Sign with Your Baby

Bahasa isyarat dipopulerkan sebagai parenting tool oleh Sign2Me, sebuah perusahaan yang berdiri di atas ide cara berkomunikasi antara orangtua dan bayi yang sama-sama dapat mendengar. Produknya pun bervariasi dari buku, VCD, sampai flashcard. Tidak ada yang benar-benar baru dalam metode ini, kecuali bahwa bahasa isyarat itu sendiri belum populer di tengah masyarakat yang 'bicara', apalagi di Indonesia.

Saya mengetahui tentang bahasa isyarat untuk bayi ini ketika masih mengandung Daud, hampir 2 tahun lalu. Sebuah ide yang sangat menarik, mengingat hal pertama yang membuat orangtua frustasi adalah tidak mengerti apa yang diinginkan oleh bayinya.

Sayangnya kemalasan untuk belajar menarik saya dari berlatih dan menerapkannya sedini mungkin. Lalu e-book itu terlupakan begitu saja. Terselip di antara ratusan e-book lain dan tersembunyi di laci ingatan. Hingga satu saat muncul kembali di rak sebuah toko buku besar, ketika kami sedang berbelanja buku untuk kedua anak kami.

Baby Language; Mengajarkan Bahasa Isyarat kepada Bayi. Pengarang yang berbeda, pengungkapan yang berbeda, ilustrasi yang berbeda, namun acuannya tetap sama; American Sign Language (ASL). Tuturannya lugas dan lucu, khas lelucon para orangtua yang sudah lulus setahun pertama usia bayinya (banyak hal yang baru bisa ditertawakan orangtua ketika usia si kecil sudah lewat setahun, kebanyakan karena sebelumnya tidak punya waktu untuk berpikir bahwa hal itu lucu!).

Kenapa bayi yang dijadikan fokus? Karena bayi adalah tahap pertama manusia, ketika dia belum dapat bicara tapi sebagai mahluk hidup sudah memiliki kebutuhan, primer (makan, minum, tidur) maupun sekunder (jalan-jalan, main). Anak yang sudah mampu bicara akan dapat mengungkapkan keinginannya, walau belum sempurna. Sedangkan bayi?

Ketika bayi menangis, ada sederetan protokol yang harus dilewati untuk mengetahui penyebabnya.

  • Pegang popoknya, basahkah? Atau tidak basah tapi bau? Ganti popoknya.
  • Pegang punggungnya, basahkah? Mungkin kepanasan. Ganti bajunya atau kipas-kipasi.
  • Letakkan jari (dalam keadaan bersih) di tepi mulutnya. Dikejarkah oleh bibirnya sambil lidahnya sibuk mengecap-ngecap? Mungkin lapar/haus.
  • Pegang kakinya, dinginkah? Mungkin kedinginan. Selimuti.
  • Tepuk-tepuk punggung/pahanya, mungkin ia sedang ingin ditepuk-tepuk.
  • Selipkan jari di genggamannya. Apakah ia berusaha mengangkat kepala? Mungkin ingin bangun/digendong.
  • Pegang dahi/lehernya, panaskah? Mungkin ia tidak nyaman karena demam.

Apa yang dapat terlewat oleh protokol tersebut? BANYAK. Bagaimana jika bayi anda mau bilang:

  • Kaget. Takut.
    Beberapa bulan belakangan ini, si bungsu sering terlihat panik, lari mengejar ayah atau bundanya ketika Maghrib tiba. Ketika diamati baik-baik (perlu beberapa hari), ternyata ia takut pada suara adzan. Tidak sembarang adzan. Adzan Maghrib dari mushola dekat rumah. Suara adzan di TV tidak menakutinya. Suara adzan di waktu shalat yang lain juga tidak membuatnya kaget. Agak aneh. Tapi ya itulah.
  • Sakit.
    Sakit perut, sakit kepala, telinganya sakit. Jika bayi anda tiba-tiba menangis sangat kencang dan anda jumpai ia dalam keadaan normal (tidak telungkup atau terlentang, yang berarti bukan karena jatuh) dan tidak ada apa-apa, tidak berarti ia baik-baik saja. Dari mana anda tahu bagian yang sakit?
  • Ambilkan bukuku!
    Ia belum lama bangun tidur dan teringat buku yang tadi dibuka-bukanya sebelum jatuh tertidur. Mana sekarang? Kok ngga ada?
  • Ngga mau!
    Ngga mau dilihat sama eyang, ngga mau diajak omong, ngga mau diajak bercanda, ngga mau digendong, ngga mau direbahkan di kasur. Pokoknya ngga mau! Maunya yang tadi! Apa ya yang tadi itu?
  • Mau susu!
    Bukan susu bunda! Argh, bukan susu di gelas yang pakai sedotan itu! Maunya yang di kotak!
  • Lapar!
    Mau makan, bukan susu! Ih, ngga ngerti banget deh. Mau makan kok dikasih susu sih?! Aku kan bukan bayi 6 bulan lagi. Roti, tau!

    Setelah beberapa bulan jengkel setiap pagi karena rutinitas-tak-jelas-tiap-pagi (dari tawaran ke toilet, jalan-jalan, main, sampai susu), sekarang kami tahu lewat isyarat tangan Daud segera setelah ia bangun tidur dan duduk: MAKAN!

