Random Kindness
Seberapa sering kamu melihat atau merasakan ‘random act of kindness’? Laki-laki yang merelakan tempat duduk nyamannya di bus, uang kembalian belanja yang sengaja dilebihkan oleh penjual, ditolong menyeberang jalan *ampun, motor memang paling sulit mengalah, ya*, atau mbak baik hati yang membelikan teh botolan dari sisa uang di vending machine, bela-belain nyamperin padahal antrean di halte busway sedang mengular naga…
Kalau sedang didaftar begini, betapa aku merasa kurang bersyukur. Detil-detil kebaikan hati yang indah dan ‘pada waktunya’. Allah Mahabaik.
Salah satu yang berkesan adalah tawaran diantar. Saat itu aku sedang terburu-buru karena hampir terlambat untuk mengajar sore. Dekat saja, tapi kalau jalan kaki pasti terlambat lama. Ojek kok ya tidak ada, sedangkan Bajaj beroda tiga (ada yang roda dua dan lebih keren, kan?) sedang mandek bersama dengan barisan mobil di kemacetan. Sedang celingukan, lalu bapak satu ini menghampiriku dan bertanya, “Cari ojek ya, bu?”. Kuiyakan. “Ke mana? Kalau dekat, saya antar aja.” Spontan bengong. Kenal pun tidak, tapi beliau tampak baik hati dan tulus. Kusebutkan tujuanku. “Ayo bu. Tapi motor saya yang ini. Ngga papa, kan?” Aku bengong lagi. Motornya Ninja Kawasaki merah yang kalau jadi penumpang harus duduk nungging itu.
Tak punya alasan untuk menolak tawaran baik, akhirnya diantarlah aku ke sana. Tak perlu bayar. Hanya tersenyum dan lambaikan tangan, berlalulah beliau dari hadapanku setibaku di tempat tujuan. Sepanjang perjalanan singkat, beliau cerita tentang anak-anaknya dan kebiasaannya duduk di tempat aku menjumpainya saat itu.
Hanya saat itu kulihat beliau dengan Ninja merah. Sejak itu hanya bertukar anggukan sopan dan senyum ramah. Dan aku sekarang lebih memerhatikan orang-orang yang duduk di situ. Termasuk bapak-bapak yang selalu membantuku memanggilkan taksi saat aku butuh dan menawarkan berteduh saat menanti taksi yang tidak banyak lewat.
Malam ini, seperti malam-malam yang ‘aneh’ lainnya, adalah saat kebaikan sahabat dekat yang kukenal sejak kelas 1 SMA. Aneh, karena ia ‘hanya’ menyapa di saat genting. Seperti bisa tahu kapan aku sedang membutuhkan pertanyaan-pertanyaan kritisnya, membantuku memulihkan pandangan dan menguatkan yang goyah.
Seperti kejadian kebaikan yang selalu ada, aku bersyukur atas sahabat yang selalu ada saat aku paling butuh. Selalu ikut senang saat aku senang, padahal hampir selalu tak ada di dekatku saat senang itu terjadi dan tak ikut merayakan. Selalu menopang jiwa saat aku bimbang atau sedih, di belahan dunia manapun itu. Mereka akan muncul dari mana saja, hadir lewat media apa saja, dengan alasan apa saja. Untuk semua ketulusan sahabat, aku yakin tak semua orang beruntung memilikinya.
Ya, aku tahu ini tidak betul-betul ‘random’. Tapi hasil rajutan nasib baru terlihat di penghujung hari. Atau ketika sengaja meluangkan waktu untuk mengingat. Semoga tidak harus selalu ditampar dengan ketidakenakan untuk mau mengingat. Semoga pandangan tidak disempitkan dengan hanya melihat yang kasat mata, tapi tak mampu melihat kebaikan hikmah di baliknya. Terimakasih, Allah.
*Faith in humanity: restored.*
Leave a Reply