang lebih tahu ringannya isi tengkorak ini :mrgreen:

    *hayuh, mas, jawab pertanyaan pak Guntar ini*

  48. Yahya

    June 30, 2006 at 11:22 pm

    Tumpul atau tidak tumpul thats not even a question … πŸ˜›
    mau lihat bukti bahwa ga semua full time moms adalah orang-2 yg tumpul? how about blogwalking to theirs’ … there’s quite alot of them’ve been blogging right now … some of ’em even contribute to the world of opensource (i find her quite sometimes ago but i forgot the address… yupe she’d done down dirty handcoding (php+mysql) ).
    So, there’s no definite things leads to definite results .. in humaniora there’s too much variables to create some mathematics formula from it πŸ™‚
    No such things as definite implication : “Working moms => smart” nor “full time mom => dulls”.
    More depends to the character per person itself, wheter they’re working (as professionals) or they’re not. So, i guess you have to analyze yourselfs what kinda character you have in front of you.. if you’re not good at understanding characters, there’s loads of books that could helps (well i don’t mean they could give you magics or sort of things), and i don’t thinks that kinda knowledge (more of conciuosness or cognizance to me) is could bee crammed into one or two article… nor one or two discussions. For me it takes years to learn it (still i never thought that i’ve graduate from it).

    What i’m trying to say is :

    dan kemudian faktor apkh yg menjadikan kondisi Ò€œbelum tentuÒ€ ini terjadi

    this kinda questions could never be answered by simple frases nor paragraph .. i believe it needs a lot of research to get to good conclusions (not even definite). πŸ™‚

    and, Well, if you wanna see about my wife’s headspins, well, there’s this blog for start … πŸ˜€ (digg out its archives if you have time πŸ˜‰ )

    ps. sori lagi habis baca buku + baca-2 manual jadi males switch mode ke bahasa indonesia .. πŸ™‚ terima aja ya basa inggris ala kadar saya πŸ™‚

    Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€Γ’β‚¬β€œ
    now if i tell you that I ALWAYS Lie .. do you trust me ?
    – yahya –

  49. Guntar

    July 1, 2006 at 10:13 am

    Saya selalu berhati2 utk tidak terjebak pd logical fallacy; over generalization. Shg saya pun berani meyakini bhw mmg TiDaK semua istri yg tidak bekerja lantas jadi lelet.

    Rasa penasaran saya bukan (lagi) pd bukti, namun (sekali lagi) pada perihal2 apakah yg bisa mbikin istri ndak tumpul ktk ada di rumah.Hal ini amat penting utk menjadikan fenomena “istri ndak tumpul ktk di rumah” mjd mudah diduplikasi.

    Blogging? iya, saya sepakat. tapi tyt tidak semua karakter pny sense linguistik yg kuat shg dia pny inisiatif tuk blogging. Aplg klo yg bersangkutan adl phlegmatis.
    Coding? Duuh… apalagi ini :p

    Sy jg berprasangka kuat bhw ini tgt oleh karakter. Tp tentu analisa kita ndak boleh berhenti sampe di sini.

    Saya yakin pasti ada PoLa yg bisa kita ambil. Dan sayangnya saya belum brd dlm kondisi yg nyata utk bisa menganalisa (maksudnya, saya kan belum nikah :lol:)

    Maka ijinkan saya nebak spt ini:

    1.Jika di rumah, istri bisa tetap cerdas & dahsyat ktk dia melakukan aktivitas2 yg melibatkan kemampuan linguistik, logical thinking & common sense, problem solving, & juga skill intra & interpersonal.

    2.Utk itu, maka sang istri perlu memupuk karakter yg membuka diri (pd gagasan & peluang2 baru), sense inisiatif yg tinggi tuk taking action (demi kemandirian dlm berkiprah tanpa paksaan), dan menjauhkan diri dari karakter nriman & berserah diri (dlm konteks yg salah)

    3.Jika syarat satu dan dua tidak terpenuhi, maka sang istri sebaiknya diminta utk bekerja, utk “menyekolahkan” diri & menjadikan dia terlatih mental & skill profesionalismenya, hingga saatnya tiba nanti dia kembali ke rumah utk meneruskan kiprahnya.
    Poin no3. terutama berlaku utk pr wanita yg selama kuliah relatif pasif, jarang berkiprah dan miskin inisiatif & kontribusi.

    demikian presentasi dari kami, selanjutnya saya serahkan kembali kpd pembawa acara. Terima kasih v:mrgreen:v

  50. Lita

    July 1, 2006 at 10:40 am

    Guntar
    Terimakasih. Demikian pemirsa, laporan dari kontributor kami, Guntar dari divisi pendidikan dan pelatihan. Mari kita tunggu laporan selanjutnya setelah undangan kita terima :mrgreen:

    *ngakak*
    Dasar trainer. Wis, soal calon istri terserah sampeyan saja. Ingat, ingat… Tetap fleksibel. Filosofi bambu bisa diberlakukan juga dalam rumah tangga πŸ™‚

  51. Doan

    July 3, 2006 at 7:37 am

    Bu Lita, terima kasih banyak atas masukannya di Blog saya. Semoga saya bisa mengambil manfaat dari apa yang ibu sampaikan. Sekali lagi terima kasih…

  52. ebonk

    July 4, 2006 at 1:19 am

    Bu, kalau sayah pengen pasangan saya madjoe djaja. Soal pilih mediumnya di kantor atau di rumah, itu soal caranya saja. Sekarang kan banyak pilihan dan cara. Termasuk kalau mau sekolah. Perlu dateng langsung ke kelas? Kan ada internet. πŸ˜€