  • Hei, apa itu? Yang tadi lewat di atas! Itu yang berisik! Aduuuhhh… dasar para orang dewasa lemot. [Pesawat]
  • Sudah, hentikan! Kok malah ditawarin terus sih? Bukan, bukan diganti. STOP!

Bahasa isyarat tidak menjanjikan mukjizat dan solusi sekejap. Bahasa isyarat tidak membuat segalanya menjadi indah. Bahasa isyarat tidak membuat anak anda menjadi mahir dan pintar 'bicara' dalam sehari. Butuh waktu bagi orangtua, anak, dan lingkungannya untuk mencapai tahap ketika bahasa isyarat memuluskan proses komunikasi.

hands 

Beberapa keuntungan bahasa isyarat

Mendorong anak untuk berkomunikasi lebih awal. Ketika kata belum dapat terucap, maka gerakan tangan menjadi jalan keluar penyampaian maksud.

Meningkatkan rasa percaya diri. Dengan mengetahui bahwa apa yang dikatakannya dimengerti oleh orang dewasa (terutama orangtua, orang dewasa yang paling penting!), anak menjadi lebih semangat untuk 'berbicara' dan 'bercerita'. Selain itu anak akan berani berkomunikasi dengan mereka yang mengalami halangan berbicara. Tentu dengan asumsi bahwa yang diajak bicara juga mengerti bahasa isyarat. Kalau tidak, sama saja.

Mengurangi frustasi orangtua dan anak. Siapa yang tidak frustasi ketika maksud tak kunjung ditangkap? Jangankan bayi, kita yang mampu berbicara saja bisa jengkel luar biasa jika lawan bicara salah fokus terus.

Membangun rasa percaya dan memperkaya interaksi. Secara alami, kita akan merasa lebih dekat dengan orang yang dapat diajak berkomunikasi. Dengan mengerti apa yang dikatakan bayi, kita menjadi lebih berempati, lebih mudah mengerti apa yang dialami dan dirasakan oleh si kecil yang sedang belajar mengenali rimba dunia.

Membantu mengenali kepribadian dan pikiran anak. Ketika si bungsu memperhatikan tamu ibu lekat-lekat lalu membuat isyarat 'bayi', barulah saya sadar bahwa yang diperhatikannya adalah bayi yang ada di gendongan, bukan tamu ibu. Dan ketika tiba-tiba ia 'berkata' 'tidur', ia bercerita pada saya bahwa bayi di gendongan tamu ibu itu sedang tidur (walaupun sebenarnya tidak benar-benar tidur, hanya menyandarkan kepala).

Atau ketika sedang bermain sore-sore, tiba-tiba Daud menatap saya sambil berkata 'makan'. "Kan tadi Daud sudah makan?", tanya saya. Lalu ia menatap ke arah lain sambil menunjuk. Oh. Temannya sedang makan. "Oh ya, Dini sedang makan, ya", kata saya. Sementara ibu-ibu lain (yang juga sedang bersama anaknya) hanya menatap kami heran. Percakapan yang aneh, mungkin. Atau, sepertinya yang lebih aneh adalah tangan kami yang ikut bicara 🙂

Beberapa hal penting mengenai pengajaran bahasa isyarat

Isyarat sambil bicara. Mengisyaratkan sesuatu tidak berarti anda tidak perlu mengajarinya bagaimana mengatakan sesuatu secara verbal. Katakan "Tidur" sambil memberi isyarat 'tidur'. Anak akan memahami dengan lebih baik hubungan antara isyarat, kata-kata, dan gerak tubuh anda. Dus memahami maksudnya. 

Kendali motorik anak belum semahir anda. Jadi anda dapat mengharapkan munculnya isyarat-isyarat yang mirip untuk maksud yang berbeda. Walau di awalnya akan sedikit membingungkan, tapi situasi akan membantu a
nda untuk mengerti maksudnya. Namun tetap saja 'makan' dan 'minum' dapat tertukar dimengerti oleh anda.

Anak dapat terpengaruh oleh asosiasi. Jika anak sering ditawari 'lagi' pada saat makan, bisa jadi ia mengira bahwa 'lagi' adalah 'makan'. Dengan begitu, alih-alih berkata 'makan', ia akan membuat isyarat 'lagi'. Ini wajar, para orang dewasa yang harus jeli dan telaten meluruskan maksudnya. Misalnya dengan membuat kata 'lagi' tidak hanya muncul pada saat makan tapi juga saat bermain, "Baloknya 'lagi'?".

Anda tidak harus mengubah isyarat yang sudah disepakati. Yang paling umum tentu saja mengangguk untuk 'ya' dan menggeleng untuk 'tidak'. Ini lebih mudah dimengerti dan lebih alami untuk anda (dan anak anda) lakukan ketimbang mengisyaratkan 'ya'. Boleh saja anda ajarkan keduanya. Pastikan anak anda tidak bingung. Kuncinya adalah konsistensi.

