Marah dengan Sayang
Sekolah kami punya kebijakan untuk tidak mengizinkan siswa membawa ponsel saat jam pelajaran berlangsung. Jadi keadaan standarnya adalah ponsel disimpan di dalam tas atau loker terkunci. Tentu saja, jika guru kelasnya mengadakan aktivitas yang memerlukan ponsel (atau alat komunikasi lain, atau laptop) maka siswa diizinkan membawanya ke kelas.
Maka ketika aku sedang menerangkan sesuatu di kelas lalu sebuah suara digital terdengar, kelas langsung sunyi dan tegang. Terdengar beberapa orang anak mulai saling menyalahkan dan membantah. Singkatnya, ketahuanlah dua orang anak membawa ponsel di sakunya, yang kemudian kusita. Kubuat catatan dalam buku harian keduanya yang ditujukan ke orangtua, bahwa mereka dapat datang menemuiku pekan depan untuk mengambil ponsel tersebut.
Keesokan paginya, orangtua dua anak tadi menemuiku. Ibu dari anak pertama rupanya kurang berkenan aku menyita ponsel anaknya karena menduga ponsel yang berbunyi adalah milik anak lain, walaupun tidak membantah bahwa perbuatan anaknya memang melanggar peraturan sekolah. Bapak dari anak kedua, karena tidak berhasil menghubungiku sebelumnya, menemui wakil kepala sekolah dan mendapatkan konfirmasi bahwa peraturan sekolah sangat jelas tentang membawa ponsel saat pelajaran dan guru kelas dibenarkan untuk menyitanya.
Yang menarik adalah tanggapan kedua orangtua tersebut yang sangat berbeda.
Ibu anak pertama menyatakan bahwa seharusnya aku dapat mencegah kejadian ini dengan menggeledah siswa sebelum pelajaran dimulai. Saran yang tidak kuterima, karena tidak memperlihatkan kepercayaan, dan… tidak terasa benar bagiku. Maksudku, mereka harus belajar bertanggung jawab dengan mengemban kepercayaan yang diberikan di awal, bukan dicurigai sebelum apa-apa.
Bapak anak kedua, dengan sangat merendah langsung menyalamiku dan meminta maaf atas perbuatan anaknya. Beliau memintaku untuk menceritakan dari awal, karena kurang puas dengan penjelasan anaknya yang menurutnya belum menceritakan semuanya. Kukatakan bahwa sebetulnya alasan awal aku meminta anaknya meninggalkan ruang kelas adalah karena tidak membawa buku catatan & buku pelajaran. Hanya karena anak pertama komplain, anak ini mengaku juga membawa ponsel di sakunya.
Dengan raut paham akan kronologi lengkapnya, bapak ini memanggil anaknya. Beliau kemudian memarahi anak tersebut di hadapanku, dengan kata-kata tegas, nada suara yang biasa saja, tapi kekecewaan jelas terdengar. Ini fragmen yang bisa kuingat dari perkataan bapak itu ke anaknya.
“Kamu takut sama papa, tapi kalau tidak ada papa kamu tidak nurut. Kamu takut sama bu guru, tapi di belakangnya kamu tidak nurut. Tidak boleh begitu. Ibu gurumu muslim! -Papa baru tahu itu- Dia takut sama Tuhannya. Pasti tidak akan macam-macam. Papa dulu nakal, bikin susah guru. Papa menyesal, makanya papa tidak mau kamu begitu. Kamu tahu bawa hp itu tidak boleh, tapi kamu tetap bawa. Bu guru sudah baik sekali mau mengajari kamu, tapi kamu nggak nurut!”
