Jera Menyontek

Pekan kemarin terasa sedikit berbeda dari pekan biasanya saya mengajar kelas 12. Salah satunya adalah saat saya mengumumkan hasil ujian tengah semester. Satu per satu saya panggil, untuk diperlihatkan rinciannya berdasarkan capaian untuk KD (kompetensi dasar) yang diujikan.

Satu murid yang saya panggil, mengisi lembar isian komputernya dengan tebakan beruntun. Misalnya dari nomor 11-20, ditebak dengan C, katakanlah demikian. Tidak beruntungnya, dari nomor 11 sampai 20, tidak ada yang jawabannya C. Sehingga salah totallah 10 nomor itu. Saya tanyakan itu padanya, “Nak, kamu bener-bener ngga bisa, ya?”. Kalau masih ada yang bisa dikerjakan, tentu tidak akan dijawab dengan cara seperti itu yang berisiko tinggi. Jawabnya, “Saya ngga bisa jawab, miss. Tapi saya ngga mau nyontek lagi. Udah kelas 12, masa masih nyontek.” Saya tersenyum dan ucapkan terima kasih padanya.

Ketika murid saling berbagi cerita tentang gurunya di kelas, dengan intensitas yang saya yakini setidaknya sama -atau lebih- guru juga saling berbagi cerita tentang muridnya. Jika satu berkasus menyontek di satu pelajaran, sangat mungkin guru lain juga tahu. Dengan demikian seperti halnya ‘legenda’ tentang guru tertentu diwariskan dari satu angkatan ke angkatan di bawahnya (Pak anu enak banget ngajarnya! Bu itu gosip banget di kelas!), keahlian murid juga beredar dari pengajar kelas ke kelas di atasnya. Guru kelas 11 akan dapat cerita dari guru kelas 10, dan seterusnya. 

Di awal mengajar kelas 12, satu kelas secara terbuka -dan setengah serius- bercanda dengan saling tunjuk, “Dia tuh bu, dari kelas 10 suka nyontek!” lalu saling lempar tuduhan antar mereka sambil ditimpali tawa. Saya tanggapi secukupnya. “Nak, apapun yang kamu lakukan di kelas sebelumnya, tapi kamu dengan saya sekarang. Kita punya awal baru. Lupakan yang sudah, saya tidak pedulikan masa lalumu. Yang penting sekarang. Setuju?”

Tentunya sikap skeptis (mempertanyakan secara adil) patut dipertahankan. Murid dengan niat baiknya tidak sepatutnya ditinggalkan begitu saja dengan alasan ‘sudah kapok’ atau yang lain. Dia harus dibantu dengan pengawasan selayaknya, agar mengurangi kesempatan baginya untuk berbuat tidak baik. Dia harus dibantu dengan kepercayaan yang cukup, agar ia dapat maju dan pulih dengan tanggung jawab.

Remaja sering disalahpaham. Ah, tak hanya remaja. Siapapun rentan disalahpaham, terutama jika penampilan dan perilakunya tidak sesuai dengan kesukaan/harapan penilai. “Saya memang sering nyontek, bu. Tapi saat (dituduh) itu saya tidak nyontek, dan ngga pada percaya.” Bisa dari pengalaman sebelumnya, bisa dari penampilan (rambut gondrong, baju tidak rapi), bisa dari kata-kata orang lain, apa saja.

Entah dia tahu atau tidak, saya tulus berterima kasih. Terima kasih, sudah memperbaiki diri dengan berhenti menyontek. Terima kasih, karena itulah sesungguhnya sari dari pendidikan dan belajar: perubahan. Perubahan sikap, bisa dipicu oleh kejadian, permintaan orang lain, atau datang dari diri sendiri. Manapun itu yang terjadi padamu, nak, apakah saya terlibat di dalamnya atau tidak, tidak masalah bagi saya. Terima kasih karena kamu sudah belajar. Semoga niat baikmu mengundang keberkahan masa depan.

2 Comments

  1. Komang Shary

    November 1, 2012 at 8:26 pm

    waah unyu sekali miss :”) semoga semakin banyak anak yang seperti dia ya, miss.

    1. Lita

      November 2, 2012 at 8:14 pm

      Iya, saya sampai bengong dulu 🙂
      Semoga, dan tulus.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.