ASL dijadikan acuan supaya bahasa isyarat yang anda pergunakan juga dapat dimengerti oleh pengguna dari belahan dunia lain. Dengan mengacu pada standar, anda akan mempermudah komunikasi lintas komunitas (walah, istilahnya… ckk ckk ckk). Tapi jika anak anda telah menciptakan sendiri isyarat yang lebih mudah dan nyaman bagi kata-kata tertentu (karena sering dipakai, misalnya), tak perlu paksakan untuk menghapus dan menggantikannya dengan isyarat baku.

Bahasa isyarat tidak menghalangi anak dari berbicara. Seiring umur dan kendali motorik terhadap perangkat bicara, anak akan tetap belajar berbicara. Selain tangannya berkata 'makan', anak juga akan belajar berkata "Makan" atau "Ma'em". Dengan bantuan anda, tentunya.

Isyarat bukan kewajiban, tapi tambahan yang menyenangkan. Tidak apa-apa untuk mengajarkannya satu isyarat untuk benda yang diminta. Tapi ternyata tidak efektif untuk mewajibkannya memberi isyarat benda yang dimaksud sebelum diberikan padanya.

Pengalaman pribadi saya, Daud sama sekali mogok dari bilang 'susu' ketika saya minta ia bilang 'susu' sebelum saya memberinya. Menangis kencang tanpa peduli saya bilang apa. Dan terus menangis sampai apa yang diminta diberikan. Tentu saja saya tahu dia bisa mengisyaratkan 'susu', karena dia sering melakukannya di waktu lain. Tapi tidak jika saya wajibkan sebagai syarat pemberian.

Saya mengalah. Ya sudahlah. Ganti metode. Sekarang ketika semua gerak-geriknya seolah 'berkata' minta susu -kecuali satu: isyarat 'susu'- saya berikan saja sambil mengisyaratkan susu tanpa memintanya untuk menirukan. Ternyata dia tidak lagi menangis kencang untuk menuntut susu. Cukup naik ke kasur, mengatur posisi yang diminati, lalu menatap saya sambil mengisyaratkan 'susu'. Duh, mana bisa ditolak kalau sudah begini 🙂

Memulai pelajaran bahasa isyarat

Nothing is too much. Ketika saya berbicara satu kalimat penuh dan seluruhnya disertai isyarat, suami saya menegur, "Kebanyakan, bunda". Saat itu Daud tampak tidak sungguh-sungguh menyimak, atau mungkin tidak mengerti apa yang saya katakan. Sama sekali. Saya cuma nyengir. "Ngga, ah. Lama-lama juga biasa". Membela diri. Biasa.

Tapi ketika Daud mengeluarkan 'koleksi' isyaratnya di saat-saat tertentu, tahulah saya bahwa sekalipun ia tidak 100% menatap saya, ia tetap mengenali isyarat yang saya ajarkan. Nothing is too much, really.

Anak punya caranya sendiri dalam belajar, mengingat, dan mengungkapkan ingatannya. Bisa saja tiba-tiba 'kunci', 'motor', 'pesawat terbang', 'jangan'. Sesukanya. Seperti kita belajar bahasa asing. Dicekoki, bingung, lalu lama-lama terbiasa dan mahir.

Mulai kapan saja. Walaupun ada usia minimal rata-rata bagi anak untuk dapat melakukan isyarat yang sesuai maksud dan dapat anda mengerti, tak ada halangan untuk memulainya kapan saja. Tidak ada terlalu dini, tidak pula ada terlambat. Tidak ada terlalu sedikit, tidak pula ada terlalu banyak. Alah bisa karena biasa, ceunah :mrgreen:

Tip dari saya sederhana saja: konsisten dan persisten. Sabar sih pasti. Sudah default, setelan peran orangtua dari sononya. Mana ada punya anak tapi ngga punya sabar? 😀

Sekarang, belum genap 2 bulan bahasa isyarat dikenalkan ke Daud. Tapi manfaatnya bagi kami telah sangat terasa. Setidaknya ia tak harus menunggu setengah jam -dan dihabiskannya dengan menangis dan marah-marah- hingga para orang dewasa di rumah menyadari bahwa ia ingin makan atau susu.

Dari Baby Language; Mengajarkan Bahasa Isyarat Kepada Bayi, dan Sign with Your Baby dengan banyak tambahan di sana-sini dari penulis. Saat ini buku tentang pengajaran isyarat kepada bayi sudah sangat banyak. Anda dapat pilih sendiri yang sesuai dengan minat, di luar buku yang menjadi rujukan saya ini.

32 Comments

  1. Eep

    March 4, 2007 at 4:37 pm

    wessss…, panjang banget postingnya..
    saya jadi mengingat-ingat kembali bahasa isyarat (tepatnya abjad) dengan tangan untuk para tunarungu. kakak saya sendiri yang mengajarkan. kalau tidak salah ada dua interpretasi abjad melalui tangan, yaitu dengan dua tangan dan satu tangan. tapi kalau bahasa isyarat yang berupa interpretasi kalimat/kata, saya belum pernah belajar.

    bahasa isyarat bayi..? weleh.. ada saja ya yang bisa kita pelajari dari ciptaan Tuhan. subhanalloh.., mungkin saya dan istri tidak sempat mempelajari bahasa isyarat bayi, tapi sepertinya pernah kita lakukan, cuman ya tidak tahu kalau itu sekarang malah ada bukunya segala.