  53. Bintang Tauladan ! » Blog Archive » Self Esteem si Kecil & Media

    July 5, 2006 at 10:01 am

    […] Tantangannya, Einstein pernah meneliti bhw utk setiap pesan negatif yg diterima otak, kita butuh minimal sebelas pesan positif utk menegasikan efek buruk yang kadung muncul. Dan tantangannya juga, kita skr hidup di alam media di mana bad news is a good news. Berita2 bagus jarang masuk di koran pagi. Begitu jg dengan tayangan2 tivi kita yang sudah sedemikian ngalor ngidul ndak keruan. Makanya itu, peran orang tua -terutama ibu- sangatlah penting. […]

  54. Adhy Pradana

    July 6, 2006 at 4:14 pm

    Kalo ditanya ke diri aku, aku justru nggak setuju kalo istri bekerja. Karena tugas utama istri dalam sebuah rumah tangga adalah mengatur keperluan rumah tangga, memberikan pelajaran dasar mengenai hudup kepada anak dan segala hal yang berhubungan dengan keluarga…Memang sih, ada yang bilang bahwa “istri khan bekerja buat keluarga juga”..Memang benar.. Tapi bagaimana dengan perkembangan anak??Apakah akan ditelantarkan??
    Mempercayai orang untuk mengasuh, bukanlah solusi yang baik, menurut aku…Bagaimana pun, anak menjadi tanggung jawab penuh istri, tanpa menutup mata akan peran suami yang juga ada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak….

  55. Lita

    July 6, 2006 at 6:38 pm

    Doan
    Just sharing a thought. Pendapat pribadi boleh beda kok. Tapi ntar kalo nikah, undang ya πŸ˜‰

    Ebonk
    Baiklah. Cara boleh dipilih yang mana aja. *jadi pengen ikutan kelas distant learning*
    Jadi, mana undangannya? :mrgreen:

    Adhy Pradana
    Adhy, mari saya kutip kembali perkataan anda.

    Karena tugas utama istri dalam sebuah rumah tangga adalah mengatur keperluan rumah tangga, memberikan pelajaran dasar mengenai hudup kepada anak dan segala hal yang berhubungan dengan keluarga

    Jadi yang penting adalah tugasnya, kan? Bukan bekerja atau tidaknya dia. Yang penting adalah fungsinya optimal, bukan sekadar mengharuskan ibu untuk tinggal di rumah. Ibu yang bekerja belum tentu menelantarkan perkembangan anak.

    Bagaimana dengan pilihan untuk mempersilakan istri bekerja saat anak-anak telah mampu ‘mandiri’? Bersekolah sepanjang hari, baru pulang ketika maghrib menjelang. Tidakkah ibu jadi ‘punya waktu luang’ ketika urusan beres-beres telah selesai? Daripada ‘ngelangut’, lebih baik potensinya dimanfaatkan. Dan jika dia memilih untuk bekerja, mengapa tidak?

    Bagaimana pun, anak menjadi tanggung jawab penuh istri, tanpa menutup mata akan peran suami yang juga ada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak

    Dengan segala hormat, saya tidak setuju. Anak bukan tanggung jawab penuh istri, tapi KELUARGA. Jika masih lengkap, tentu suami dan istri beserta saudaranya. Jika tidak ‘lengkap’, tentu ‘yang tersisa’.

    Berkeluarga bukanlah tanggung jawab apa dibebankan pada siapa, tapi bagaimana membagi peran dalam melaksanakan tanggung jawab yang satu: keluarga sakinah. Peran suami tidak sekadar ‘juga ada’, tapi ADA, dan bukan lebih besar atau lebih kecil daripada ibu.

    Bapak DAN ibu menjadi panutan yang SAMA besarnya bagi anak, laki-laki maupun perempuan. Keduanya membawa bagian pribadi yang berbeda, yang saling melengkapi. Bagaimana anak menyerap dan mengembangkannya dalam pertumbuhan pribadinya, itu tidak bisa dikontrol.

    Seseorang yang kehadirannya tidak sesering yang lain (misalnya bapak yang bekerja dibandingkan ibu yang di rumah) BELUM TENTU memberi porsi yang lebih kecil dalam pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak.

    Bagaimanapun, pilihan ada di tangan masing-masing.
    BTW, terimakasih sudah mampir dan berbagi pikiran dengan saya πŸ™‚
    ::edited::

  56. Indah

    July 10, 2006 at 3:59 pm

    Penjelasan dari saya akan panjang, jadi silakan bersiap dengan cemilan dan minuman hangat.

    Halah..perlu dikoreksi ini. “Komentar2 disini akan panjang jadi silakan bersiap dengan tempat duduk yang nyaman, makanan yang banyak, …” Sampe mangku anakku yg tidur, bangun, tidur, bangun lagi…:) fiuh…

    Hehe… pengen ikut meramaikan πŸ™‚ Saya setuju dengan apa yang ditulis Lita disini. Pilihan ibu bekerja atau tidak juga disesuaikan dengan keadaan dan merupakan pilihan yang belum tentu untuk selamanya. Tentunya memang ada alasan yang kuat bagi seorang istri untuk bekerja.

    Waduh, Rafi rewel minta berdiri.udah dulu ya komentar’y lain kali disambung lagi πŸ™‚

  57. aliya

    July 14, 2006 at 5:46 pm

    menarik nih diskusi ttg ibu bekerja bagi saya. why? karena….tema skripsi saya ttg ibu bekerja! πŸ™‚
    tepatnya berjudul “faktor-faktor yang mempengaruhi stres pada ibu bekerja” (studi populasi pada dosen wanita universitas diponegoro semarang).

