Membuka Payung
Ada saat-saat di mana remaja tidak klop dengan orangtuanya. Terutama soal pikiran dan pemikiran. Karena saat ini saya sudah menjalani keduanya, saya dapat bicara tentang keduanya. Dan terkadang dimintai pendapat oleh murid-murid saya.
“Bagaimana ya supaya orangtua saya mengerti bahwa saya sebetulnya tidak ingin sekolah semahal ini? Dan setinggi yang orangtua saya inginkan? Saya tidak inginkan kenyamanan dan harta. Saya ingin mengabdikan diri sebagai pekerja sosial. Saya yakin rezeki dan nasib saya ada di tangan Tuhan. Sepenuhnya saya berserah dan saya mencintai jalan ini.”
Saya yakin 100% tidak semua guru pernah mendengar ini dari muridnya. Di tengah terpaan kepraktisan, pikiran seperti ini langka. Apalagi pasca zaman ‘Rich Dad Poor Dad’. Ngapain gue sekolah repot-repot, jadi pinter. Ntar juga gue jadi karyawan. Mending bisnis deh, jadi bos.
Saya tidak mencela pembinaan wirausaha, kok. Itu sangat baik. Namun alasan yang menjadi dasarnya tidak masuk akal. “Ngapain susah-susah sekolah kalau mau jadi pengusaha. Yang drop out saja bisa sukses.” Lho memangnya hanya orang putus sekolah yang bisa jadi pengusaha? Apakah sekolah menghalangi dari wirausaha? Tidak pernah demikian. Yang ada adalah pikiran yang tidak terbuka.
Payungnya dibuka dulu, yuk!
In remembrance of one of so many insightful conversation with my students.
Leave a Reply