    usul nih.., bagaimana kalau Lita membuat buku bahasa isyarat suami istri.., pasti laku kerasss.. 😀

  2. wadehel

    March 5, 2007 at 1:06 am

    Jadi pengen nyobain… tapi nyoba sama anak siapa ya 😕

    1. Jade

      December 28, 2007 at 8:53 pm

      Boleh ……. Saya setuju tuh .
      Tapi rasa rasanya isyarat suami istri itu mutlak ada tanpa harus belajar dari buku . Misalnya : dengan tatapan mata sendu si “jago” kepada si upik kita ( he he he…) atau dengan semprotam minyak nyong nyong upik di telinga dan dengan sengaja lewat depan si “jago” sambil pakai lingerin transparan… ya… tau sendirilah upik wangi dan segar lewat… siap lagi yang than apalagi si upik sengaja kasih lagu laut…. atau dengan anggukan kepala …….. aduh banyak deh…. yang kita bisa belajar tanpa harus baca buku “bahasa isyarat suami istri”……. Tul nga sih………

  3. Guntar

    March 5, 2007 at 9:24 am

    Dg ini, maka bukan hanya sang Ibu yg bisa mengerti si Bayi (bukankah ini kemampuan natural ibu?). Saya pikir SOP/protokol semacam di atas amat membantu sang Bapak utk juga bisa memahami si Bayi 😛 Komunikasi ortu dan anak jadi serasa perihal yg scientific-ilmiah. Very nice post, mbak Lita ^_^

  4. Lita

    March 5, 2007 at 10:27 am

    Eep
    Kalo bayi diajari bahasa isyarat mulai dari abjad, kan susye ya mas, berhubung dia belon bisa mengeja, gituh 😀
    Serius, di buku-buku yang saya baca, abjad justru bukan yang utama diajarkan. Yang paling penting ya kata-kata yang sering digunakan sehari-hari.
    Makan (dengan gerakan satu tangan seperti kita hendak menyuap makanan ke mulut), minum (dengan gerakan satu tangan seperti kita sedang memegang gelas dan minum), tidur (menangkupkan dua tangan ke salah satu pipi sambil memiringkan kepala), dll. Tidak terlalu asing 🙂

    Bahasa isyarat bayi juga bukan bahasa isyarat dengan set khusus, hanya memberikan beberapa isyarat alternatif pada kata-kata tertentu yang ‘gesture’nya agak sulit dilakukan anak kecil. Selebihnya sama saja dengan ASL.

    He? Isyarat suami-istri? Bukannya itu kebiasaan pribadi yak? Tapi boleh juga idenya. Jadi kepikiran nih hehehe…

    Luthfi
    Asal gak lupa di-bookmark pake tag apa 😀

    Wadehel
    Anak tetangga juga boleh. Yang paling sering dijadiin bahan ‘percobaan’ (buat yang belom punya anak) sih biasanya keponakan. Atau… katanya keluarga primata juga bisa, lho. Coba ke kebun binatang trus minta ijin ama pawangnya hihihi…

    Guntar
    Ahahah… Komunikasi ortu-anak belum pernah jadi bahasan klenik kan? Aku pikir sejak dulu memang ilmiah, tuh 😀

    Ketika sudah terbiasa, protokol itu bisa di-skip, mengingat ibu (atau ayah) sudah mulai hafal maksud dari jenis-jenis tangisan. Ada kalanya meleset, tapi biasanya tepat kok.
    Kadang kalau krucil sedang nangis, orang lain yang ribut “Anaknya kenapa tuh? Jangan-jangan anu… Coba begitu…” sementara emak-bapaknya tahu, ni anak cuma pengen pipis (atau ngambek karena ngga boleh manjat TV), jadi ya didiemin aja nangisnya (sambil dibawa ke toilet dong yak kalo mau pipis hehe…).

    Bapak juga bisa. Yang paling cepat hafal tentu yang paling sering menangani anak. Jadi asalkan mau meluangkan waktu (untuk berkonsentrasi) dan mau menyimak, bapak bisa ngga kalah handal dari ibu untuk berkomunikasi dengan bayi 😉

  5. Evi

    March 5, 2007 at 10:39 am

    wah…thanks bgt Mba, jd semangat untuk cari bukunya nih. kadang saya sampai frustasi ga ngerti nasywa maunya apa, pake bahasa planet sih….capek akhirnya dia nangis. tp nasywa sdh bisa bilang ayah, mamak dan bapak utk manggil suami istri yg momong, makan = mam mam, guk guk = anjing, geng geng (sambil pegang gendongan)= minta gendong, dah = sudah, wawah (dr bhs jawa dawah) = jatuh. tp utk susu malah blm bisa yg ada kalo ditunjukin botol berisi susu langsung tanggannya meminta penuh harap. dan manggil bunda jg susah kali ya….