    Bu Lita (or sapa aja) mohon bantuannya nih..
    saya lagi nyari data-data statistik/penelitian/buku2 terkait dg ibu bekerja. dosen saya minta latar belakangnya diperbanyak dg data2 yg menunjukkan kalau ibu bekerja itu berkecenderungan stres.

    tapi, nyimak diskusi di sini dan kebetulan tadi barusan diskusi dg dosen pembimbing, saya jadi agak sangsi juga dg judul saya ini. soalnya asumsi dari judul saya adl bahwa ibu bekerja memang cenderung mengalami stres (dg kadar berbeda2 tentunya) dan penelitian saya ini ingin mencari apa saja faktor2 yg mempengaruhi stres tsb. karenanya, saya perlu cari data2 utk memperkuat asumsi tsb. klo data2 tsb ga ketemu, maybe saya memang harus melepas asumsi tsb, dan mengubah sedikit konsep penelitian saya.

    need help niy…

    thx be4

  58. Lita

    July 14, 2006 at 8:56 pm

    Aliya
    Ibu bekerja dan ibu rumah tangga purnawaktu sama-sama stres kok πŸ™‚
    Buku yang melatari tulisan saya adalah A Mother’s Place oleh Susan Chira. Bisa dicari di Amazon (review online-nya) atau di toko buku lokal.
    Kalau butuh wawancara, silakan tanya langsung pada yang melakoni. Misalnya mbak Yanti di komentar sebelumnya πŸ™‚

  59. Eep

    July 16, 2006 at 11:31 am

    Ibu Rumah Tangga juga pekerjaan tuh….
    coba lihat di KTP.., banyak ibu-ibu yang memiliki KTP dengan jenis pekerjaan: ibu rumah tangga…, hehehehehehe
    *kaburrr…

  60. mariskova

    July 18, 2006 at 1:11 pm

    Waduh, sudah rame duluan ternyata…
    Pdhl saya cuma mau bilang, minuman dan kueh-kueh belom habis ditelan, tapi bahan bacaan udah selesai ini… Bgimana dong?

    Kalau harus komen yg stay-on-topic, saya hanya mau bersyukur saja. Saya pernah jd working mom dan pernah juga jadi stay-at-home mom. Bersyukur bisa punya pilihan, bisa punya 2 pengalaman. Dua-duanya punya rahmat, rezeki, keindahannya masing-masing. Tergantung bagaimana diri sendiri dikendalikan, mental diperhatikan, iman dipertebalkan. Tapi itu sih saya sajaaa…

  61. Lita

    July 18, 2006 at 1:23 pm

    Indah
    Komentar kan masuk belakangan. Aku gak menyangka bakalan serame ini :mrgreen:
    Sini sini Rafi, main sama tante… Ngetik bareng yuk!

    Eep
    Iya sih.
    *ikutan kabur*

    Mariskova
    Ya gak gimana-gimana. Sisanya dimakan bareng suami aja hihihi…

    That’s a luxury you have. Tidak semua perempuan punya pilihan dan bisa memilih seperti yang kita jalani (kita; aku dan mbak :mrgreen: ). Alhamdulillah.

  62. rika

    July 20, 2006 at 12:32 pm

    mba lita, salam kenal. ini artikel mungkin sdh lama ya, tapi saya baru baca. ini juga hasil search iseng dari gugel. Tnyta iseng2 membuahkan ilmu hehehe…
    terus terang saya adalah ibu bekerja yang cukup merasa bersalah karena status saya sekarang. bnyk orang yang berpandangan bhw lebih baik ibu itu dirumah. pdhl tujuan saya itu untuk membantu suami krn kita punya cita-cita kedepan yang kalau kontribusi finansial dari pihak suami saja mungkin akan lamaaa sekali cita-cita itu tergapai. Tapi sebenarnya bekerja diluar itu pun merupakan kegiatan menyenangkan buat saya. Saya sih bukan tipe yang ingin meniti karir setinggi2nya, tapi lingkungan kerja saya dan fasilitas dari ktr (yg saya maksud adalah internet, yg blm mampu saya dpt dirumah) yang membuat saya jatuh hati dengan pekerjaan saya sekarang. bahkan saya khawatir kehilangan ini semua, terutama bukan karena finansialnya saja, tapi karena kawan-kawan disini dan lingkungan kerja ini. Lagipula, banyak saya lihat (tapi tidak semua, catet! hehehe), ibu rumah tangga yang fulltime dirumah, cenderung agak gaptek dan tidak update informasi. Bahkan banyak suami yang tidak memberi fasilitas untuk itu, kecuali mungkin TV ya…
    eniway, terima kasih atas artikelnya. Saya link alamat blog mba lita di blog saya… πŸ™‚ silakan maen-maen kerumah maya saya mba…:)

  63. luthfie

    July 24, 2006 at 9:56 am

    Pada awal pernikahan, saya dan istri sudah sepakat, ketika punya anak, istri akan konsentrasi ngurus anak, sampai memungkinkan bisa ditinggal2. Begitu anak sudah bisa ditinggal, istri minta ijin untuk bekerja, aktualisasi dirilah πŸ™‚ Oke, saya ijinkan. Tapi….ternyata susah mencari kerja untuk usia 35, juga anak sudah terlanjur tiga πŸ™‚ Jadi, sekarang? Tetap bekerja, selain pekerjaan domestik, juga pergi pengajian, ngisi pengajian, dan juga ngisi majelis ta’lim πŸ™‚ Teuteup teraktualisasi diri πŸ™‚

  64. maknya aya

    July 24, 2006 at 3:43 pm

    wah panjang juga bahasannya. Tks buat mbak lita tulisannya. Sedikit sharing saja,..lebaran kemarin dan kemarinnya lagi seringkali bikin saya sutris karena membandingkan diri dengan adik ipar yang tidak bekerja. Ideal sekali. Tahun ini kebetulan saya sedang jungkir balik di pekerjaan, dan kontrasnya, adik saya itu bingung cari kesibukan. Akhirnya saya merenung, lakon orang tu masings,..saya ni biar nyangkul (kerja maksude) tapi bukan wanita karir (yang ngejar jabatan) dan kalau saya dirumah seperti -katanya- idealnya perempuan, saya belum tentu bisa seideal mereka,….

