Belajar Memilih & Membuat Pilihan
Ayah mengajak Daud mandi, sementara bunda menyiapkan piyama. Karena bunda suka kuning, ya… bunda ambil yang kuning (selain karena piyama kuning ada di tumpukan paling bawah).
Habis mandi, Daud pilih-pilih piyama sendiri dan ambil yang biru.
Bunda: “Itu lho, nak, sudah bunda ambilkan.”
Daud: “Tapi aku mau yang ini.”
Bunda: “Baiklah.”
Daud: “Hmm… Ya sudah.” *taruh piyama biru kembali ke lemari, lalu mengambil piyama kuning yang disiapkan bunda*
Bunda: *awww….*
Sederhana saja, kok. Tidak ada yang istimewa. Kadang Daud mau ‘mengalah’ mengikuti pilihan orangtuanya, kadang berkeras dengan kemauannya sendiri.
Kalau sekadar pakaian, yang penting sesuai dengan keperluannya. Walau ada kalanya bosaaan… karena kaos yang dipilih yang itu-itu lagi. Bukan apa-apa, kaos itu umurnya sudah lebih dari 2 tahun. Untungnya mau berhenti pakai ketika dikatakan padanya kaos itu akan disumbangkan, sudah kekecilan.
Kalau pilihan lain, seperti bersekolah, kami cenderung buka jalan diskusi. Di usia 3 tahun, Daud enggan ketika ditawari bersekolah (di taman bermain/playgroup). Sementara Ibrahim sudah minta bersekolah di umur 2,5 tahun.
Mereka memang berbeda. Jadi ya santai saja. Toh ternyata Daud yang ‘mau sekolah’ di umur 4 tahun dinilai layak untuk menjalani Taman Kanak-kanak tahun pertama. Tak ada kesulitan berarti walaupun tubuhnya jelas kelihatan lebih mungil daripada teman-temannya.
Ibrahim, kebalikannya. Ia sudah ‘meraja’ sejak di taman bermain dengan tubuhnya yang tinggi dan sikapnya yang keras. Gurunya pernah mengeluhkan Ibrahim yang menguasai seluruh balok mainan sendirian untuk membuat kereta api yang panjang. Tak bersisa untuk temannya. Tapi kalau temannya dinakali oleh anak dari kelompok bermain lain, ia yang maju membela, “Ini temanku!”. Koleris melankolis sejati.
Terbayang, kalau Ibrahim yang disiapkan piyama, mungkin reaksinya adalah, “Ndak mau. Aku mau pakai yang ini!”, sambil memilih sendiri dan langsung memakainya tanpa minta persetujuan. Bunda akan bertopang dagu saja sambil senyum-senyum.
Tentunya, tidak semua pilihan ditawarkan secara terbuka. Kalau tiba waktunya tidur, tawarannya adalah, “Mau bawa mainan yang mana? Jumlahnya harus satu dan harus kecil (bisa digenggam).”, kalau akan bepergian, “Mau pakai sepatu atau sepatu sandal?”, atau “Mau sikat gigi sekarang atau 10 menit lagi?”.
Bunda masih harus banyak belajar tentang pilihan. Menyediakan pilihan, memilihkan, dan menawarkan dengan cara yang baik. Mengajarkan berdiskusi dan bertukar pendapat serta belajar saling mendengarkan. Bunda hanya ingin kalian tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang shalih, kokoh, logis namun lembut di hati. Bunda harus ajari diri bunda terlebih dulu untuk itu.
Bismillah…
yahya
July 28, 2010 at 5:57 amalhamdulillah… 😀
Lita
July 28, 2010 at 10:56 amDalem ya kalau yang mengamini si Mr. Simple sendiri…. -_-
Iya iyaaaaaa…
Kapkap
July 29, 2010 at 4:35 pm“Tapi kalau temannya dinakali oleh anak dari kelompok bermain lain, ia yang maju membela, “Ini temanku!â€. Koleris melankolis sejati.”
Lucu 😀