  6. Cafeblogger

    March 5, 2007 at 12:47 pm

    Wah, sip banget. Prosedur diatas sudah saya jalankan mbak. Tapi prosedur tambahannya masih belum. Saya copy ya mabk biar bisa dibaca di rumah

  7. manusiasuper

    March 5, 2007 at 4:59 pm

    Carikan sign language yang buat anak perawan bisa mbak?? 🙂

  8. Lita

    March 5, 2007 at 9:50 pm

    Evi
    Iya, bilang bunda emang susah. Mbah dan ayahnya sudah kebagian dipanggil (walau masih ‘bah’ dan ‘yayah’), saya sendiri yang belum. Yang ada malah ‘mah’ sambil tangannya bilang ‘susu’ hihihi…

    CafeBlogger
    Silakan, semoga bisa membantu.

    ManusiaSuper
    Lha ngapain ribet-ribet. Ajak ngomong langsung aja napa? Udah bisa nulis, toh? 😀

  9. fitri mohan

    March 6, 2007 at 7:10 am

    jadi inget film meet the fockers. dimana si anak yang masih bebi diajarin bahasa isyarat tapi nggak pake flash card melainkan lewat gambar. aku pikir sesederhana kelihatannya, ternyata buntutnya lebih panjang ya. ditambah konsisten dan persisten tadi itu. jadi orangtua memang stok sabarnya melebihi presiden…

  10. iway

    March 6, 2007 at 9:48 am

    trus gimana mbak biar ga keterusan??, maksudnya gini, udah waktunya ngomong eh dianya keenakan pake bahasa isyarat mulu karena kita (ortunya) udah paham keinginan dia dari isyaratnya, anyway nice post 😀

  11. Lita

    March 6, 2007 at 9:37 pm

    Fitri Mohan
    Baby sign memang melejit setelah film itu tayang, mbak. Situs dr. Sears sampai ‘kebanjiran’ pertanyaan dari orangtua yang penasaran, “Does it really work?”. Selain kenyataan bahwa si keponakan Focker itu lebih tua daripada usia perannya (ya iya lah, ngomong ‘as*hole-nya jelas banget gitu hihihi), it does work 😀

    Harusnya sih gitu ya. Stoknya banyakan orangtua. Kalau orangtua berprofesi sebagai presiden (eh presiden bukan profesi ya?), harusnya sabarnya sak ndayak, yo? Ngga boleh gampang marah tur ngambekan. Hihihi…

    Iway
    Sudah kujelaskan, kok. Pakai bahasa isyarat tidak menghalangi anak dari belajar berbicara verbal. Asalkan dalam berkomunikasi, kata-kata memang selalu diucapkan secara verbal oleh orangtua.
    Jangan lupa; anak adalah peniru yang hebat. Apa yang kita lakukan, mereka juga lakukan. Kalau kita bicara sambil memberi isyarat, mereka juga memberi isyarat sambil (berusaha) bicara.

  12. moonray

    March 8, 2007 at 8:09 am

    Wah, wah kebetulan sekali nih, artikelnya menarik, tapi si hasya baru umur 4 bulan, udah bisa ngerti belum ya?
    kalo tanda tanda dia sedang oo’ ato pengen nenen sih udah tau, tapi akhir-akir ini dia kadang tiba2 nangis, dari yang tadinya ketawa ketiwi, tapi begitu di gendong (maunya gendong tegak) baru diem.
    haduh, masih harus banyak belajar nih, jadi ayah yang baik.

  13. cakmoki

    March 8, 2007 at 8:31 am

    Ada beberapa film dan artikel majalah yang menyebutkan bahwa bahasa verbalpun bisa dilakukan saat bayi dalam kandungan. Apa si bayi bisa dengar ? Bukan itu, tapi lebih ke arah membiasakan komunikasi orang tua (ibu-ayah) dan bayi.
    Anak punya caranya sendiri dalam belajar, mengingat, dan mengungkapkan ingatannya.
    Tidak salah mengajak anak bicara panjang kendati si anak masih usia beberapa bulan, tidak ada reaksi, tidak memperhatikan. Di saat yang sama impuls komunikasi “aneh” tetap terjalin dan membentuk rangkaian memory.
    Point ini saya rasa penting, selain bagi ibu muda juga bagi guru playgroup, tk dan guru SD dini (klas I) bahwa anak tidak memperhatikan bukan berarti tidak mengingat. Adakalanya beberapa guru tk dibuat pusing gara-gara muridnya tidak memandang bu guru saat diberikan pelajaran. Perilaku si murid masih bisa ditolerir dan tentu dilatih juga, bukan dicubit, celekiiit.
    Ada beberapa kejadian seputar komunikasi bayi-ibu, saat anak nangis tak jarang si ibu ikut nangis, maaf ibu-ibu muda. Kali sama-sama jengkelnya ya. hehehe

  14. Lita

    March 8, 2007 at 10:33 am

    Moonray
    Sama seperti kita bicara verbal saja. Tadinya anak juga ngga ngerti, kan? Lama-lama dia belajar menghubungkan antara suara dengan efek. Dicoba tidak ada ruginya, kok. Mungkin Hasya jadi bisa bicara (isyarat atau verbal) lebih dini karena stimulasi yang lebih awal. Efek yang menguntungkan, kan? 🙂

    Iya, yang bikin frustasi itu memang kalau ‘tanda’ dari anak tidak dimengerti orangtua. Sama-sama jengkel karena bingung hehehe…
    Jadi orangtua kan memang selalu belajar. Kalau belajarnya berhenti, berhenti pula peran jadi orangtua. Pasti bisa jadi ayah yang baik 🙂
    Selamat berjuang.