  65. aliya

    July 30, 2006 at 8:38 pm

    lama tak jenguk blog bu lita, sudah rame rupanya.
    makasih bu lita buat masukannya. tapi saya belum nemuin tu buku. ya, ntar saya cari lagi deh.
    soal keruwetan skripsi saya yg bikin bingung tu…biar saya ajak dosen pembimbing saya saja untuk berpusing ria bersama saya πŸ™‚
    klo penelitian saya tentang ibu bekerja ni selesai, insya Allah saya ‘sumbangkan’ laporan hasilnya di sini (moga segera..amin πŸ™‚

    sekedar urun rembug aja, menurut saya, bagi ibu rumah tangga yg penting emang aktualisasi dirinya, bukan soal kerja atau tidak (kerja di sini dalam artian umum tentunya). aktualisasi diri itu bisa berwujud apa aja. saya punya kenalan ibu yang aktualisasi diri dengan ngelola yayasan nirlaba, tanpa gaji. ada pula yg sekedar ngelola TPA dan majelis ta’lim. mereka2 ini tetap merasa bahagia, rumah tangga juga aman2 saja, dan anak2 pun terpelihara dengan sejahtera πŸ™‚

    1. fitri retnowulan

      March 3, 2008 at 3:04 pm

      Halo Aliya!saya fitri mahasiswa psiko unpad yg sedang menyusun tesis mengenai ibu bekerja. bolehkah ngobrol2 lebih lanjut? email saya:fitribecause@yahoo.com. makasih sebelumnya

  66. wawan

    August 3, 2006 at 8:33 pm

    Ass.
    Maaf jika saya sebagai pria memberi komentar yang rada2 bahkan pro wanita di rumah. Entah karena pengetahuan saya yang rada rendah πŸ™‚
    Tapi, sekali lagi pendapat pribadi, dalam islam tidak dikenal istilah karier. Yang ada adalah mencari Keridhoan Nya. Begitulah kira2. Secara fisik maupun perasaan, pria dan wanita mencirikan peran masing2 yang sifatnya melengkapi.
    Terus terang, ini kata istri saya, berdiam di rumah itu berat. Dibalik itu, tentu kita bisa menarik sejarah Ibunda fatimah, anak kesayangan Rasulullah.
    Kalau mau tentu beliau bekerja di rumah daripada mengurusi rumah tangga. Karena beban itu bukan untuk menjadi keluh kesah, namun keikhlasan untuk berbagi peran antara pria dan wanita. Memang….meski berat.

  67. Dessi

    August 24, 2006 at 11:25 am

    Jadi pengen ikutan komentarin. Ibu bekerja secara umum bebannya lebih berat dari ibu purna waktu. Oleh karena itu, “anak-anak nakal” lebih banyak lahir dari ibu yang bekerja dibanding yang purna waktu..ya itu alasannya karena tugasnya lebih berat. Pada akhirnya, pilihan itu dikembalikan ke individu masing2, selama dia yakin bisa mengemban dua amanah itu sekaligus yang tentunya harus pula mendapat dukungan, ijin dari suami, dengan keluarga sebagai prioritas utama..silahkan diambil pilihan itu dan itu pilihan yang tidak salah-> bagus. Tetapi jika dia sendiri tidak yakin dengan kemampuannya untuk mengemban dua amanah itu sekaligus, jangan sampai anak menjadi korban. Setuju dengan mba Aliya, aktualisasi diri sbg sarana ibu menjadi lebih bahagia tidak harus selamanya dalam bentuk bekerja yang menghasilkan uang, kecuali kalo memang uang menjadi salah satu pertimbangan.

  68. biat

    September 3, 2006 at 7:29 am

    Sesuai judul, intinya saya sependapat, wanita bekerja dan wanita rumahan, sama beratnya, yang penting tujuan dan hakekat hidup manusia seutuhnya dapat terpenuhi, tanpa menyalahkan salah satu pihak,meskipun kadang menjadi sesuatu hal yang tidak nyaman bila ada pihak yang merasa terimbas akan isi,sehingga dibutuhkan cara berpikir “dewasa”, diskusi akan menambah wawasan tiap orang, show must go on

  69. rile

    September 14, 2006 at 2:37 am

    wadowwhhh capekkk …. puanjang…. sueruuu….
    Mas Guntar, kapan nich? apa sudah ya ? :))

  70. Lif

    September 28, 2006 at 3:42 pm

    Bu Lita,
    Walah saya sependapat dengan sampeyan….hehehehe. Saya ibu bekerja, dengan berbagai pertimbangan dan disetujui suami sebelum kami menikah. Betul, type suami dan istri tidak cuma satu. Pertimbangan ibu bekerja untuk setiap suami-istri sangat berbeda dan unik, tidak bisa disamaratakan, kan kondisinya juga beda-beda.

  71. Dian

    January 3, 2007 at 5:38 am

    Assalamu`alaikum mba Lita, salam kenal, saya ingin ikut komentar nih…….
    Sepertinya memang selalu ramai diskusi tentang wanita bekerja, padahal memang wanita bekerja memang dibolehkan dalam islam, apalagi kalau bekerja untuk bidang yang memang sangat dibutuhkan wanita seperti dokter kandungan wanita (jelas wanita butuh toh).
    Bagaimanapun dilema yang akan dihadapi wanita bekerja sudah menikah bila punya anak, anak sebagai amanah bagi orang tua, karena kalau laki-laki memang sudah jelas, kewajiban dia adalah yang mencari nafkah.
    Apakah setelah lahir anak, akan langsung bekerja lagi, atau menunggu beberapa bulan? karena si Anak butuh yang melindungi (bisa cari pembantu atau baby sitter, berarti butuh wanita lain sebagai pengganti), butuh susu (asi, bisa diperas asinya, dari segi fisik terpenuhi, atau memilih susu formula).
    Bagaimanapun memang tidak mudah melangkah untuk bekerja (kalau kata saya), apalagi bila anak masih kecil (balita) masih perlu perhatian banyak.
    Dan mengenai apakah anak menjadi baik atau tidak, insyaAllah kalau kita sudah memaksimalkannya sesuai kemampuan kita, Allah akan melihat itu segai amal soleh.
    Usaha dan berdoa, setelah itu pasrahkan kepada Allah mengenai hasil.
    pertanyaannya sudah maksimalkah usaha kita?

