Urusannya Bukan Urusanku
Selama setahun lebih mendapat tempat duduk di dekat pintu ruang kepala sekolah, ada beberapa hal yang paling sering ditanyakan oleh orang padaku:
- Kepala sekolah sedang ada di ruangannya tidak?
- Kalau kepala sekolah tidak ada di ruangannya, “Sedang ke mana, ya?”
- Kepala sekolah sedang ada tamu tidak? Kalau ada, siapa? Ada urusan apa?
- Kepala sekolah masih ada atau sudah pulang? Kalah sudah pulang, “Jam berapa pulangnya?”
Ini bahasan tidak penting. Kalau diletakkan dalam kuadran prioritas, pertanyaan semacam ini akan masuk kategori mendesak dan tidak penting. Mendesak karena minta jawaban saat itu juga. Tidak penting karena tidak berhubungan dengan kepentinganku sendiri -_-;
Ketika sedang tidak mengajar, aku lebih suka duduk membaca atau sibuk dengan laptop (belajar atau membuat bahan ajar, browsing, atau tweeting). Seringkali dengan headset terpasang, supaya bisa lebih fokus dengan apa yang sedang saya kerjakan. Ini juga sekaligus sebagai pertanda bahwa aku tidak ingin diganggu.
Dengan perilaku yang seperti itu, aku bahkan sering terkejut jika ada yang mengajakku bicara. Bagaimana pula akan diharapkan untuk memperhatikan siapa dan apa yang sedang terjadi di ruang kepala sekolah? Tapi kalau dijawab dengan, “Tidak tahu pak/bu.”, biasanya yang bertanya akan merengut dan bertanya balik, “Kok bisa ngga tau, sih? Kan duduknya di sini.” Duduk di sini tapi tidak bertanggung jawab atas kegiatan kepala sekolah, ya tidak apa-apa kan kalau tidak tahu? Bagaimana kalau tanyakan kepada yang memang bertanggung jawab untuk tahu kegiatan beliau?
Kita (aku) kadang menuding seseorang bertanggung jawab atau harus tahu atas sesuatu hal hanya karena posisinya yang dekat. Mungkin karena posisi, kekerabatan, pertemanan, atau apapun yang lain yang dapat diasumsikan sebagai kedekatan. Ketika ditanggapi dengan ketidaktahuan, kita bertanya, “Kok bisa nggak tahu? Kamu kan [isi dengan posisi kedekatan].” Tapi… apakah untuk dikatakan punya sifat peduli harus begitu?
Leave a Reply