    Cak Moki
    Awal-awal anak pertama lahir, bawaannya gampang depresi. Kerjaan rumah numpuk, eh dia dikit-dikit bangun, dikit-dikit nangis, sebentar-sebentar minta ASI. Udah gak sempet makan, ASI disedot terus, kan ya tambah habis. Karena ASI sedikit, bayi lama-lama marah. Karena marah, saya ikut jengkel. Lha wong dia yang minta kok gak boleh habis. Lalu saya ikutan jengkel.
    Karena jengkel, produksi ASI terhambat. Trus pipis. Trus pup. Trus minta gendong. Belum nyuci, belum mandi, belum makan, kurang tidur, berantakan, capek… whoaaa… ikutan nangis deh.

    Kalau inget itu sekarang, lucu juga. Bisa senyum-senyum sendiri. Dan pas anak kedua, untungnya ngga se-depresi itu. Jauh lebih santai. Selain ada suami, juga ada orangtua. Walaupun ibu ngga membantu momong (semua saya kerjakan sendiri), tapi hati terasa lebih tenang.
    Tapi kalau lihat ibu-ibu lain (yang sedang mengalami), trenyuh. Saya tahu benar rasa putus asanya. Rasanya tangis bayi pengen dibungkam! Uh…

    Lha, ibu-ibu tua ya bisa ikutan nangis kalau anaknya sedang njengkeli.
    Di saat-saat amat jarang, ketika asisten ibu mudik dan adik saya sedang dalam setelan ‘high demand’, ibu bisa jengkel mangkel. Ketika fase marah-marah sudah lewat (dan tidak mempan!), jadinya ya… itu. Titik-titik air mata penggugah nurani.
    Ngenes saya lihatnya. Apa boleh buat, saya sendiri sedang direpoti anak 🙁

    Tapi memang, rentang kesabaran antara orangtua yang sudah berpengalaman dengan yang amatir (anak pertama, masih bayi, cucu pertama dari dua keluarga) beda 🙂

    Soal guru yang ‘melatih’ murid dengan cubitan, sebetulnya itu bisa jadi umpan balik bagi dirinya ya. Bahwa keahlian untuk membuat dirinya menarik dan layak menjadi pusat perhatian itu belum cukup mumpuni. Setidaknya untuk anak kecil, yang rentang waktu konsentrasinya masih singkat, mudah buyar pula 🙂

    Sama aja sih buat orangtua. Kadang kalau lagi ngomong trus dicuekin, rada mangkel juga. Tapi kalau sadar bahwa mereka masih kecil, ya hilang lagi. Masa’ anak kecil yang disuruh memahami orang dewasa? Emangnya kita sama dia duluan mana merasakan dunia? Kebalik dong, ya? Masa yang amatir disuruh ngalah dari yang berpengalaman hehehe…

    Eh kok jadi curhat nih. Gak papa ya, cak? Hehehe…

  15. cakmoki

    March 9, 2007 at 12:30 pm

    Horeee saya sudah melewati masa-masa diompoli.
    Dulu kalo malem kena giliran jaga sampai subuh, mbacakan cerita, berdendang segala. Pernah ketiduran dan kaget saat si kecil mau terguling. Kalau pas mandiin, ngasih bedak dan makaikan baju sering dikritik istri, soale bedaknya ketebalan, bilangnya kayak “ting-ting jahe”.
    Sekarang masih seneng sama bayi, dibanding ibu amatir dengan satu anak, rasanya saya lebih cepet mbuka pasang gurita, suiiit-suiiit, ehm *nggaya dikit*
    Apalagi sama anak sekitar 4-6 tahun, seneng karena sudah bisa diajak bercanda. Kadang saya diprotes oleh pasien anak kecil kalau gak meriksa mulut pakai senter, walaupun sakitnya gatal.
    Bagaimanapun kita-kita harus ngalah sama amatir ya. hahaha

  16. MaIDeN

    March 9, 2007 at 5:17 pm

    Kalau dah besar jadi body language ya 😉

  17. dani iswara

    March 9, 2007 at 8:53 pm

    ctrl + S dl..makasi Bu Lita..
    [siap2 cb ke si kecil..] 😀

  18. Suluh

    March 11, 2007 at 1:35 am

    Baca blogmu saya bener-bener Jadi pengen punya bayi 🙁 . Tapi calon isteri aja lum punya . 🙁 hik hik hik.

  19. zuhra

    March 11, 2007 at 11:20 am

    asal gak diajarkan Sign language yang gak bener aja seperti : mengacungkan jari tengah…
    eh kalo misalnya menghilangkan kebiasaan2 itu gimana sih?
    ponakan saya umur 4 tahun tapi masih senang berisyarat-ria dibandingkan dengan berkata2 langsung.
    jadinya, kadang2 dia kalo ngomong suka ga jelas gitu. susah dipahami.

  20. Lita

    March 11, 2007 at 11:42 am

    Cak Moki
    Ah, cak Moki sih nyebut-nyebut ting-ting jahe. Untung kemarin waktu ke minimarket nemu. Kangen, sudah lama ngga makan ting-ting jahe hehe… (sambil membayangkan anak yang dibedaki mirip ting-ting jahe, soale anak saya ngga saya bedaki hihihi… ).