  72. renee, bundanya aila

    January 3, 2007 at 11:58 am

    mba’ lita…
    aku pernah jadi semi-fulltime-mom (krn sambil ngelarin S2) & sekarang jadi working mom.
    i love both of them…ada sisi2x utk dicintai & di’benci’… πŸ˜‰

    adalah aa’ yg mendorong aku bekerja lagi & dia konsisten dgn keputusan tsb: dia ikut terlibat dalam pencarian & pendidikan PRT kami, aktif mengontrol aila dari kantor, turun tangan langsung dalam pengasuhan aila selepas jam kerja, rela cuti kalo aku butuh bantuannya (contohnya waktu ke KL tempo hari…), dll.
    kepada aila, aa’ ikut menekankan kalo bundanya kerja bukan semata-mata krn materi.
    ” bunda kerja gak beda dgn aila sekolah. aila kan senang main di rumah sama bunda, tapi aila kan juga senang sekolah. bunda juga begitu…”
    memang baru sebatas itu yg bisa kami jelaskan ke dia, tapi alhamdulillah aila bisa menerima & mengerti πŸ™‚
    tapi gak semua suami kaya’ aa’ku…even yg sama2x posisi sbg ‘ibu’ pun belum tentu bisa spt aa’.
    sekembalinya aku ke dunia kerja, aku menerima ‘teror’ dari pihak2x yg gak suka aku kerja lagi πŸ™
    untungnya (lagi) aa’ & ortuku sepenuhnya mendukung aku.

    sepanjang masa kecilku, aku melihat contoh ibu yg bekerja (ibuku) & aku sangat mengagumi kemandiriannya.
    walau sebagian besar waktunya dihabiskan di kantor, kami tidak pernah merasa diabaikan.
    ibu ingat jadwal kami ulangan, EHB, dll, PR kami selalu beliau kontrol, bahkan ibu sempat membantu kami mengetik tugas, mencari bahan klipping, membeli bahan prakarya, atau sekadar menemani kami mencoba resep masakan disela-sela waktu kerjanya!
    alhamdulillah aku & ke-2 adikku tumbuh baik, jauh dari pengaruh ‘tidak baik’.

    beranjak dewasa, ibu mengambil keputusan berhenti bekerja & kembali aku mengagumi kekonsistenannya dalam membuat pilihan, krn dia menjadi seorang ibu rumah tangga yg begitu luar biasa πŸ™‚
    dgn segala upaya, dia tetap berusaha memperkaya wawasannya (kami anak2xnya paling senang memprint artikel utk ibu, krn pasti beliau baca & klipping).
    sampai hari ini, ibu masih bisa jadi partner diskusi yg handal utk masalah apapun πŸ™‚

    jadi menurutku konsistensi dari semua pihak atas keputusan yg sudah disepakati bersama AMAT SANGAT dibutuhkan.
    sorry kalo yg ‘nyambung’nya dikit bgt πŸ™‚

  73. Ketty

    January 3, 2007 at 5:22 pm

    Dear M Lita:
    setuju banget dengan pernyataan mba: Anak itu tanggung jawab KELUARGA. Bukan hanya emak-nya. Lha bikinnya juga berdua tho sama suami… he3.
    Aku Ibu bekerja dengan anak masih 7 bulan… setiap pagi rasanya berat untuk meninggalkan rumah. Bagaimanapun naluri seorang Ibu untuk dekat dengan anaknya tetap nggak bisa hilang ya.. di sela-sela bekerja pun selalu teringat anak. Hati rasanya tak pernah putus membatin doa: ‘mohon titip’ anak pada kebesaran dan kemurahan Yang Di Atas untuk selalu menjaganya, sementara kedua ortunya bekerja. Wah pokoknya perasaan yang tak terbayangkan deh oleh orang-orang yang ga ngerti.. yang menuduh wanita bekerja itu egois. (masih ada aja ya)

    Puji Tuhan saya dikaruniai suami yang sangat pengertian. Kami saling mengingatkan agar selalu punya waktu untuk anak. Semoga pengorbanan kami membawa kebaikan untuk anak kami dan lingkungannya.
    BTW: siapa bilang jadi IRT itu pekerjaan mudah… saya pernah merasakan.. ternyata pusing juga, selalu dituntut sempurna oleh lingkungan. Kalo masak kurang sedap, dikomentari kok masak aja ndak becus. Kalo rumah tak rapi,kalo kebun kurang terawat juga dikomentari.
    Kalo perempuan bekerja, rada-rada dimaklumi walaupun sebenarnya malu juga…hihihi “ekspresi senyum-senyum nakal”

  74. Lita

    January 3, 2007 at 10:35 pm

    ALL
    Wah, thread ini kembali ramai. Terimakasih untuk mbak Lif dan mbak Dian yang menghidupkannya setelah beberapa bulan anteng di arsip πŸ˜‰

    Maafkan jika saya tidak menanggapi komentar yang masuk setelah bulan Juli 2005. Bukan tidak ingin bersuara, hanya saja nampaknya semua yang ingin saya katakan sudah tertuang di artikel dan di tanggapan atas komentar-komentar yang masuk sebelumnya.

