Kurang Tanggap Ekspresi

Mengajar anak-anak yang cerdas memang menyenangkan. Mereka tidak selalu menjadi peringkat teratas di kelas ataupun meraih prestasi gilang gemilang. Tapi mereka selalu punya pertanyaan. Bagi saya, pertanyaan ‘yang benar’ lebih penting daripada jawaban yang benar. Karena jika pertanyaannya salah, kita mungkin tidak akan sampai ke tujuan. Jika jawabannya salah, kita bisa periksa ulang ke sumber lain.

Saya belajar banyak dari pertanyaan anak-anak cerdas. Mereka dapat membuat saya merasa bodoh dan terpacu untuk belajar. Dan ini penting. Karena musuh utama guru adalah kepuasan. Puas dengan ilmu yang dikuasainya saat ini. Puas dengan hasil yang dicapainya saat ini. Puas dengan tanggapan muridnya. Puas dengan keadaan sekarang.

Ketika guru sudah merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya, saat itu ia berhenti berfungsi menjadi guru. Sudah hilang darinya kehausan untuk belajar, mengejar kebaruan, mencari jawab dari pertanyaan-pertanyaan baru yang selalu diasah. Ia menjadi superior dari muridnya, tak lagi belajar bersama mereka, meraba dan asyik menjelajah ilmu pengetahuan.

Belajarnya seorang guru tak hanya pada ilmu yang diampu, namun lebih banyak tentang memahami dunia dan manusia. Ragam dan dinamikanya. Betapa mengagumkannya ciptaan Allah yang satu ini. Begitu anehnya. Tanggapan beragam, ekspresi beraneka, dan kata-kata yang berbeda dapat dihasilkan dari satu topik saja. Sama yang dilihat, banyak kembangannya.

Dari ekspresi yang banyak jenisnya, ada satu kesamaan yang saya andalkan sebagai umpan balik, yaitu saat murid mengerti. Ekspresi “Aha!” saat pemahaman muncul itu tak dapat ditipu. Itu adalah saat pencerahan. Itu adalah saat murid mengerti dari dalam, bukan dari melafal ulang apa yang diberikan padanya.

Di saat tertentu ketika mengajar saya sengaja menjelaskan sesuatu dengan berpanjang ria sesuka saya. Membiarkan kata-kata tampak kusut, karena sebetulnya saya sedang menguraikan kekusutan benang pikiran, mencari cara yang paling sederhana untuk membuat mahluk yang saya ajak bicara ini mengerti apa yang saya maksud. Di saat inilah biasanya muncul tatapan-tatapan kosong, yang walaupun matanya mengarah sepenuhnya ke saya, tapi saya tahu balon pikiran itu tiba-tiba tak berisi.

Hari ini saya menikmati tatapan itu ketika saya bercerita tentang membran. Yang awalnya dari pembahasan proses elektrolisis, lalu saya kembangkan jadi cerita penelitian saya saat kuliah. Saya mengoceh tentang alat-alat yang tak pernah dipakainya saat praktikum. Murid saya menyimak dengan sopan dalam diamnya.

L: Kamu pasti ngga ngerti ya saya ngomong apa?
M: Ms. Lita selalu tahu ya kalau kami lagi ngga ngerti?
L: Kelihatan, kok.

Seberapa kelihatan, sih? Ya… ada yang samar, ada yang sangat jelas. Itu seperti orang yang melihat ke arah kita tapi sesungguhnya sedang menatap sesuatu yang ada di belakang kita. Jauh. Kita tak nampak baginya.

Itulah penandanya. Alarm bagi sang pendidik. Persimpangan jalan bagi sang murid. Apakah mereka akan dibimbing menuju pengertian, atau akan dibiarkan berjalan sendiri? Beri tahu langsung alamat tujuannya, atau pancing dengan pertanyaan agar timbul jawaban dari dalam dirinya?

Murid-murid lalu akan melanjutkan perjalanan pikirannya, seiring waktu dan jam pelajaran yang berganti. Ada yang berhasil mencapai tujuan ilmunya, ada yang menangguk hikmah dalam perjalanannya, ada yang tersesat, ada pula yang tak tahu bahwa ia sebetulnya tersesat.

Dan bel akan berbunyi… Bel yang sering kali sanggup membuat apa yang sempat singgah ke dalam pikiran hari itu, lenyap ke dalam rimba ingatan.

*terinspirasi dari kicauan pak Sugiantoro:

Diam dan pura2 ngerti adalah cara yang paling simpel untuk mengelabuhi guru yang ‘kurang tanggap’.

Banyak siswa hanya ‘mendengar’ saat guru menyampaikan pelajaran dan banyak guru tampak senang.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.