    Gurita itu bikin stres aja. Bayi udah keburu nangis-nangis, kita masih repot sama tali-tali itu. Uh, asli keringat bercucuran. Dia yang mandi, saya ikutan basah.
    Untung pada cepet puput pusarnya, jadi ngga sampai 2 minggu saya berurusan sama gurita hehehe…
    Gerah gini, kasihan bener kalau bayi dipakaikan gurita.

    Yang statusnya profesional harus pandai mengalah sama yang amatir, ya. Nanti statusnya maju jadi ‘mengalah secara profesional’. Bagaimana mengalah tapi tidak kalah, mengalah tapi tetap mendapatkan apa yang diinginkan 😀

    Maiden
    Masih kecil juga sudah body language kok.
    Muka memerah kalau mau pup, pegang-pegang penis kalau mau pipis, body language juga kan? 😀

    Dani Iswara
    Sama-sama, pak dokter. Yang sabar ya ngajarinnya 🙂

    Suluh
    Pinjam saja dulu keponakan atau bayi tetangga hehehe…
    Bercanda.
    Jangan sedih dong, justru saya ingin berbagi kesenangan mengasuh 🙂

    Zuhra
    AFAIK itu ngga ada di daftar yang ‘layak’ diajarkan ke anak heheheh… Kalau sampai anak bisa melakukan itu, entah dia sedang eksplorasi gerak atau emang dasar orangtuanya aja yang iseng 😀
    Ada lho sign tertentu yang disalahartikan sebagai kata yang tidak senonoh (misalnya menjepit jempol di antara telunjuk dan jari tengah dalam keadaan tangan menggenggam), padahal itu huruf ‘T’ dan dipakai untuk isyarat ‘toilet’.

    Menghilangkan kebiasaan? Kalau bisa tapi tidak mau, ya orang dewasa yang harus mengajarinya bagaimana bicara dengan benar. Seringkali orang dewasa suka ‘sok bicara seperti bayi’ dengan dicadel-cadelkan. Padahal ini bukan cara yang baik. Mereka akan meniru kita. Biarkan saja mereka bicara sebisanya, tapi kita juga bicara dengan wajar, seperti bicara dengan sesama orang dewasa. Ngga pake cadel-cadelan sok imut, kan? 😀

    Ketika orang dewasa mengerti apa yang dikatakan anak, sebaiknya katakan langsung, puji jika perlu (“Bagus, betul begitu. Kalau mau minum, bilang ‘minum’). Dia akan lebih semangat berusaha lebih baik karena sudah melihat upahnya: dimengerti orang lain.

    Perlu diperhatikan dulu. Bicara tidak jelasnya karena tidak mau atau karena ada kelainan. Ada patokan usia tertentu ketika anak ‘seharusnya’ sudah bisa bicara dengan jelas dan dapat dipahami orang lain. Kalau usia ini sudah terlampaui, ada baiknya dikonsultasikan ke dokter tumbuh kembang anak supaya mendapat tanggapan yang tepat.

  21. Yusuf Alam R

    March 12, 2007 at 12:27 pm

    untuk anak ke dua kami… walopun udah pengalaman anak pertama yang korban trial and error.. sama-sama korban trial and error tapi untuk anak kedua emosi lebih bisa mengantisipasi.. dan mulai memahami… tapi sudah bisa menduga-duga kira-kira sebab nangisnya kenapa… kalo masalah ngasih bedak saya terlalu boros ketimbang istri.. sering korbannya sprei.. ato malah saya sendiri.. karena tidurnya bareng.. jadi kalo bangun tidur.. ada tambahan ornamen di wajah he he he..
    mengenai bahasa… pengalaman saya…ya mencoba-coba melihat respons si kecil.. kalo rewelnya berhenti…. ya itu penyebabnya…

  22. triesti

    March 13, 2007 at 6:21 pm

    Kenapa harus ASL? kan ada Indonesian sign language, yg sesuai dengan kultur Indonesia. Signing tiap negara berbeda, bahkan untuk abjad saja British beda dgn American, padahal sama² bahasa Inggris. Sign Language bagi mereka yang bisu tuli juga punya dialek seperti halnya bahasa orang normal.. perdaerah bisa ada nuansanya, padahal 1 negara.

    FYI, basis Indonesian Sign Language juga ASL, cuma misalnya huruf T jadi berubah, krn T ASL di Indonesia jadi saru.

    1. Lita

      March 13, 2007 at 8:42 pm

      Terimakasih mbak Triesti, memang ada dialek yang berbeda. Untuk mengatasinya, saya tidak ‘berguru’ ke banyak sumber, karena jadi bingung sendiri. Selain itu, karena keluarga kami memang tidak mengalami kesulitan pendengaran, maka ASL ‘versi bayi’ ini digunakan sebagai pemudah saja. Bukan fungsi utama, yang saya yakin suatu hari nanti akan memudar penggunaannya oleh anak saya.