    Saya ingin membiarkan alur ini tetap terbuka bagi berbagai pandangan dan pendapat. Pro ataupun kontra, sila katakan saja. I’m fine.
    Saya bahkan belajar amat sangat banyak dari komentar-komentar di sini.
    Terimakasih sudah sudi membagi ilmu dan wawasan dengan saya πŸ™‚

  75. tukangkomentar

    January 6, 2007 at 5:27 pm

    Maaf saya nggak mengikuti diskusi dalam blog/topik ini secara menyeluruh.
    Satu kalimat agak mengganggu pikiran saya:
    “Jika dia mengizinkan saya ke luar rumah”.
    Mengizinkan? Apakah status suami istri itu dalam sebuah pernikahan nggak setara? Mungkin kata setuju lebih cocok, ya? Karena kalau kata “mengijinkan” itu mengimplementasi, bahwa sang suami yang mementukan segalanya.

  76. Lita

    January 10, 2007 at 10:16 am

    Tukangkomentar
    Maaf saya butuh waktu untuk menjawab, khawatir salah mengerti.

    Setuju dan mengizinkan tidak harus selalu sejalan. Bisa saja suami setuju (tidak ada masalah dengan ide) istri bekerja tapi keadaannya tidak memungkinkan sehingga istri tidak diizinkan bekerja.
    Dan bisa pula suami tidak setuju istri bekerja namun karena keadaan ekonomi keluarga menuntut adanya penghasilan dari dua pihak, istri diizinkan bekerja.

    Suami tidak menentukan segalanya. Tapi suami bertanggung jawab atas segala yang berlangsung di keluarga.

    Status suami adalah pemimpin keluarga. Kata-katanya bukan sabda yang tidak mengenal kompromi. Selalu ada ruang untuk berdiskusi, andaikan semua pasangan bersedia menyediakan waktu dan kelapangan hati untuk itu.

    Seperti strata organisasi, ada pemimpin, ada pula yang dipimpin. Pemimpin mengatur arah, yang dipimpin yang melaksanakan. Sedangkan untuk penerapannya, pemimpin macam apa yang akan diperani suami. Diktator? Demokratis?

    Kesetaraan seperti apa yang sebenarnya dimaksud?

  77. rizts

    February 1, 2007 at 5:10 pm

    Yg namanya pasangan ya berbeda. Sepasang sepatu beda antara keduanya, ada kiri dan kanan. Begitu juga pasangan hidup, seudah tentu hak dan kewajibannya juga berbeda. Sehingga kita tidak perlu saling merendahkan tugas masing2. So, apakah dengan menjadi wanita pekerja wanita akan dihormati karena menganggap pekerjaan laki2 adalah pekerjaan mulia??? Sungguh salah besar klo ada ungkapan seperti itu

  78. Lisa

    March 17, 2007 at 4:09 am

    Ass, hai Lita.. seneng ngebaca blog-nya:)

  79. Lisa

    March 17, 2007 at 4:17 am

    Ass, hai Lita, seneng ngebaca Blog mu πŸ™‚

  80. Lisa

    March 18, 2007 at 9:51 pm

    iya Lit, aku rubah alamat. Ttadinya arif-lisawiranto.blogspot.com, tapi karena kepanjangan jadi kusingkat menjadi: ariflisa.blogspot.com. Tapi aku ga begitu rajin meng-update, hehehehe maaf.. Lebih seneng mengunjungi blog2 yg laen ketimbang nambah blog ku, jadi jangan heran ya kalo aku sering maen ke ‘rumah mu’ ini ya:)

  81. sagita

    March 21, 2007 at 3:06 pm

    hallo, aku join yah.. aku lagi interest sama topik ini, ada nggak yg punya pengalaman ketika pekerjaannya itu mulai jadi focus utama baginya n finaly keluarga tuh otomatis jadi 2nd. so, yang aku pengen tau biasanya seberapa besar pengaruhnya ke suami and anak? banyakkan tuh skarang case terjadi affair karena komunikasi antara pasangan dah jarang karena ke2nya sibuk.. So, kalo ada case kayak gini gimana? apa kalian tetap memilih tuk tetap jd wanita karir or ? answer yah friends πŸ˜‰

  82. santi

    April 14, 2007 at 11:33 am

    Assalamu’alakum, Mbak Lita, long time no see. Ikut reuni kah Juni nanti..? hehe..

    Topiknya menarik walaupun ada pro-kontra. Aku setuju dengan tulisan ini dan gak menganggap ini sebagai legitimasi atau pembenaran atas wanita2 yang bekerja.
    Btw, gak cm ibu bekerja yang sering dijudge, single lady yang bekerja juga sering kena kok. Aku sekarang bekerja dan still single ;p. Aku pernah dibilang sebagai wanita career oriented, tanpa pernah menanyakan apakah aku memang berpikiran seperti itu. So, mereka hanya melihat dan mengamati dari luar trus berkomentar, hiks. Again, I’m still single, so what’s wrong with my work..?

    Duh, jadi curhat gini. Anyway, tulisan ini bagus sekali untuk mengingatkan.

    Mbak, tulisannya aku kopi peis ke blog-ku boleh kah..?

    1. Lita

      April 14, 2007 at 12:46 pm

      ‘alaykum salam, Santi.
      Iya, lama ngga ketemu, ya.
      Insya Allah ikut reuni, kemarin sudah daftar. Santi ikut kah?

      Kalau semua kata orang selalu didengar dan dijadikan pertimbangan, pusing banget deh.
      Terlalu banyak informasi tidak lebih baik daripada kekurangan informasi πŸ™‚
      Wah, gitu ya? Kalau single dan bekerja, komentarnya ngga kalah sinis :p
      So what gitu lho kalau bekerja DAN masih single. Ngga ada korelasinya kaleee… hehe…

      Aku pribadi, ngga suka dengan kenyataan bahwa sebagian ibu-ibu tidak bekerja sebenarnya punya ‘pekerjaan’ tetap, yang bikin mereka ngga kalah sibuk dengan working mom: arisan, ke spa, ke salon, hang out di kafe, shopping.
      Bukannya ngga boleh samasekali untuk menikmati waktu sendiri. Tapi ibu-ibu dengan ‘pekerjaan’ seperti ini kok ya tidak ‘diperhitungkan’ oleh mereka yang menuding bahwa ibu bekerja adalah sumber masalah.