Anak itu terdiam, menatap ayahnya dengan raut yang baru pertama kali itu kulihat: sedih, bukan karena dimarahi, tapi karena membuat ayahnya kecewa. Aku jatuh iba (dan ikut merasa tersindir, walaupun pasti bapak itu samasekali tidak berniat demikian). Lalu bapak tersebut melakukan hal yang samasekali tidak kuduga; dengan isyarat ia menyuruh anaknya pergi menghadap ke tembok. Astaga…
Saat berdiri menatap dinding tampaknya anak tersebut mengatakan sesuatu, karena kemudian sang bapak berkata, “Papa tidak dengar.” Barulah terdengar ketika anak itu mengulangi, “Aku salah.” Aku tercekat… Aku tidak pernah lakukan itu ke anak-anakku. Nyaris saja aku berpikir, “Teganya bapak ini!”. Tapi lalu bapak tersebut kemudian memanggil anaknya mendekat kembali, memeluknya erat beberapa jenak, mencium dahinya dan berkata dengan lembut, “I love you…”. Huaaaa…
Masya Allah… rasanya aku ingin menangis saat itu juga. Segala rasa campur aduk, dari yang tadinya kasihan, hingga iri. Walaupun sang ayah galak dan keras, tapi juga sangat sayang anaknya dan tidak ragu menunjukkannya di depan semua orang. Anak yang tampangnya badung itu (dia memang tidak takut apa-apa, tapi sekarang aku tahu apa yang dia takuti), untuk pertama kalinya pula, terlihat rapuh dan runtuh, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Ayahya mengacungkan jari, “Eits, jangan menangis. Ayo, hapus air matanya.” Haduh bapaaak, jangankan anak ini, aku saja mau nangis lihatnya.
Tidak hanya itu, anak satunya lagi pun tak luput dia marahi. “Kalian ini. Papa kenal kamu (ke anaknya). Om juga kenal kamu (ke anak satunya). Kalian itu terkenal. Tapi bukan untuk hal yang benar! Jangan ulangi. Kalian harus hormat sama guru. Mengerti? Sekarang ayo kalian minta maaf ke bu guru.” Anak itu dimarahinya di depan ibunya. Dan dipeluknya juga…
Aku tidak tahu bagaimana perasaan si ibu yang melihat dan mendengar bagaimana bapak itu bereaksi terhadap kejadian ini. Tanggapan yang berbeda, anaknya ikut diomeli pula, tapi tak luput dari kebaikan hati bapak ini. Hingga bapak itu pamit, beliau samasekali tidak menyinggung tentang ponsel yang kusimpan, pun tidak konfirmasi kapan bisa diambil dan oleh siapa. Tampak bahwa bagi beliau penyitaan ponsel tersebut memang bukan masalah utama baginya (padahal iPhone jelas tidak murah ya, saudara-saudara). Yang pasti, aku ngefans sama bapak ini! 😀
Segera aku tahu bahwa bapak ini, bersama dengan beberapa bapak lain (iya lho, bapak, tidak hanya ibu) yang proaktif mengikuti perkembangan anaknya di sekolah, akan kuterima kapan saja (ya di waktu kerja normal, pastinya).
umnad
February 15, 2014 at 7:17 amhuaaa,mbaa..mewek pagiiiii…:)))
Imansyah
February 16, 2014 at 5:20 amThanks for sharing mbak..
Lita
February 16, 2014 at 7:49 amSelamat pagi, bapak-ibu 🙂
Kejadian di pagi hari Valentine, di antara anak-anak yang berseliweran bagi-bagi coklat hehe…
kirana
February 16, 2014 at 5:43 pmAkuh…mbrebes mili…im learning to be like that
nenglita
February 17, 2014 at 2:11 pmAih, salut banget sama si bapak itu. Mengakui kesalahan anak sendiri, pasti berat banget. Standar setiap manusia, biasanya defensif ya.. Tapi yang ini, luar biasa.
Bacanya juga ikutan mewek nih :’)
Lita
February 17, 2014 at 2:46 pm@Kirana: *kasih tisu*
@NengLita: Mbak, naik angkotnya M26 juga? Rumahnya deketan nih jangan-jangan? *ge-er*
kirana
February 17, 2014 at 3:17 pmPondok kelapa vs Galaxy Pekayon kalo ndak salah 😀
Lita
February 17, 2014 at 6:30 pmAh, baiklah. Masih deretan Kalimalang. *maksa*
jejaring sosial
March 22, 2014 at 5:23 pmbapaknya bijaksana banget, thanks sharingnya