      Kenapa ASL dan bukan ISL? Karena sign-language yang pertama saya kenal dan buku ‘pelajaran’ saya basisnya ya ASL. Itu saja 🙂
      Dan soal ke-saru-an beberapa bagian, saya putuskan untuk cuek hehehe… Maksud saya, ketika sebagian besar orang tidak menggunakan bahasa ‘jorok’, maka kecenderungan untuk mengerti bahwa suatu ungkapan itu ‘jorok’ juga kecil.

  23. cakmoki

    March 14, 2007 at 4:43 am

    OOT:
    Lapor,
    Sudah saya kirim Bu.
    Isi dan uraiannya lengkap, padat.
    Tidak ada tambahan dari saya, wong sudah jangkep je 😀

  24. ambya

    August 29, 2007 at 1:32 pm

    kalo cari bukunya (maksudnya buku tentang bahasa isyarat) kemana yah? soalnya pengen belajar nih. trim’s

  25. yudha

    December 4, 2007 at 5:36 pm

    Assalamualaikum Bu Lita,saya seorang mahasiswa dari Institut teknologi nasional Bandung(ITENAS) jurusan Desain Komunikasi Visual. Teh, saya tertarik dengan blog ini,kebetulan saya sedang melakukan proyek tugas akhir mengenai Buku panduan bahasa isyarat untuk balita masa praverbal, berhubung hal ini bisa dibilang baru di Indonesia,saya mendapatkan kesulitan dalam mencari data dan practitioner. saya mau nanya ni teh, kan ini merupakan penemuan dari Amerika (Linda Acredolo, Susan Goodwyn dan Joseph Garcia yang memperkenalkan baby language ini), tentu saja ada perbedaan budaya dan ada sedikit perbedaan dalam bahasa isyarat (contoh bhs isyarat untuk air, “W” untuk water,padahal kan di kita “A” untuk air, atau “c” untuk cai)jadi pada saat bu Lita mengaplikasikan ke anak, apa ada bahasa isyarat yang dimodifikasi?thx ya bu,tolong dibalez ya. wasalam

    1. Lita

      December 4, 2007 at 7:35 pm

      ‘Alaykum salam mas Yudha 🙂
      Betul, beberapa istilah menjadi tidak klop antara huruf pertama di bahasa ‘sana’ dan bahasa Indonesia. Jadi, saya memilih tetap pakai isyarat ‘W’ tapi mulut bunyinya ‘air’ hehehe…

      Karena membuat angka 3 terbilang sulit, anak saya lebih fokus berusaha bilang ‘air’. Atau jika anak ‘mengarang’ sendiri isyarat yang lebih mudah baginya, ya saya terima juga, dengan tetap melakukan/mencontohkan ‘yang benar’.

      Pada akhirnya, ketika ia lancar bicara, bahasa isyaratnya sedikit-sedikit terlupakan.
      Maaf ya kalau tidak membantu.

  26. desynia

    January 8, 2008 at 11:00 am

    apakah ada hubungan antara ASI dengan perkembangan motorik balita dan tolong berikan data penunjangnya

  27. rahma

    February 9, 2008 at 12:45 pm

    Mbak Lita salam kenal, infonya berguna bgt mbak, oh yah aku mau tanya donk anakku sdh 18 bln tapi blm bisa bicara / blm punya satupun kosa kata, skrg ini istilahnya babling yah klo dia bisa hem ae hah sambil nunjuk atau sambil ngangguk.
    “Cukup naik ke kasur, mengatur posisi yang diminati, lalu menatap saya sambil mengisyaratkan ‘susu” jadi ketawa baca bagian itu mbak, soalnya rheza juga klo aku dah plg kerja juga melakukan hal yg sama:)

  28. Doktor Cilik hafal dan paham Al-Quran — nikenike

    January 6, 2010 at 6:03 am

    […] P : Jika manusia tua, apa yang akan terjadi padanya? H : “Dan barang siapa yang Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian” (QS 36:68) “Kepalaku telah ditumbuhi uban” (QS 19:4) Maksudnya orang yang sudah tua perilakunya akan kembali seperti anak-anak dan dikepalanya akan tumbuh uban. Kalo mendengar nama Imam Besar yang hafidz di umur belia, mungkin kita menganggap seperti dongeng karna terjadi di jaman dulu. Tapi ternyata Husein membuktikan bahwa di jaman sekarang masih bisa. Lalu bagaimana cara mendidiknya? Lingkunganlah yang paling utama, dan tidak berlebihan kalo Husein bisa demikian karna ayah dan ibunya hafidz bookk, dan di rumahnya sering diadakan kelas menghafal Al-Quran, jadi Husein kecil menjadi terbiasa dengan sendirinya. Penuturan Ibunda: Selama kemahilan saya selalu berusaha menghafal dan memahami Al-Quran, ketika menyusuinya saya selalu berwudhu dulu dan melantunkan Al-Quran untuknya. Tidak lupa juga untuk menjaga agar tidak terbiasa dengan budaya tidak Islami karena akan mengeraskan hati. Untuk menghafal, ayah Husein menggunakan metode visual dengan isyarat tangan untuk membantu pemahaman anak, naa jadi ingat metode sign wih ur baby yang aku baca dari mbak lita. […]

Leave a Reply to zuhra Cancel

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.