Guru Super dari Murid Bermasalah
Beberapa bulan belakangan ini mendapat pertanyaan senada dari murid-murid, sebagai tanggapan atas jawabanku terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan.
Kok ms. Lita tahu sih kapan kami bingung? Kok tahu sih kami mikir begitu? Kok ngga nanya-nanya tentang pacar seperti pak/bu [menyebutkan nama]?
Pertanyaan yang biasanya akan kujawab dengan sederhana, “Karena saya pikir saya akan (merasa/berpikir) begitu kalau saya jadi kalian.” Biasanya pula akan membuat heran dan bertanya lagi, “Kenapa?”, yang akan aku jawab, “Bukannya wajar, ya?” Pertanyaan lanjutannya yang perlu dijawab dengan hati-hati:
Kok mereka tidak seperti ms. Lita?
Setiap orang punya keunikan sifat, walaupun pasti tidak satu-satunya di dunia yang punya sifat demikian. Kombinasi berbagai sifat, bentukan orangtua, pengalaman hidup, dan lingkungannyalah yang membentuk seseorang menjadi ia yang sekarang.
Saya begini karena ini saya. Dengan sifat dan pengalaman saya, dan kemauan saya. Saya tidak harus menyerupai siapa-siapa dan orang lain pun tidak harus menyamai saya. Kamu menyukai saya, tidak berarti semua orang menyukai saya. Orang yang tidak kamu sukai, bisa saja ternyata disukai oleh banyak orang. Jadi ya tidak apa-apa kan kami berbeda?
Tidak mudah untuk membuat murid melepaskan tuntutan terhadap guru lain supaya mewujud menjadi sosok yang disukainya. Jika sosok itu nyata dan dikenali, maka sosok itu akan selalu jadi pembanding bagi lainnya. Sampai dia tidak lagi sempurna bagi standar idealnya. Entah ada sosok yang baru, atau ia menerima bahwa sempurna itu tidak ada.
Kemarin ada yang bertanya,
Apakah dulu ibu adalah murid yang bermasalah atau baik-baik saja? Karena saya nonton Mario Teguh, intinya sih katanya “seorang guru bisa jadi super karena dulu mereka adalah murid yang bermasalah”.
Antara ingin berterima kasih dan menghindari hidungku kembang kepis karena merasa dipuji (haha..). Semestinya ini jadi contoh soal logika matematika.
Guru yang baik tidak mensyaratkan masa remaja yang bermasalah. Murid yang bermasalah (dalam konteks yang dimaksud anak ini) tidak lantas membuatnya menjadi guru super kelak. Dan murid yang baik tidak pula akan membuatnya menjadi guru yang baik nantinya.
Intinya? Tidak berhubungan sebab-akibat. Tentu, ada pengaruh pengalaman. Tapi tidak dapat dipakai untuk memastikan hasil. Proses bisa dirunut dan diamati perkembangannya. Tapi tidak ada yang kekal di dunia ini, kebaikan maupun keburukan.
Orang dapat berubah. Sedikit atau banyak, sebentar atau lama. Yang banyak berubah dalam waktu singkat, umumnya karena guncangan akibat peristiwa besar dalam hidupnya. Besar yang relatif. Yang menjadi pengukur adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Kita, orang luar, hanya bisa bersimpati atau berempati.
“I can free your mind, Neo. But I can only show you the door. You have to walk through it.” ~ Morpheus, The Matrix
Carilah jawaban bagi pertanyaanmu, nak, gurumu ada untuk membantumu. Tapi jangan tuntut orang lain untuk memberi jawabannya, karena perjalanan pencarian jawabanmu adalah hidupmu.
Ule
January 13, 2013 at 8:50 amAku dulu bukan murid bermasalah, sekarang ga jadi guru super juga sih, emang. *manggut-manggut*. *kapan kita ketemuaaaannnnnn?*
Lita
January 28, 2013 at 10:46 pmSama. Aku bukan guru super juga.
Kapan ya? *temen super tega, bales komentar 2 minggu kemudian XD *
Iwan
February 6, 2013 at 11:03 amBaca-baca blognya mbak Ita, isinya super sekali. 🙂
Saya pernah punya guru SMA yang seperti mbak Lita, tapi laki-laki. Coba kalo guru saya perempuan dan secantik mbak Lita, pasti udah saya lamar dulu itu… 😀 *soalnya gurunya baru lulus kuliah*
Lita
February 6, 2013 at 12:54 pmLha yang mau melamar malah baru lulus SMA, ya 😆