Curtwit
Beberapa waktu lalu di Twitter muncul ungkapan, “Kalau guru saja tidak menguasai semua mata pelajaran, mengapa murid harus?” Tweet ini segera menuai RT alias diamini oleh banyak teman-temannya. Saya, yang seringkali iseng, menimpali agak serius. “What makes the difference between the common and the specialist is 75%.” Hebatnya murid saya, ngerti lho disindir halus begini.
Nilai ketuntasan minimal untuk mata pelajaran utama adalah 75. Dengan demikian kurang tepat ya kalau dikatakan murid harus menguasai semua mata pelajaran. Karena istilah ‘menguasai’ itu, menurut saya, lebih tepat untuk ditujukan pada mereka yang berkompetensi setidaknya 85%. Menurut saya, lho. Boleh beda ya.
Tapi saya mengerti yang sebetulnya anak-anak saya ini maksud. Mereka lelah. 16 mata pelajaran, nilai minimal yang harus diperjuangkan adalah 75. Kalau belum mencapai nilai tersebut, dikatakan belum tuntas alias harus ujian remedial. Ujian remedial, yang sejatinya untuk membantu, seringkali jadi terpelintir. Ujian remedial tidak dipandang sebagai kesempatan berharga, namun tuntutan, atau ungkapan masa bodoh. “Ya sudahlah. Paling juga remedial. Ngapain belajar capek-capek.” Lhooo…
Eh saya tidak bermaksud bicara tentang remedial. Ini semangat yang bagus dari kurikulum KTSP. Tentang pelaksanaannya, ya masih banyak kurangnya. Apalagi saya.
Kembali ke tweet. Saya uraikan tentang piramida belajar yang memang lebih banyak jenis pelajaran di dasar piramida ketimbang ketika menjelang puncak, yang berarti secara keilmuan sudah terspesialisasi. Dan seterusnya. Muncul komentar ‘curtwit’. Dan sayapun tertawa.
Anakku, saya curhat di Twitter. Di blog. Itu adalah ranah di mana saya sendiri yang memasukkan isinya. Dibaca orang lain dengan sukarela (ya intinya dengan maunya sendiri, saya kan tidak bisa memaksa orang lain untuk membaca tulisan saya -bisa sih, kalau dijadikan tugas hihihi…). Sebagian besar self-publishing content seperti ini berpotensi tinggi untuk menjadi media katarsis, memang. Salah? Tidak.
Yang salah adalah menganggap bahwa guru tidak akan salah. Dan tidak boleh salah. Hei, kami bukan nabi! Ya apalagi curhat lah, ya. Capek saja bisa dirasa, jenuh pula, kesal apalagi. Semua orang juga pasti merasakannya. Yang membedakan adalah cara dan medianya.
Menurut saya, guru curhat boleh saja. Di kelas, jika perlu, dan untuk pembelajaran siswa misalnya, silakan saja. Tapi porsinya tidak boleh signifikan. Saya memilih untuk tidak curhat di kelas. Mengganggu. Memaksa siswa untuk mendengarkan (yang walaupun matanya menatap kita, di pikirannya, “Bu, please deh. Materi aja belum sampai target, nih. Curhat mulu. Kita juga banyak yang dipikirin!” -eh, ngga ya? alhamdulillah kalau begitu). Menutup pilihan mereka untuk menyimak yang tidak wajib mereka dengar.
Dengan maksud baik tidak ingin memaksa untuk hal yang bukan kewajiban mereka (dan lebih pada egoisme saya), ya saya curhat di Twitter saja. Atau di blog. Melihat gurunya sebagai manusia, yang juga punya masalah dan keluh, konon bisa membuat murid lebih terbuka. Karena yang dihadapi oleh mereka adalah mahluk sejenis! Yang realistis karena berdimensi lebih dari satu -wajah sosok yang mereka lihat di kelas.
Jadi, nak, gurumu -seperti juga orangtuamu- curhat itu untuk mempertahankan kewarasan. Kalau mau protes, proteslah pada yang curhat di kelas dan mengambil hakmu. Kalau di Twitter? Ya tinggal unfollow aja, sih. Ngga pake repot, kan? Pegel juga kalau disuruh serius atau ‘berbobot’ terus. Saya bukan quote generator. Perkara murid mau ambil kutipan lucu maupun serius dari saya ya itu ‘efek samping’. Bukan itu perkara utamanya.
Kalau sesama guru bagaimana? Hihi… ini pasti lebih ruwet. Tidak hanya profesi guru. Dilema kolega secara umum pasti ada. Di-follow, tweet-nya nyebelin. Di-unfollow, gak enak (ada kok yang memang kemudian jadi ‘dibahas’). Ayolah. Ini hanya Twitter. Unfollow tidak berarti tidak menjadi teman lagi, kan? Psst… kadang-kadang iya, lho :p
Kontraktor
December 5, 2011 at 11:13 ambener jg yah, knapa murid harus menguasai 16 pelajaran sedangkan guru hanya 1 pelajaran…? dengan SK yg lumayan tinggi…
salam kenal