Pelanggan Ingin Nyaman

 

Kalau ditanya, ada tidak gegar budaya saat tiba di Jepang? Mmm… yang negatif? Hanya kakunya peraturan. Tapi peraturan memang dibuat untuk ditaati, kan? Justru lebih mengganggu dengar “Peraturan kan dibuat untuk dilanggar!” ala Indonesia. Entah itu candaan atau serius (untuk mengelak).

Beragam pilihan teh Jepang
Beragam pilihan teh Jepang

Salah satu hal yang saya sukai di Jepang adalah ruang privasi yang besar. ‘Sak karepmu’ dengan batas yang cukup longgar, asalkan kamu patuh aturan publik. Untuk urusan belanja, ini berarti kamu leluasa masuk toko tanpa ‘disergap’ oleh pelayan toko.

Disergap mungkin kata yang terlalu keras. Tapi buat saya rasanya demikian. Di Indonesia masuk toko (di mall) itu siap-siap jengah, karena begitu masuk langsung ditanya “Mau cari apa, mbak?” lalu dibuntuti sampai akhirnya keluar lagi dari toko. Tidak selalu, tapi sangat sering begini.

Di Jepang, banyak toko yang tidak memiliki sales assistant. Yang ada hanya petugas kasir dan petugas yang mengatur stok barang (sibuk sendiri; ambil barang, catat ini-itu). Mungkin mereka hanya akan mengucapkan selamat datang, selebihnya kamu akan dibiarkan sendirian melihat produk yang ada dan mencoba yang bisa dicoba.

Kalaupun ada sales assistant, akan ada jeda waktu antara kamu masuk toko atau konter dengan saat kamu dihampiri. Mungkin saat kamu tampak samasekali tak berdaya (seperti saya yang bengong menatap deretan teh Jepang tak tahu bedanya apa), atau kamu tampak celingukan mencari sesuatu (“Ini ada tester-nya ngga, ya?”), kamu akan dihampiri oleh sales assistant. Tapi tidak serta-merta begitu datang langsung dihampiri lalu dikuntit.

Mungkin maksudnya baik, siap dan sigap untuk menyediakan bantuan bagi pelanggan. Tapi bagi saya yang terasa bukan itu, melainkan ketidakpercayaan. Tidak percaya pelanggan bisa mencari sendiri, tidak percaya pelanggan bisa mencobanya dengan benar, tidak percaya pelanggan tidak butuh ditemani, tidak percaya pelanggan tidak akan merusak barang (atau mengutil), tidak percaya pelanggan tidak akan membeli kalau tidak didampingi, dan sebagainya.

Toko Triumph di Ami, Ibaraki
Toko Triumph di Ami, Ibaraki

Mungkin maksudnya untuk mencegah hal buruk. Tapi bagi saya yang terasa adalah sayalah hal buruk yang harus dicegah. Seberapa sering kamu masuk ke sebuah toko dengan kepastian barang apa yang kamu cari/akan beli? Tidak 100% pasti. Karena ada saja yang datang dengan maksud lihat-lihat, keluar bawa gembolan belanjaan. Atau datang dengan maksud beli A, keluar bawa A, B, C, D. Atau datang dengan keinginan beli B, barangnya ada, tapi ngga jadi beli apa-apa karena… uang tidak cukup, atau sungkan didesak-desak oleh sales assistant. Kalaupun tidak ada orang lain di tipe terakhir ini, sayalah orangnya.

Mungkin maksudnya supaya terlihat bekerja. Bahwa sales assistant itu ya harus menaikkan penjualan. Tapi lho… saya kalau dikuntit malah biasanya tidak jadi beli. Karena mau coba-coba juga malas. Apalagi kalau model salesnya yang murah komentar, “Itu bagus… Ini cocok… Ini aja, lagi tren… ” padahal tidak ditanya dan kalau ditanya produk andalannya apa, jawabannya “Semuanya bagus!”. Males jawab atau tidak tahu atau gimana? :p

Book Express di stasiun Minami Nagareyama
Book Express di stasiun Minami Nagarey

Lalu bagaimana? Berikan saya ruang untuk butuh. Kalau diintili terus kan bagaimana bisa kangen? #eh… Maksudnya, kalau diintili terus itu ibarat layar ponsel saya sedang ditatap. Bukan rahasia sih, tapi aduh… jangan dilihat, dong, kan grogi. Nanti juga tahu saya akan beli apa. Nanti juga saya akan panggil kalau butuh bantuan.

Biarkan saya masuk dan melihat-lihat tanpa ‘diganggu’. Biarkan saya punya waktu untuk benar-benar melihat pilihan yang ditawarkan. Sediakan tester atau produk yang tidak disegel. Biarkan saya mencoba, merasakan teksturnya, kekuatannya (“tampaknya koper ini kokoh…”) dan lain-lain. Silakan datang jika saya nampak membahayakan produk dan toko (“Kalau ini dilempar, pecah ngga ya…”) atau pelanggan lain. Biarkan saya menimbang-nimbang, mondar-mandir dari satu produk ke produk lain, jika perlu hampiri dan tanyakan apakah saya perlu dibantu. Kalau saya bilang tidak butuh dibantu (“Saya mau lihat-lihat aja, mbak”) ya silakan tinggal saya sendirian lagi. Ndak usah tersinggung atau baper, penolakan didampingi bukan karena benci, kok.

Sudah lama saya ingin tahu, apakah para sales assistant kalau sedang belanja suka dikuntit, ya? Mungkin berdasarkan pengalaman “Oh begini, ya! Jadi saya harus begini juga!”. Atau berdasarkan kesukaan, “Gue seneng ditemenin, jadi gue harus nemenin calon pembeli.” Atau arahan manajer toko berbagai macam?

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.