      Bukan bekerja-nya, tapi keberadaan dan fungsinya. Gak kerja tapi ngelayap buat hepi-hepi mulu, apa bedanya dengan bekerja?
      Refreshing sebagai selingan ya boleh aja. Tapi tiap hari pergi jam 10 pulang jam 5, menjelajah mall, salon, spa, dan semua tempat belanja/makan, sementara anak di rumah sama pembantu, apa ya jadi refreshing judulnya? Itu kan kegiatan utama namanya. Bukan selingan.

      Dan ibu tipe ini juga mungkin saja ‘menghasilkan’ anak bermasalah akibat kurang perhatian. Kenapa yang disalahkan hanya working mom? Ngga adil. Ngga adil juga buat fulltime-mom. Mereka bukannya ngga pernah salah. Anak mereka juga bukan ngga mungkin nakal (ngomongs, di sekitar tempat tinggalku, mayoritas ibu-ibu adalah FTM. tapi yang nakal ya nakal aja tuh :p )
      Bentar.. bentar… Aku angot begini bukan karena aku working mom, lho. Aku half-working mom hehehe…

      Lho, jadi ikutan curhat ke Santi hehehe… Gak papa ya, San?
      Copy-paste? Boleh. Link-nya disertakan ya, say πŸ™‚

  83. viya

    September 30, 2007 at 1:32 am

    Aduh gw berharap banget bisa sapat bantuan dengan liat tulisan lw,coz gw lagi ada tugas nih……pusing gila sekarang dah jam berapa!!!!!! tapi makacih dah mo baca curhatan gw……

  84. mamadigi

    November 12, 2007 at 11:28 am

    Aduhhh..dalem banget isinya…
    setuju banget kalau kenakalan anak itu bukan akibat ibunya bekerja. Toh masih aja banyak juga anak yang nakal meskipun ibunya always beside on her childs. yang jelas selalu ada sisi POSITIF dan NEGATIFnya.
    Tapi kenapa sampai saat ini masih aja ada yang berpikiran bahwa ibu bekerja itu melalaikan tugasnya sebagai Ibu dan tidak pantas menyandang gelar IBU..???
    Sedih deh πŸ™
    Tapi setelah saya baca sebuah artikel mengenai hal ini yang saya abadikan di web saya dan membaca tulisan mbak Lita, mudah-mudahan memberikan wawasan buat yang masih berpikiran “sempit” itu.

    Salam,
    mamadigi
    http://www.digithalia.com

  85. Anast

    November 12, 2007 at 1:45 pm

    Mbak Lita,

    Salam kenal ya…
    Kemarin sempet mampir baca-baca blog Mbak Lita, thank you banget, artikelnya bagus-bagus…
    Aku seneng banget banyak input bagus-bagus terutama tentang parenting and nursery..

    Aku working mom juga seh, setelah baca artikel Mbak Lita, semakin dapet peneguhan aja to become the best mommy for my child, even when I’m working, once again thank you…

    Regards,
    Anast -Jovan’s mom

  86. fitri retnowulan

    March 2, 2008 at 10:40 am

    Mbak Lita,sy adalah ibu dr seorang anak yg berusia 11 bln.pd saat yg sama sy jg menjadi asdos di psiko unpad.sy br mulai menyusun tesis dg tema ibu bekerja.skrg br tahap eksplorasi utk mengumpulkan masalah yg ada.sy sdr kerap mengalami rasa bersalah saat meninggalkan anak.meskipun suami sgt mendukung sy utk bekerja.sy jd ingin meneliti lbh lanjut dan jg berbuat sst bg ibu bekerja lain agar bs mendapat solusi yg tepat.bolehkah sy ngobrol lbh jauh melalui email?makasih byk sblmnya

  87. Lita

    March 2, 2008 at 11:25 am

    Dear all moms,
    Yuk saling bantu πŸ™‚

    Percayalah bahwa nasib keluarga tidak HANYA bertumpu pada peran ibu, tapi juga ayah, anak, dan anggota keluarga lainnya (pembantu, kakek-nenek, dll). Kita mungkin punya alasan berbeda mengapa bekerja. Dan reaksi keluarga serta orang sekitar juga tidak selalu sama. Tapi kita sama-sama tahu, bahwa kita sama-sama ibu πŸ™‚

    Be brave, moms.
    Mbak Fitri, sila hubungi saya di lita@inirumahku.com jika memang ingin sharing πŸ™‚

  88. Ceuk Urang mah » Blog Archive » Dilemma of being a mom

    September 8, 2008 at 7:53 am

    […] Inspired by a very sharp post, I am also reconsidering my further plan: to go back to work or stay at home as a home maker. I have two commitments:  to be a wife and a mother of three sons. […]

  89. meyrah

    September 24, 2010 at 6:39 pm

    bagaimana ibu bekerja boleh menjejaskan kualiti ibu?

  90. ratih

    August 17, 2011 at 5:16 am

    Mbak, Pilihan jadi FTM ato WM itu dah otoritas ibu untuk memilihnya, please jangan saling ngejugde.
    aku pernah baca loh penelitian tumbuh kembang anak antara FTM ma WM. sedang kucari artikel aslinya.
    kurleb seperti ini bunyinya Tumbuh kembang anak FTM dan WM ternyata sama saja tapi lebih baik tumbuh kembang anak dimana ibu bekerja Part Time / bekerja di rumah.
    karena jadi FTM juga stress bgt palagi kalo awalnya kita bekerja n tiba2 berhenti πŸ™‚ –> pengalaman ni. stress Ibu berpengaruh ke anak. Kalo ketemu ku share disini hasil penelitiannya

  91. ratih

    August 17, 2011 at 6:04 am

    wkwkw. gak nemu juga mbak.
    Working mom, fulltime mom, ibu menyusui, ibu tidak menyusui, ibu kandung, ibu tiri, ibu adopsi.. semua ibu yang menyayangi anak-anaknya. KALIAN HEBAT! –> Ini yang penting

  92. Dezy 'Visual ART"

    December 29, 2011 at 11:59 am

    Kutipan : “Tak sedikit istri yang melangkah ke luar, lalu memutuskan untuk kembali ke rumah, menjadi ibu rumah tangga purna waktu setelah merasakan kerasnya dunia kerja ” hemmmm APA BETUL ???

    Saya bekerja sejak lulus kuliah sdh 16 tahun saya bekerja, sebelum akhirnya memutuskan full time mother (baru 3 bln berjalan). Anak saya (berusia 2 th & 4 th),

    Selama ini saya merasa hebat bisa menjd super moms (istilah kerennya ibu yg bekerja) …. tp tahu tidak super moms bukanlah ibu yg bekerja …. tp full time mother tanpa asistent rt. saya merasakan ternyata jd ibu jauh lbh berat.

    Mau tahu kenapa :
    ibu bekerja ( 8 jam / hr. ada istirahat, ada sosialisasi, ada gaji, ada cuti, ada penghargaan)

    ibu rmh tangga : 24 jam, 7 hari kerja. tanpa istirahat (berharap anak tidur teratur), tanpa gaji, tanpa sosialisasi, tanpa PENGHARGAAAN)

    Menghadapi Anak jauh lbh rumit dr klien yg paling menyebalkan sekalipun. Menyuapi sendiri anak yg susah makan jauh lbh susah dr bos yg galak.

    Tadinya saya bangga sebagai ibu yg bekerja (super moms gituloh) dan menganggap ibu RT hanya ibu dgn pekerjaan yg gampang. Tp saat ini saya merasakan bagaimana berat dan mulianya ibu RT.

    JD TAHU KAN KENAPA WANITA JAMAN SEKARANG LBH MEMILIH BEKERJA DI LUAR RUMAH, krn jauh lbh mudah. SAYA sdh merasakan 16 tahun bekerja (tanpa stress) tp baru 3 bln saya Fulltime mothers saya sdh mengeluh …. BERAT BOOO tanpa ada jeda sama sekali ….

    jd lebh berat lg krn saya mencoba trs berkarya dirumah …. disela2x tugas yg utama IBU RUMAH TANGGA.

    PEKERJAAN PALIN MULIA DI DUNIA ADALAH IBU….

  93. Lita

    January 1, 2012 at 9:05 pm

    Kutipan : Ò€œTak sedikit istri yang melangkah ke luar, lalu memutuskan untuk kembali ke rumah, menjadi ibu rumah tangga purna waktu setelah merasakan kerasnya dunia kerja Ò€ hemmmm APA BETUL ???
    Begitu menurut para ibu yang mundur dari pekerjaannya.
    Boleh tidak setuju. Pendapat tidak harus sama. Tapi keadaannya memang begitu, setuju atau tidak.
    Dan maaf, saya menulis ini 5 tahun yang lalu. Bisa jadi saat ini memang sudah tidak berlaku lagi.

    Tanggapan untuk ini perlu tulisan tersendiri.
    Saat ini harus menunggu dulu.
    Terima kasih sudah berbaik hati meninggalkan komentar di blog ini.

  94. nanana

    May 14, 2012 at 8:58 am

    saya bekerja. gaji besar, alhamdulillah. tapi sbntar lagi saya memutuskan jadi ibu rumah tangga. kenapa? karena saya sayang sama anak saya. meskipun sudah ada “mba” yang asuh, meski sudah ada “nenek” yang asuh. tapi kasih sayang ibu yang full. jelas beda.

  95. Lita

    May 26, 2012 at 4:36 pm

    Alhamdulillah. Beruntunglah anak yang tidak harus dua-duanya bekerja karena tuntutan ekonomi πŸ™‚
    Beruntung pula anak yang dapat berpanutan pada kedua orangtua yang bekerja.

  96. Air

    July 25, 2012 at 2:37 pm

    Bagaimana jika seorang suami sudah mempersiapkan usaha sesuai dengan bidang pendidikan sang istri untuk istrinya dan sudah hampir jalan, disaat bersamaan istrinya di terima kerja di perusahaan dan istri lebih memilih bekerja diperusahaan. apa yang harus dilakukan suami? jika suami mengharap istri menjalankan usaha tetapi istri memilih bekerja, apa salah jika suami tidak ikhlas melihat istri bekerja…?Tolong berikan penjelasan tentang ini.

  97. Lita

    August 24, 2012 at 7:29 am

    Dear Air,
    Saya tidak dapat menjelaskan ataupun menganjurkan apa-apa tentang ini.
    Setiap orang adalah unik, begitupun setiap hubungan.
    Yang paling baik adalah membicarakan hal ini dengan istri. Katakan dengan tenang apa yang menjadi beban pikiran dan apa yang dirasakan. Setelah itu sediakan telinga dan terima semua tanggapan dari istri. Mungkin ia punya penjelasan yang belum dikatakannya.

    Yang dapat saya katakan adalah bahwa walaupun kehidupan istri adalah tanggung jawab suami, tapi tak dapat disangkal tentang keinginan untuk dapat mandiri. Walaupun bukan untuk menafkahi keluarga, tapi mampu menafkahi diri sendiri dan tak selalu menadah tangan pada suami untuk hal-hal sederhana yang dapat dibeli sendiri adalah bentuk kepuasan sendiri.
    Begitulah yang diajarkan ibu saya πŸ™‚
    Maaf jika ada yang kurang berkenan.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.